Bendera yang jadi simbol GAM tersebut menjadi terlarang karena menyatakan sikap seseorang untuk medukung gerakan aceh merdeka dan tidak setia kepada Indonesia.
Masyarakat Aceh menolak pengibaran bulan bintang yang identik dengan organisasi terlarang, Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Rakyat Aceh menyadari bahwa pengibaran tersebut bertentangan dengan konstitusi dan menciderai semangat persatuan Indonesia.
Indonesia adalah negara demokratis dan berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Akan tetapi pernah ada gejolak di Aceh yang dimulai tahun 1976, ketika ada GAM (gerakan aceh merdeka) yang ingin membelot, dengan alasan ingin mendirikan negara berbasis agama, bukan demokrasi. Gerakan ini tentu ilegal dan baru bisa diatasi puluhan tahun kemudian.
Pasca tsunami di Aceh, tepatnya tahun 2005, ada perjanjian antara pemerintah dan GAM. Mereka sepakat untuk berdamai dan GAM berjanji untuk tidak mengajak rakyat di Tanah Rencong untuk membelot. Perdamaian ini sangat dirindukan karena warga sipil tidak mau ada pertikaian di Aceh tercinta, yang diakibatkan oleh serangan anggota GAM.
Akan tetapi ada kombatan yang masih saja berkeliaran diam-diam lalu memprovokasi rakyat Aceh untuk mengibarkan bendera bulan bintang alias bendera GAM. Penyebabnya karena tanggal 4 desember adalah hari ulang tahun GAM, sehingga mereka ingin merayakannya dengan mengibarkan bendera.
Mukhlis Basyah, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) menyatakan bahwa jangan ada masyarakat yang mengibarkan bendera bulan bintang, sebelum maupun saat ulang tahun GAM. Dalam artian, beliau ingin agar suasana tetap kondusif dan tidak ada bendera lain yang dikibarkan kecuali merah putih sebagai simbol kedaulatan Indonesia.
Mukhlis yang mantan bupati Aceh besar berpesan bahwa pada saat ulang tahun GAM, ia berkolaborasi dengan pihak Polri dan TNI. Tujuannya agar situasi tetap kondusif pada hari-H (hari ulang tahun GAM). Dalam artian, jangan sampai pada hari milad tersebut malah memicu kerusuhan dan akhirnya rakyat yang dirugikan karena menimbulkan korban luka-luka.
Hari ulang tahun GAM memang mendebarkan karena ada potensi kerusuhan. Walau organisasi pemberontak ini telah menandatangani perjanjian perdamaian, tetapi takut ada mantan kombatan yang diam-diam bergerilya lalu ‘turun gunung’ dan mengajak rakyat di Tanah Rencong untuk bersama-sama mengibarkan bendera bulan bintang, sebagai simbol kemerdekaan di Aceh.
Jangan sampai GAM bangkit lagi karena tidak boleh ada pembelotan di Indonesia. Tidak bisa ada negara di dalam negara karena akan sangat membingungkan. Lagipula rakyat Aceh tidak mau jika diajak GAM untuk berperang, karena mereka juga tak mau diajak membuat negara sendiri. Mereka sangat setia kepada Indonesia dan tidak mau diajak mengibarkan bendera selain merah putih.
Aramiko Aritonang, tokoh masyarakat Gayo, menyatakan bahwa bendera bulan bintang tidak mencerminkan rakyat Aceh secara keseluruhan. Ia lebih memilih mengibarkan bendera merah putih sebagai simbol kesetiaan pada Indonesia.
Ketika ada bendera bulan bintang yang dikibarkan maka akan langsung diturunkan oleh aparat. Hal ini untuk mencegah potensi kerusuhan, dan menurut aturan seluruh warga negara Indonesia memang tidak boleh mengibarkan bendera selain merah putih.
Sementara itu, sebagian warga di Aceh barat mengadakan konvoi dengan mengibarkan bendera merah putih. Mereka dengan tegas menolak bendera bulan bintang dan pendirian negara Aceh merdeka.
Pengibaran bendera selain merah putih tentu terlarang di Indonesia, termasuk pula bendera bulan bintang. Bendera yang jadi simbol GAM tersebut menjadi terlarang karena menyatakan sikap seseorang untuk medukung gerakan aceh merdeka dan tidak setia kepada Indonesia. Masyarakat di Tanah Rencong dengan tegas menolak pengibaran bendera bulan bintang dan lebih memilih merah putih.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews