Soal mana yang lebih dipercaya, di Indonesia bukan soal salah dan benar, tapi suka dan tidak suka.
Dalam berbagai acara seremonial, di berbagai tingkatnya, tari seolah merupakan bagian tak terpisahkan. Seni tari, dalam berbagai bentuknya, merupakan 'pernyataan simbolik' yang paling pas dan universal untuk dinikmati, sekaligus dihayati, bersama.
Sebagai seni pertunjukan, di dalam seni tari bergabung berbagai elemen audio-visual seperti seni rupa, musik, sastra, dan teater. Tidak hanya di Gunung Kidul, Papua, Gayo, Mbetawi, dan lain sebagainya termasuk di Eropa, Amerika, Afrika, China, Rusia, Jepang dan lain-lain, tari masih dipercaya sebagai bagian penting dalam konteks ritualitas dan spiritualitas.
Tari merupakan titik aksentuasi bagi tema pokok (mangsud dan tujuan) seremoni. Dalam acara pengantin Jawa ataupun pembukaan dan penutupan pesta Olympiade Dunia pun. Maka, tak ada yang mengherankan pula, jika dalam acara ‘Vaksinasi Seniman-seniman di DIY’ beberapa waktu lalu di PSBK Yogyakarta (10/3/2021), juga dipergelarkan seni tari.
Yang menjadi aneh, justeru ketika salah satu tari yang dipergelarkan itu, ‘Petruk Divaksin’ karya koreografer dan penari Anter Asmorotedjo, dibenturkan dengan mangsud dan tujuan seremoni tersebut secara diametral. Apalagi (atau justeru) karena tarian tersebut untuk menyambut kehadiran Presiden Republik Indonesia.
Meski pun tentu juga bisa dimaklumi, ketika kita tahu siapa yang menafsir atau memaknai. Lebih karena kepentingan berbeda. Di situ seni tari, atau katakanlah seniman (dan lebih spesifik Yogyakarta), dipakai sebagai anak tangga, atau media eksistensi. Dan celakanya, tanpa penguasaan atau pemahaman apa yang ditafsirnya, kecuali hal itu bagian dari kesengajaan. Bukan sekedar faktor ‘asal njeplak’, tetapi memang sengaja melakukan ‘dissenting opinion’, atau lebih tepatnya framing.
Dikatakan bahwa dengan tarian penyambutan ‘Petruk Divaksin’, seniman Yogya sedang mengolok-olok Presiden Jokowi. Katanya, jika seniman sudah bertindak seperti itu, pertanda gawat, ada peristiwa penting yang bakal terjadi. Apalagi dikatakan pula mengenai Jokowi yang makin kehilangan kepekaan tafsir. Dan lebih jauh lagi sudah kehilangan wahyu (kekuasaan). Waduh, klenik juga nih!
Beberapa teman, ketika mengetahui yang ‘menafsir’ itu adalah Rocky Gerung di kanal youtubenya, malas mengomentari. Karena katanya, itu hanya akan memperbesar ruang RG. Dalam banyak hal, saya tak sependapat dengan hal itu. Karena pola komunikasi di medsos, informasi apapun yang bersifat sepihak, tanpa konfirmasi dan informasi pembanding, akan dianggap benar.
Bagi mereka yang mengalami mental block, move on tentu bukan barang mudah. Tetapi ketidaklurusan akan dianggap lurus, ketidakseimbangan akan dianggap seimbang.
Apalagi ketika framing itu berangkat dari argumentasi yang tidak memiliki landasan pengetahuan yang kuat. Yakni hanya berangkat dari data fisik, verbal, berupa ‘hidung panjang’. Mereka yang berangkat dari referensi dongeng bocah Pinokio, atau bacaannya hanya kitab dongeng anak-anak karya Carlo Collodi dari Italia itu, akan missleading, menyesatkan ketika dipakai sebagai tafsir untuk melihat hidung panjang Petruk.
Sesuatu yang sama sekali asimetris. Karena hidung panjang Pinokio dengan hidung panjang Petruk, sama sekali berbeda makna filosofisnya.
Apalagi dalam kasanah tafsir filsafat Jawa, sosok Petruk adalah bagian dari simbolisasi yang kaya dan berlapis-lapis. Multi-dimensi. Menjadi ecek-ecek ketika bekalnya hanya ‘hidung panjang’ Pinokio.
Secara sederhana saja, apakah Rama Pastor Sindhunata, yang juga penulis dengan tema-tema kemanusiaan serta filsafat kebudayaan itu adalah pembohong, dengan menamai kediamannya di Kaliurang, sebagai ‘Omah Petruk’?
Karena itulah saya menginterview Anter Asmorotedjo, pencipta, koreographer dan juga penari dalam tarian ‘Petruk Divaksin’ yang dipertunjukkan di hadapan Jokowi, presiden yang pernah digambarkan wajahnya oleh Majalah Tempo, dengan hidung panjang seperti hidung Pinokio.
Di sini saya menduga, majalah yang konon dulu bisa jenaka itu, menjadi biang tafsir hidung panjang Pinokio itu sama makna dengan hidung panjang Petruk, yang pada sisi lain identik dengan Jokowi. Itu juga tampak pada pembiasan makna lakon wayang ‘Petruk Dadi Ratu’ ketika dipakai untuk mendelegitimasi Jokowi (yang konon tak layak) sebagai Presiden.
Bullying dibalas perundungan, mungkin benar hanya akan membuat si pembully viral, terkenal, mumbul dan sejenisnya. Namun, penyebaran hoax setidaknya akan tereduksi kalau publik mendapatkan informasi pembanding, agar lebih proporsional. Soal mana yang lebih dipercaya, di Indonesia bukan soal salah dan benar, tapi suka dan tidak suka. Dan seolah menjadi hukum alam, yang tidak suka atau oposan, akan cenderung lebih vokal.
Tapi meminjam idiom Raden Ngabehi Ranggawarsita, sabegja-begjane wong kang lali, isih begja sing ora percaya kambek Buta Gerung, eh, Buta Terung ding.
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews