Habieb Rizieq: Ada Perjanjian dengan BIN?

Pertanyaannya kemudian, siapa sebenarnya yang “bermain” fitnah selama Habieb Rizieq ada di Makkah? Apalagi, ternyata Habieb Rizieq punya perjanjian dengan BIN!

Rabu, 11 November 2020 | 22:26 WIB
0
335
Habieb Rizieq: Ada Perjanjian dengan BIN?
Habieb Rizieq Shihab disambut massa dan rakyat saat baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Selasa, 10 November 2020. (Foto: RealitaRakyat.com)

Menjelang kepulangan Imam Besar Habieb Muhammad Rizieq Shihab ke Indonesia, ternyata Habieb Rizieq sempat “berurusan” dengan Dewan Keamanan Nasional Arab Saudi (SNSC) (bahasa Arab: مجلس الأمن الوطني‎).

SNSC, badan yang bertanggung jawab mengkoordinasikan Keamanan Nasional, Intelijen, dan strategi Kebijakan Luar Negeri. Didirikan pada 2005 oleh Raja Abdullah bin Abdulaziz Al Saud.

Habieb Rizieq menceritakan detik-detik dirinya diperiksa oleh badan intelijen Kerajaan Arab Saudi itu. Ia mengaku sempat menunjukkan dokumen perjanjiannya dengan Badan Intelijen Negara (BIN) kepada pihak Saudi.

Habieb Rizieq awalnya menceritakan laporan yang diterima oleh SNSC. Berdasarkan laporan yang diterima badan intelijen Saudi itu, Habieb Rizieq sedang dikejar-kejar oleh BIN.

“Terakhir mereka bilang, 'katanya Anda ini dikejar-kejar badan intelijen dari negara Anda'. Saya bilang, 'nggak, saya nggak punya persoalan dengan badan intelijen',” ungkap Habieb Rizieq di kanal YouTube Front TV, Selasa (10/11/2020).

“’(Kata otoritas Saudi) tapi ini ada laporannya, Anda bisa buktikan kalau Anda tidak punya permasalahan dengan Badan Intelijen Indonesia?' (Habieb Rizieq menjawab) punya',” lanjut Habieb Rizieq.

Kepada SNSC, Habieb Rizieq mengaku, bisa membuktikan bahwa dia tidak sedang dalam pengejaran BIN. Baru kemudian ia menunjukkan dokumen perjanjiannya dengan BIN.

“'(Otoritas Saudi) apa buktinya?' Saya punya dokumen perjanjian antara saya dengan Badan Intelijen Negara Indonesia, saya terjemahkan lagi dalam bahasa Arab,” ucap Habieb Rizieq. Menurutnya, SNSC kaget saat dia menunjukkan dokumen perjanjian dimaksud.

Singkat cerita, kata dia, badan intelijen Saudi akhirnya meminta maaf.

“Resmi di situ, dan dokumen ini kan belum saya buka ke masyarakat. Saya pikir nggak ada perlunya saya buka, kecuali darurat, saya tunjukkan, mereka kaget. 'Anda punya perjanjian begini bagus dengan negara, Anda tidak punya masalah kok dilaporkan macam-macam'. Nah ini yang jadi persoalan,” tutur Habieb Rizieq.

“Singkat cerita, karena terlalu panjang, akhirnya pemerintah Saudi ini, otoritas yang berwenang di bidang ini, mereka justru akhirnya minta maaf," imbuhnya.

Diberitakan sebelumnya, Imam Besar FPI Habieb Rizieq Syihab mengungkapkan upayanya pulang dari Arab Saudi ke Indonesia. Habieb Rizieq menceritakan kisahnya tersebut hingga akhirnya pemerintah Arab Saudi meminta maaf kepadanya.

Semula, Habieb Rizieq menceritakan bahwa dirinya dituduh buron dari Indonesia yang kabur ke Arab Saudi. Tuduhan itu sampai ke telinga pemerintah Arab Saudi berdasarkan laporan yang masuk.

“Katanya saya buronan, melarikan diri, ada persoalan hukum yang saya hadapi, saya katanya red notice, kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kalau saya ini, saudara, orang politik, yang selalu bikin keributan di mana-mana, nanti bahaya untuk keamanan Saudi,” lanjutnya.

“Ini laporan-laporan semacam ini saya tidak mau menuduh si A, atau si B, atau si C. Tapi, ini ada, ini bukan laporan dari orang biasa, kalau laporan dari orang biasa, saudara, tidak akan dihiraukan pemerintah Saudi, ini tingkat negara, bukan tingkat RT, tingkat RW,” katanya.

Bantah Dubes

Seperti sebelumnya diberitakan, Dubes RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel menyebut ada aib yang dilakukannya selama tinggal di Saudi. Tapi, Agus tak mengungkap yang dilakukan oleh Imam Besar FPI itu.

Menurut Agus, aib Habieb Rizieq itu tercantum dalam layar kedua sistem komputer imigrasi Arab Saudi. “Di layar kedua ini ada 2 kolom yang sensitif dan berkategori aib sehingga kami tidak elok untuk membukanya ke publik,” katanya (CNNIndonesia.com, Jumat, 6/11/2020).

Tapi, Aktivis Serikat Pekerja Migran Indonesia (SPMI) Wilayah Makkah, Syamsul Lombok, mempertanyakan yang dimaksud Dubes Agus melalui surat terbukanya. “HRS, Dideportasi atau Repatriasi?”

“Pak Dubes Agus termasuk salah seorang die hard pemerintah yang rajin komen soal HRS. Banyak narasi yang beliau kembangkan seputar keberadaan HRS di tanah suci Makkah.  Diantaranya adalah HRS Over Stay dan saat ini dideportasi,” tulisnya.

Menurut Syamsul, bagi WNI yang tinggal di wilayah Kerajaan Saudi Arabia (KSA), istilah over stay dan deportasi ini sudah tak asing lagi. Kebetulan, ia selama hampir dua tahun mukim di Makkah, kerap berurusan dengan beberapa WNI over stay dan dideportasi dari KSA.

“Dan setahu saya, sejak pandemi Covid-19, pemerintah KSA menutup sementara program deportasi para ekspatriat hingga hari ini sampai kemudian kondisi kembali normal,” ungkap Syamsul.

Untuk saat ini, pemerintah KSA hanya mengeluarkan kebijakan Repatriasi bagi Ekspatriat, termasuk WNI. Bedanya dengan deportasi, repatriasi merupakan program pemerintah untuk memfasilitasi ekspatriat kembali ke negaranya masing-masing.

Ekspatriat yang mengikuti repatriasi biasanya memiliki dokumen yang lengkap. Baik paspor, visa, izin tinggal, dan dokumen primer lainnya. Sedangkan untuk ekspatriat yang dideportasi, biasanya didominasi oleh eksptriat yang non-dokumen.

Walaupun tidak dipungkiri, jika ada sebagian mereka yang memiliki dokumen lengkap, tetapi telah melakukan pelanggaran hukum di wilayah Arab Saudi. Bagi ekspatriat yang dideportasi, maka seluruh biaya yang timbul selama proses pemulangannya ke negara asalnya ditanggung oleh pemerintah KSA.

Sedangkan mereka yang mengikuti program repatriasi maka biayanya akan ditanggung secara mandiri oleh pribadi bersangkutan, atau pihak pengguna jasa yang selama ini menggunakan jasa mereka. Bisa oleh syarikah (perusahaan) ataupun perseorangan.

“Sependek pengetahuan saya dalam kapasitas saya sebagai pengurus SPMI wilayah Makkah, sejak Februari 2020, pemerintah KSA telah memoratorium program tarhil (deportasi) seiring  ditutupnya akses penerbangan internasional dari dan menuju Saudi,” ungkapnya.

“Karenanya banyak sekali WNI over stay non dokumen yang mengeluh ke saya, gagal pulang ke Indonesia, gegara program deportasi Pemerintah KSA yang tidak kunjung dibuka, hingga hari ini,” lanjut Syamsul.

Bahkan, ada banyak diantara WNI over stay non dokumen yang ditampung oleh KJRI Jeddah karena terlunta-lunta di jalanan.

Sekitar sepekan lalu, Syamsul dihubungi Kepala Atase Ketenagakerjaan KJRI Jeddah. “Beliau meminta saya mencari keberadaan seorang oknum Pekerja Migran Indonesia yang diduga menelantarkan istrinya,” lanjut Syamsul.

“Menurut beliau, sang istri dalam kondisi hamil dan hendak melahirkan, tetapi tidak punya dokumen lengkap dan berencana mengikuti program tarhil (deportasi),” ungkap Syamsul.

Tapi, berhubung program tarhil belum dibuka oleh otoritas setempat, jadilah TKW tersebut terlunta-lunta di taman Kota Jeddah. Meskipun kemudian yang bersangkutan kini diamankan di penampungan KJRI Jeddah.

Berikutnya, Syamsul punya sahabat WNI di Makkah juga. Dia sudah tidak punya pekerjaan sejak kebijakan lockdown Saudi. “Dia juga ta punya dokumen resmi,” ujar Syamdul. Sebelumnya, dia bekerja sebagai guide (muthawwif).

Berhubung pandemi corona, semuanya terhenti. Dia bersama beberapa rekannya mencoba menyerahkan diri ke pihak berwajib Saudi, agar bisa dideportasi. Tapi, nyatanya dia ditolak dan disuruh kembali ke tempat tinggalnya.

Karena menurut keterangan otoritas, tarhil belum dibuka kembali. “Saya pun jadinya ingin bertanya kepada pak Dubes Agus, apakah memang benar program Deportasi sudah dibuka oleh pemerintah KSA?” katanya.

“Kalau memang sudah dibuka, ada ribuan WNI kita yang over stay non dokumen yang siap mengikuti program tersebut. Saya siap membantu pemerintah mendata namanama WNI over stay yang ingin mengikuti program tarhil,” ungkap Syamsul.

Seperti yang pernah dilakukan untuk mendata WNI saat penyaluran bantuan Covid-19 oleh KJRI Jeddah. Siapa tahu, saudara kita ini bisa segera mengakhiri ketidakberuntungannya di negeri orang dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya di rumah.

“Atau jangan-jangan Pak Dubes belum bisa membedakan antara repatriasi dengan deportasi? Mungkin juga Pak Dubes Tahu – pasti tahulah –, namun pura-pira tidak tahu dan akhirnya menyesatkan opini publik,” sindir Syamsul.

Untuk diketahui, “Saya pernah beberapa kali bertemu HRS di kediaman beliau di Makkah, bertemu juga dalam sebuah acara di rumah WNI di Tan'im. Bahkan, saya juga pernah ikut pertemuan dengan mantan Dubes RI untuk Saudi, Habib Salim Segaf dengan Habieb Rizieq beserta para pejabat KJRI dan Saudi di salah satu Vila mewah di pinggiran kota Makkah.

Untuk pertemuan terakhir ini, Habieb Rizieq mendapat pengawalan resmi dari pemerintah KSA. Ada juga perwakilan dari KJRI Jeddah. Ada mantan Dubes RI di Saudi.

“Yang mengejutkan saya, setelah lama pertemuan itu berlalu, salah seorang rekan pejabat KJRI Jeddah memberitahu saya, jika tuan rumah yang menyambut HRS dan Pak mantan Dubes itu adalah mantan Kepala Intelijen KSA,” ungkap Syamsul.

Sekali lagi, jika Habieb Rizieq ini termasuk ekspatriat yang melanggar hukum di wilayahnya, apakah masuk akal sekelas pejabat Intelijen KSA membiarkan Habieb Rizieq begitu dengan leluasa?

Apakah masuk akal juga, jika Habieb Rizieq bisa mengadakan beberapa kali pertemuan bersama WNI di Makkah-Madinah dengan aman dan lancar? Padahal, sistem administrasi kependudukan dan keimigrasian di negara King Salman ini termasuk yang paling ketat di dunia. Semuanya terkontrol dan terintegrasi dengan baik.

“Saya tidak tahu, apa masalah Pak Dubes dengan Habieb Rizieq. Yang ingin saya katakan, jika memang Habieb dideportasi, maka mohon sampaikan salam dari ribuan WNI di Saudi kepada yang mulia Raja Salman, mereka juga ingin dideportasi oleh pemerintah KSA.”

Pertanyaannya kemudian, siapa sebenarnya yang “bermain” fitnah selama Habieb Rizieq ada di Makkah? Apalagi, ternyata Habieb Rizieq punya perjanjian dengan BIN!

***