Menjadi manusia memang sulit, selama masih memelihara fanatisme buta dan dendam tak berkesudahan.
Kalau ada manusia yang sangat senang melihat kedukaan orang lain karena kematian salah satu anggota keluarganya, apalagi tega menyumpahi dan mendoakan hal-hal buruk padanya, itu artinya ada yang cacat dalam dirinya terutama pada sisi kemanusiaannya. Dalam pandangan agama ia telah kehilangan akhlaqul karimah.
Dalam bahasa umum ia adalah manusia tanpa budi pekerti yang baik. Dan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, perilakunya sangat jauh dari nilai-nilai yang tersirat dalam sila ke-2 yaitu Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.
Di media sosial usai pemberitaan meninggalnya ibunda Bapak Presiden Jokowi, yaitu Ibu Sudjiatmi Notomiharjo, banyak netizen memposting hal yang tak sepantasnya dilakukan oleh warga negara yang baik dan manusia yang beragama. Mereka memposting status kegembiraan, rasa syukur dan mendoakan hal-hal buruk menimpa Bapak Presiden Jokowi dan almarhumah ibunda beliau.
Lebih parahnya lagi mereka melakukan itu dengan yakin seolah-olah agama merestuinya dan berpihak padanya. Mereka sangat yakin almarhumah ibunda Jokowi akan bernasib buruk di alam kubur bahkan mendoakan jasadnya agar disiksa di alam sana. Dan itu turut diamini oleh teman-teman netizen yang sama-sama membenci Bapak Jokowi sejak kompetisi pilpres 2014 dan 2019 yang lalu.
Padahal, siapapun yang memahami ajaran agama dengan baik akan setuju, bahwa tak ada agama apapun yang mengajarkan kebencian dan dendam diperturutkan seperti itu. Rasulullah memberi teladan untuk bersikap baik bahkan kepada orang Yahudi yang telah berulangkali meludahinya. Di saat orang Yahudi itu jatuh sakit, Rasulullah Muhammad adalah orang yang pertama kali menjenguknya.
Nabi Musa tetap berlemah lembut menyampaikan kebenaran terhadap Fir'aun. Padahal Fir'aun adalah raja yang sangat dzalim. Seorang raja yang tega membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir. Bahkan Musa pun hampir-hampir dibunuhnya saat bayi Musal ditemukan oleh istri Fir'aun di sungai Nil.
Kisah teladan kebaikan akhlak bisa kita lihat juga dalam sejarah Shalahuddin Al-Ayyubi. Ia pernah mengirim utusan kepada Raja Richard yang sedang sakit di saat perang salib pada abad ke 11 Masehi. Bahkan ia sempat menyamar menjadi dokter demi mengobati musuhnya itu. Sebagai panglima perang, Shalahuddin sanggup mengesampingkan permusuhan dan peperangan, dan ia lebih mengutamakan kemanusiaan. Karena sejatinya pesan agama adalah mengedepankan akhlaq dalam menjalin hubungan kemanusiaan.
Sedangkan kita? Kita tidak lebih baik dari Shalahuddin Al-Ayyubi, tidak lebih baik dari Nabi Musa, pun tidak lebih baik dari Muhammad. Begitu pun Bapak Jokowi dia tidak lebih buruk dari orang Yahudi yang meludahi Nabi Muhammad, tidak lebih buruk dari Fir'aun yang telah membunuh setiap orang yang menentangnya, bahkan membunuh bayi-bayi yang baru lahir. Pun tidak lebih buruk dari Raja Richard yang membantai orang-orang tak berdosa di pihak Shalahuddin Al-Ayyubi. Maka dari sisi mana perilaku netizen tersebut pantas mendapatkan pembenaran?
Masih banyak tentunya teladan kebaikan dalam sejarah kenabian dan orang-orang sholeh di masa lampau. Hanya saja ada sesuatu yang keliru atau terlewatkan dalam dakwah atau pengajaran agama di masa kini sehingga pesan-pesan agama yang termanifestasi dalam akhlaqul karimah justru diabaikan dalam hubungan kemanusiaan. Bahkan untuk sekedar empati pun tidak bisa.
Justru menanggapi sebuah kematian yang siapapun akan mengalaminya dengan komentar kebencian, sinisme, dibalut dengan prasangka buruk dan seolah menjadi obyek yang empuk untuk melampiasan dendam akibat kekalahan pilpres yang tak berkesudahan.
Musibah penyebaran virus Corona sedang berlangsung di negeri ini seharusnya menjadi momen bersama untuk solid mendukung dan membantu pemerintah. Jika pemerintah salah kita koreksi saja dengan cara yang baik, tidak justru menuntut mundur dan memperkeruh suasana.
Selayaknya kita bertanya apa yang bisa kita bantu dan sumbangkan untuk kebaikan negeri ini, tetapi andai tidak ada yang bisa kita perbuat, alangkah lebih baik diam dari pada menambah dosa dengan menyumpahi orang yang sudah meninggal.
Dalam menghadapi musibah virus Corona yang melanda seluruh warga di berbagai belahan dunia ini, seharusnya kita mengesampingkan rasa dendam, fanatisme buta dan rasa permusuhan. Jika hal ini tak bisa dilakukan, berat rasanya kita melewati musibah ini dengan cepat.
Menjadi manusia memang sulit, selama masih memelihara fanatisme buta dan dendam tak berkesudahan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews