H2C Para Buzzer: Ditinggalkan atau Jadi Komisaris?

Bagaimana dengan buzzer Jokowi untuk Pilpres 2019 setelah mengulang kemenangan? Jika Jokowi tidak lupa, pasti ada yang diangkat seperti Kartika. Semoga tidak H2C alitas Harap-Harap Cemas!

Rabu, 9 Oktober 2019 | 15:53 WIB
0
373
H2C Para Buzzer: Ditinggalkan atau Jadi Komisaris?
Setidaknya ada 120 Aliansi Gerakan Relawan/Buzzer Jokowi. (Foto: Istimewa).

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menilai, aktivitas para buzzer atau pendengung Presiden Joko Widodo saat ini justru merugikan Jokowi sendiri. Karena itulah dia menghimbau para pendengung Jokowi ini untuk lebih positif  dalam bersuara.  

Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (04/10/2019 14:45 WIB), dia melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta itu merugikan. “Jadi yang perlu dibangun emosi positif lah,” kata Moeldoko di Jakarta.

Moeldoko merespons tentang aktivitas para pendukung Jokowi beberapa hari belakangan ini. Dua kasus dia soroti, yakni terkait penyebaran informasi ambulans DKI Jakarta yang disebut membawa batu dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung MPR/DPR.

Lalu, dari kasus tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM, yang ternyata nomor telepon di grup itu diduga milik anggota Polri. Kedua informasi tersebut dianggap sejumlah pihak telah menyesatkan alias hoaks.

Berdasarkan analisa DroneEmprit terkait mobil ambulans DKI Jakarta membawa batu dan bensin, diketahui bahwa pihak pertama yang menyebarkan informasi itu adalah akun-akun yang dikenal kerap 'membela' Jokowi ataupun pemerintah.

Mereka antara lain, @OneMurthada, @Paltiwest, @digeeembok, @Dennysiregar7, dan akhirnya juga diunggah oleh akun @TMCPoldaMetro. Setelah ramai 'dilawan', akhirnya Polda Metro mengakui keliru menyebut ambulans DKI bawa batu dan bensin.

Sementara itu, sejumlah akun yang mengunggah tangkapan layar grup WA anak STM antara lain, @TheREAL_Abi, dan @OneMurtadha. Namun akun-akun tersebut sudah menghapus unggahannya setelah para pengguna Twitter lainnya mengkritisi isi tangkap layar itu.

Moeldoko menyatakan kehadiran buzzer awalnya untuk memperjuangkan dan menjaga marwah pemimpinnya. Namun, bagi Moeldoko, dalam kondisi Pemilu sudah selesai, buzzer sudah tak diperlukan lagi.

Menurut mantan panglima TNI itu, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan yang malah bersifat destruktif.

“Karena kalau buzzer-buzzer ini selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar, tidak enak di hati. Nah itu lah destruktif dan itu sudah enggak perlu lah. Untuk apa itu?" tuturnya.

Moeldoko berharap para buzzer menurunkan semangat yang berlebihan dalam mendukung seorang tokoh idolanya, dalam hal ini Jokowi. Dia juga tak ingin buzzer yang mendukung Jokowi ini justru menyebarkan kebencian.

Moeldoko juga telah mengimbau para buzzer untuk menggunakan bahasa yang nyaman dan tak menyakiti pihak lain. Dia mengaku sudah menyampaikan langsung kepada influencer, tokoh-tokoh relawan dan tokoh-tokoh yang lainnya.

Mengutip Detik.com, Jum’at (4/10/2019 09:13:18 WIB), analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia Ismail Fahmi menilai, buzzer membuat pemerintah menjadi tak bisa mendengarkan kritik yang disampaikan masyarakat di media sosial.

Sebab, menurut Ismail, para buzzer pendukung Jokowi langsung 'menghajar' saat ada kritik. Ismail awalnya menjelaskan soal buzzer yang dipelihara negara. Dia menyebut buzzer negara memelihara buzzer semenjak tahun 2014.

“Sekarang, sejak 2014, dalam menghadapi media sosial itu, negara bukan memberikan berita positif, tetapi negara malah menaruh buzzer untuk menghadapi opini. Itulah yang kemudian apa, menyebabkan buntu. Mereka yang mengkritik jadinya seperti buzzer,” kata Ismail.

Karena tak mendapatkan tanggapan dari pemerintah, dan pemerintah juga mendengar. Jadi, “Buzzer membereskan aja, ketika ada ini, diberesin ini. Ketika ada sesuatu yang bikin ramai, ditangkal isu lain,” lanjut Ismail.

“Kemudian ada satu isu yang pemerintah mau angkat, dia bikin kampanye luar biasa, yang menghalangi langsung dihajar oleh buzzer itu,” imbuh Ismail kepada wartawan, Kamis (3/10/2019).

Menurut Ismail, buzzer di media sosial membuat pemerintah tidak bisa mengetahui aspirasi apa yang disampaikan masyarakat melalui media sosial. Dia menilai pemerintah seharusnya membuat sistem yang bisa menampung kritikan masyarakat di media sosial.

“Seharusnya tidak ada buzzer di Istana, tidak ada buzzer di oposisi, yang ada adalah rakyat, yang ada adalah publik yang menyampaikan suara di media sosial, menyampaikan kritikan. Kemudian pemerintah mendengarkan big data, mendengarkan sinyal itu,” ucapnya.

Moeldoko sendiri menepis anggapan bahwa buzzer di media sosial yang pro-pemerintah 'dikomandani' kantornya. Justru, seperti dikutip Detik.com, Kamis (03 Oktober 2019, 17:23 WIB) Moeldoko menilai para buzzer perlu ditertibkan.

“Saya pikir memang perlu (ditertibkan). Ini kan yang mainnya dulu relawan, sekarang juga pendukung fanatik,” ucap Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2019).

Menurutnya, para buzzer cenderung tak ingin sosok yang diidolakannya diserang. Tapi, bila itu terjadi, disebut Moeldoko, para buzzer tersebut pasti bereaksi.

“Contohnya begini – bukan saya maksudnya – para buzzer itu tidak ingin idolanya diserang, idolanya disakitin. Akhirnya masing-masing bereaksi. Ini memang persoalan kita semua, juga kedua belah pihak, bukan hanya satu pihak. Kedua belah pihak,” ucapnya. Selain itu, dia berpendapat buzzer sebaiknya menggunakan kalimat yang tidak menyerang lawan politik idolanya.

“Ya sebenarnya bukan santainya, tapi perlu mencari diksi-diksi yang lebih.... Kan tidak harus menyerang, tidak harus saling menjelekkan, tidak harus saling mengecilkan. Menurut saya sih buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah, kan pemilu juga udah selesai,” imbuhnya.

 Moeldoko juga menepis Kantor Staf Presiden (KSP) 'mengomandani' buzzer pendukung Jokowi. KSP, disebutnya, justru mengimbau pendukung Jokowi tidak menyerang lawan politik atau yang berseberangan.

“Oh tidak, tidak. Sama sekali kita... justru kita KSP itu mengimbau 'udah kita jangan lagi seperti itu'. Beberapa kali saya sudah ngomongkan, janganlah kita politik yang kita kembangkan itu, kalau saya boleh mengatakan politik kasih sayang,” ujarnya.

“Kakak Pembina”

Para buzzer Jokowi ini bekerja secara senyap. Setidaknya itu yang digambarkan Seword.com. “Tim ini memang tidak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini,” tulis Seword, Kamis (02 Mei 19 pukul 07: 36).

Nama-nama yang disebut Seword antara lain: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Eko Kuntadhi, Habib Think, Salman Faris, Katakita, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Komik Kita, Komik Pinggiran, dan Sewordcom.

“Semua datang dari berbagai daerah memenuhi panggilan Kakak Pembina,” ungkap Seword. Meski ditampik Moeldoko, Kakak Pembina yang dimaksud adalah dirinya KSP. Di berbagai grup WA malah disebutkan setidaknya ada 120 Aliansi Gerakan Relawan/Buzzer Jokowi.

Jika benar yang mereka ini binaan Istana, tentu saja ada konsekensi ekonominya. Berapa nilai rupiah yang harus dikeluarkan Istana untuk operasional para buzzer ini setiap bulannya? Tak mungkin mereka “bekerja” secara suka rela tanpa bayaran.

Tidak mungkin sekelas Denny Siregar dibayar senilai recehan. Ninoy Karundeng saja terima bayaran Rp 3,2 juta/bulan, seperti pengakuannya dalam video “interograsi” yang tersebar luas di grup WA belum lama ini.

Apalagi, jika mereka bekerja secara profesional. Dapat dipastikan, bayarannya di atas Rp 5 juta, bahkan Rp 25 juta/bulan. Sebuah angka yang cukup menggiurkan tentunya.

Jika beruntung, bisa seperti Kartika Djoemadi, pendiri Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV) yang diluncurkan pada 12 Agustus 2012, diangkat menjadi Komisaris Danareksa pada 27 Oktober 2015, setelah sukses pada Pilpres 2014.

Begitu Jokowi resmi menyatakan diri menjadi Capres2014, JASMEV yang tadinya non aktif ini kembali lagi dalam dunia sosial media, dan menyatakan akan membantu Jokowi bersama puluhan ribu relawan JASMEV di seluruh Indonesia dan luar negeri.

Tujuannya memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014. Karena pertarungan Pilpres 2014 tidak mengusung Ahok sebagai wakil Jokowi, membuat JASMEV mengubah akronimnya menjadi Jokowi Advanced Social Media Volunteers.

Bagaimana dengan buzzer Jokowi untuk Pilpres 2019 setelah mengulang kemenangan? Jika Jokowi tidak lupa, pasti ada yang diangkat seperti Kartika.   Semoga tidak H2C alitas Harap-Harap Cemas!

***