Kasus Pengunduran diri Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge diduga bermuatan politik. Dirinya dianggap mendukung gerakan separatis karena menuntut penarikan aparat TNI/Polri dari daerah konflik. Padahal sebagai pejabat publik, dirinya harus mampu mendukung keberadaan Aparat Keamanan negara yang memiliki legalitas melindungi warga.
Kemungkinan perasaan gagal, malu dan kecewa meliputi Wakil Bupati Wentius Nimiangge, yang kemudian memilih hengkang dari jabatan. Hal ini diduga akibat insiden yang menelan korban di wilayahnya, yakni Hendrik Lokbere.
Namun terdapat indikasi lain atas pengunduran dirinya. Yakni, dukungannya terhadap kelompok separatis yang telah lama mendiami Nduga sebagai warga asli. Hal ini tercermin saat dirinya meminta aparat TNI/Polri untuk segera ditarik dari wilayah konflik, Nduga. Jikalau aparat ditarik bagaimana pengamanan di sana? Mengingat Nduga adalah salah satu daerah bercokolnya kelompok separatis.
Wentius mengungkapkan langkah yang diambilnya ini ialah sebagai bentuk protes dan ungkapan kekecewaan karena ada warganya yang tewas tertembak.
Dihubungi secara terpisah, Kapuspen Kemendagri Bahtiar telah mendengar kabar atas pengunduran diri tersebut. Namun, dirinya enggan mengomentari pengunduran diri Wentius. Di hadapan ratusan warga masyarakat Nduga yang tengah berkumpul di Bandara Kenyam, Wentius menyatakan mengundurkan diri dari jabatan yang ia ampu yakni, wakil bupati.
Dia mengutarakan, jika sudah satu tahun terjadi seperti ini, pihaknya sudah menghadap menteri, DPR, Panglima TNI, dan juga Kapolri untuk meminta pasukan di Nduga ditarik agar masyarakat kembali beraktivitas normal seperti biasa. Dia menilai Permintaannya tidak direspons. Bahkan, penembakan terhadap warga sipil terus terjadi.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengakui pihaknya langsung mengecek kepada Gubernur Papua sebagai pembina pemerintahan di tingkat kabupaten atau kota.
Anggota DPR asal Nduga, Laurenzus Kadepa mengaminkan pernyataan Wentius, dirinya menyatakan pengunduran diri Wentius sebagai protes atas operasi militer yang terjadi di sana karena banyak menelan korban warga masyarakat.
Di lain pihak, Anggota Komisi I DPR, Sukamta, menambahkan bahwa operasi militer di Papua bukan memberikan solusi, malah justru membuat siklus kekerasan makin berlanjut. Pihaknya menambahkan, polemik di Papua butuh pendekatan ekonomi hingga tata kelola pemerintahan. Operasi militer dinilai menimbulkan sikap antipati dan kekerasan lanjutan sesama warga ataupun terhadap aparat.
Sebelumnya, Kodam XVII Cendrawasih juga telah mengirimkan tim ke Distrik Kenyam, Nduga, Papua, guna menyelidiki kasus penembakan yang menewaskan Hendrik. Dan tinggal menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan tim yang dipimpin Asintel Kasdam XVII Cenderawasih, imbuh Kasdam XVII Cenderawasih Brigjen TNI Irham Wairohan beberapa hari lalu.
Irham juga enggan menerangkan lebih lanjut terkait kronologis yang telah menewaskan Hendrik. Disebutkan pula bahwa Wentius tak sanggup melihat banyak warga sipil yang menjadi korban kekerasan maupun pembunuhan.
Tak menampik polemik Nduga telah terjadi secara berkepanjangan. Bahkan mulai tahun 1996, banyak laporan kekisruhan akibat KKSB maupun OPM ini. Kemungkinan, organisasi separatis ini sengaja membuat kekacauan dan mengadu domba antara warga sipil, aparat pemerintah dan negara.
Mengingat, kelompok separatis juga tak segan-segan menjadikan warga sebagai tumbal demi kelancaran aksinya. Atau bisa juga berkolaborasi dengan sang wakil Bupati untuk memaksa pemerintah mencabut aparat TNI/Polri demi kelancaran aksi mereka?
Banyak laporan terkait kekerasan bahkan pembunuhan yang dilakukan kelompok separatis. Pengerahan aparat keamanan sejatinya difungsikan untuk melindungi serta menangkap para kelompok separatis. Namun, disisi lain, banyak warga sipil yang menjadi korban kala konflik dengan KKSB atau OPM sedang berjalan.
Akan tetapi bukan berarti Wabup harus cuci tangan mengundurkan diri sebagai dalih keprihatinan, itu tak sinkron sama sekali bukan?
Tampaknya kondisi inilah yang diinginkan mereka (kelompok separatis). Dengan mengadu domba pihak sipil dan aparatur negaranya mereka dengan leluasa melambungkan isu pelanggaran HAM seperti yang dilakukan pentolan OPM, Benny Wenda kepada PBB beberapa waktu lalu.
Meski upaya Benny gagal, bukan berarti dirinya urung melanjutkan perjuangannya. Bahkan, sejumlah laporan, dia masih getol menyuarakan kemerdekaan Papua dan meminta dukungan masyarakat Internasional. Bukankah hal ini sangat memprihatinkan?
Di saat sebagian besar rakyat Bumi Cendrawasih menyatakan diri tetap bergabung dengan NKRI, karena telah merasa aman, nyaman dan damai. Namun, polemik Papua masih terus berjalan, sehingga membuat semua terasa timpang.
Maka dari itu dukungan seluruh warga masyarakat untuk menciptakan keamanan sangatlah dibutuhkan. Termasuk memperkokoh persatuan dan kesatuan. Karena oknum-oknum separatis ini memang mengincar perpecahan dan adu domba. Sehingga dengan mudah mereka akan merebut Papua begitu saja.
Berkenaan dengan pengunduran diri Wentius Nimiangge ini sangatlah disayangkan. Sebab, Pemerintah daerah Papua seharusnya melindungi warga dengan mendukung keberadaan TNI atau Polri dan menolak OPM yang memiliki senjata ilegal. Bukannya malah mundur dari jabatan. Bukankah pemimpin wajib maju sebagai garda terdepan ketika rakyatnya menjadi korban?
Memang, menyelesaikan suatu masalah tak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi jika pemimpinnya saja menyerah bagaimana nasib warganya? Padahal pemimpin ini bukan hanya berperan sebagai contoh masyarakat, namun juga mencerminkan wilayah itu sendiri, yakni sampai dimanakah mereka ikut berjuang dan mendukung upaya pemerintahan dalam membasmi kelompok separatis Papua, atau memang ada kepentingan politis lain yang ingin dicapainya?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews