Kebebasan Berekspresi Jangan Sampai Kebablasan

Informasi yang salah bukan hanya sekadar salah. Tapi terbukti bisa menyebabkan perang dan juga memakan korban jiwa. Kebebasan berekspresi jangan sampai kebablasan dan memakan korban.

Rabu, 2 Oktober 2019 | 10:34 WIB
0
394
Kebebasan Berekspresi Jangan Sampai Kebablasan
Ilustrasi bebas (Pixabay.com)

Berita sedang banyak membahas kebebasan berekspresi beberapa hari ini. Akibat ditangkapnya dua orang yang disebut aktivis oleh polisi. Banyak pengamat mengatakan bahwa ini adalah sebuah kemunduran dari kebebasan berekspresi.

Media Sosial

Harus disadari bahwa media sosial adalah umum sifatnya sehingga ketika kita mengunggah sesuatu maka banyak orang yang bisa melihat. Walaupun hanya dibatasi teman saja yang bisa melihat, tetap saja ada kemungkinan dishare ke pihak lain oleh teman tersebut.

Banyak orang ini tidak semuanya memahami apa yang kita unggah. Sering kali karena pertemanan maka unggahan kita di sukai dan dishare.

Sehingga menurut saya kurang tepat jika kita ingin mengkonfirmasi suatu informasi dengan mengunggah di media sosial. Apalagi unggahan berupa video atau foto yang walaupun disertai keterangan, tidak banyak orang yang membaca keterangan tersebut.

Memang mungkin saja ada teman kita di media sosial yang mungkin bisa mengkonfirmasi sebuah isu. Namun jangan sampai terjadi seperti hoaks kontainer surat suara yang diramaikan oleh Andi Arief (Politikus Partai Demokrat) terjadi lagi.

Andi Arief yang mengaku hanya ingin melakukan konfirmasi, apakah kontainer ini benar ada?

Hoaks yang menambah panas suasana kampanye pemilu 2019.

Konfirmasi sebaiknya dilakukan secara privat dan ditanyakan kepada orang yang memiliki informasi valid atau orang yang kompeten.

Tokoh

Ketika seseorang menjadi tokoh atau istilah sekarang influencer. Maka tanggung jawab untuk memastikan sebuah informasi adalah benar menjadi bertambah, menurut saya. Karena jika saya misalnya, menulis sesuatu yang salah di Kompasiana, paling dibaca paling banyak ribuan orang.

Tokoh seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon ketika membagikan berita tentang ratu hoaks Ratna Sarumpaet dipukuli, berapa juta orang yang membacanya? Tidakkah hal ini berbahaya dan bisa menyebabkan keributan besar?

Peneliti juga penting, bahkan mungkin lebih penting. Jangan sampai terjadi seperti peneliti Indef Rizal Taufikurahman mengatakan bahwa karena Zimbabwe gagal bayar utang ke China menyebabkan mata uang Zimbabwe dipaksa mengganti mata uangnya menjadi Yuan.

Padalah mata uang Zimbabwe sudah tidak digunakan sejak beberapa tahun sebelumnya, karena hiper inflasi. Digantikan oleh Dolar AS dan Rand (mata uang Afrika Selatan).

Baca lebih lengkap: Benarkah Zimbabwe ganti mata uangnya karena utang?

Peneliti atau analis adalah orang yang diandalkan para pemimpin untuk bisa memahami suatu masalah. Di swasta sekarang ini orang berlomba-lomba merekrut Data Scientist agar bisa membantu mengembangkan bisnisnya.

Amerika Serikat menyerbu Irak pada tahun 2003 dikarenakan adanya informasi bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal. Informasi ini pastinya dihasilkan oleh para analis intelijen, yang ternyata salah.

Walau juga banyak yang mengatakan bahwa kepemilikan senjata pemusnah masal hanya sekadar alasan Amerika Serikat untuk menginvasi Irak. Irak yang sampai saat ini belum pulih ke era sebelum perang.

Hoaks Memakan Korban Jiwa

Di Nigeria terjadi pembunuhan masal akibat foto yang dibagikan di Facebook. Foto yang dibagikan ditambahi keterangan bahwa terjadi pembantaian suku Berom oleh suku Felani. Kejadian ini terjadi pada tahun 2018.

Suku Felani dan suku Berom memang sebelumnya sudah saling tidak suka, foto ini yang ternyata hoaks. Menurut polisi Nigeria menyebabkan tidak suka menjadi aksi. Aksi yang memakan korban jiwa.

India juga mengalami hal yang sama, hanya melalui media yang berbeda. Disebarkan melalui Whatsapp video tentang anak kecil yang dimutilasi. Video dan foto tentang ini viral melalui Whatsapp, padahal banyak dari video itu palsu alias editan.

Tetapi banyak orang yang menjadi korban pengeroyokan akibat ketakutan orang tua anaknya akan menjadi korban mutilasi. Korban pengeroyokan yang bukan hanya luka, tetapi kehilangan jiwa akibat hoaks.

Kebebasan Berekspresi jangan Sampai Kebablasan

Kita harus bisa membedakan ranah privat dan umum. Media sosial termasuk ranah umum, termasuk di dalamnya Whatsapp grup. Grup yang sering kali mempercepat viralnya sebuah informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya.

Cek dan ricek menjadi penting, jangan sampai jempol bergerak sebelum di cek ulang.

Jika orang biasa mungkin hanya perlu cek satu kali kebenaran sebuah unggahan. Seorang tokoh, peneliti dan juga penulis di bebas, perlu melakukan minimal 3 kali cek sebelum membagikan informasi.

Informasi yang salah bukan hanya sekadar salah. Tapi terbukti bisa menyebabkan perang dan juga memakan korban jiwa. Kebebasan berekspresi jangan sampai kebablasan dan memakan korban.

Ronald Wan

***