Dalam kenyataannya, masjid-masjid pemerintah atau masjid BUMN malah di isi oleh orang-orang yang anti pada Pancasila dan malah dijadikan kampanye khilafah.
Pancasila sebagai dasar negara mulai digerogoti oleh faham radikal atau khilafah. Bahkan yang menolak Pancasila sebagai dasar negara adalah kalangan terdidik atau terpelajar. Dan mereka juga menduduki jabatan puncak atau strategis dalam birokrasi pemerintahan atau BUMN.
Virus-virus khilafah ini telak merasuk dalam dunia pendidikan terutama sekolah negeri: mulai dari SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Negeri. Untuk tingkat SMU ada siswa yang tidak mau ikut upacara bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Apalagi disuruh hormat bendera Merah-Putih sebagai lambang negara. Mereka menolak karena dianggap syririk.
Bahkan menurut sumber dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa Perguruan Tinggi Negeri terpapar faham radikal atau khilafah yang menolak Pancasila sebagai dasar negara. Dan menurut penelitian BNPT: mahasiswa atau mahasiswi yang terpapar faham radikal atau khilafah sudah terpapar sejak di sekolah SMP dan SMU. Anehnya para Rektor terkadang menganggap faham radikal tidak ada dalam kampusnya.
Bahkan guru atau kepala sekolah yang merupakan bagian pemerintah malah juga terpapar faham khilafah. Belum lagi aparat juga ada yang terpapar faham khilafah.
Tapi, sekalipun Pancasila digerogoti oleh virus radikal khilafah-pemerintah atau pihak-pihat terkait juga tidak punya "konsep atau program" yang jelas untuk mencegah virus radikal khilafah tersebut berkembang.
Yang ada hanya seminar-seminar ditempat ber-AC atau di hotel dan yang hadir memang 1000%-orang yang sudah anti terhadap faham radikal atau khilafah. Artinya sasaran tidak tepat. Hanya mempertebal keyakinan saja atau tak ubahnya seperti ustadz dakwah dalam masjid-yang udah banyak jamaah dan sealiran pemikiran. Artinya hanya mempertebal iman saja.
Padahal kalau pemerintah atau pihak terkait mau mencegah virus radikal khilafah supaya tidak menyebar begitu cepat, ada banyak cara dan solusi.
Apa itu cara dan solusinya?
Ada momen-momen tertentu kalau pemerintah atau pihak terkait mau mencegah atau membendung faham radikal khilafah tidak menyebar, yaitu: setiap ajaran baru atau masa orientasi siswa baik tingkat SD, SMP dan SMU Diknas Pendidikan,Kepala Sekolah dan Guru bisa menyampaikan atau membumikan Pancasila dan toleransi.
Bahkan kalau perlu memakai video konflik Suriah yang hancur karena juga karena faham radikal khilafah. Kenapa negara itu bisa hancur akibat perang dan apa penyebab perang-bisa diterangkan kepada anak didik siswa-siswi.
Bahkan setiap Senin juga ada upacara bendera. Tapi jangan hanya serimonial belaka yaitu mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hormat saja. Tetapi seorang Kepala Sekolah atau Guru bisa menyampaikan nilai-nilai Pancasila dan toleransi. Sayangnya, ada Kepala Sekolah dan Guru malah terpapar faham radikal dan Khilafah yang anti Pancasila dan upacara bendera.
Seperti maraknya berita "hoax" juga bisa disampaiakan oleh Kepala Sekolah atau Guru pada upacara setiap hari Senin dalam sesi pengarahan. Kalau itu dilakukan terus menerus-pasti akan membawa hasil. Tapi dalam prakteknya, malah guru sering menyebarkan berita "hoax". Berarti harus ada pembinaan kepada guru-guru oleh pihak terkait.
Untuk penerimaan PNS atau pegawai BUMN, pemerintah juga harus melakukan screening dari faham radikal khilafah. Untuk jabatan tertentu dalam PNS atau BUMN juga harus dilakukan seleksi ketat dari faham radikal tersebut. Tapi dalam kenyataannya ,masjid-masjid pemerintah atau masjid BUMN malah di isi oleh orang-orang yang anti pada Pancasila dan malah dijadikan kampanye khilafah.
Sudah saatnya pemerintah dan pihak terkait tegas untuk mencegah faham radikal atau khilafah ini. Kalau tidak tinggal menunggu bom waktu yang setiap saat bisa meledak kapan saja. Yang nantinya hanyalah penyesalan diatas puing-puing kehancuran.
Ekstrim Kanan dan Kiri-sama bahayanya untuk keutuhan NKRI.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews