Sidang Istimewa MPR 1999 [2] Teladan Habibie

Setelah tidak menjabat presiden, Habibie malah tambah mulia. Semua orang semakin menghormati dia. Namanya terpatri di setiap hati bangsa Indonesia.

Selasa, 17 September 2019 | 07:43 WIB
0
688
Sidang Istimewa MPR 1999 [2] Teladan Habibie
BJ Habibie (Foto: Detik.com)

Tanggal 19 Oktober 1999, pukul 20.30 WIB Sidang Istimewa MPR dimulai lagi. Dipimpin Ketua MPR Amien Rais, agenda utamanya adalah pemungutan suara untuk menentukan apakah pidato pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie bisa diterima atau ditolak. Habibie, Ibu Hasri Ainun, Thareq Kemal Habibie dan keluarga besar memilih tinggal di kediaman di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan.

Hadir pula di situ belasan politisi, terutama tokoh-tokoh Golkar dari kubu Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan). Iramasuka adalah faksi Golkar dari Indonesia Timur yang mendukung keras Habibie.

Pemungutan suara dilakukan karena musyawarah tidak bisa dilakukan. Perbedaan terlalu tajam. FPDIP, FKKI, FKB dan FPDKB menolak. Fraksi-fraksi ini punya nama lain untuk dimajukan sebagai calonpresiden: Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Fraksi Partai Golkar dan FPDU menerima. Fraksi lainnya lebih memilih mufakat di sidang. Pemungutan suara pun dimulai. Satu persatu 690 anggota MPR yang hadir memasukkan kartu ke dalam kotak.

Kubu Habibie masih optimistis bahwa pemungutan suara akan menerima pertanggungjawaban. Habibie meminta staf ahli wapres Jimly Ashiddiqie datang ke Patra untuk mengurus surat-surat pencalonan lagi sebagai presiden, dengan catatan: bila pertanggungjawaban diterima.

Jimly pun sibuk menelepon Jaksa Agung Ismudjoko untuk meminta keterangan bahwa Habibie sedang tidak dalam kasus hukum. Kapolri Jenderal Roesmanhadi, minta surat kelakuan baik. Dokter kepresidenan diminta menyiapkan surat keterangan sehat.

Kotak suara pun dibuka. Kartu-kartu suara dibacakan. Kata “ditolak” dan “diterima” muncul bergantian secara ketat. Setiap surat suara dibacakan, sorak sorai bergemuruh. Gedung MPR itu riuh, di tengah malam kota Jakarta. Habibie, meski terlihat ceria, tetap merasa masygul melihat persaingan antara “ditolak” dan “diterima”.

Sebagai sosok yang -menurut Jimly- lugu politik, Habibie heran mengapa kerja kerasnya ditolak. Mendengar kata “ditolak” Habibie seperti bersedih. Tapi keluarganya malah terbalik. Begitu mendengar kata “ditolak”, anggota keluarga malah gembira. Ilham Habibie, putra sulung Habibie, mengatakan:”Biar bapak tak usah jadi presiden lagi. Biar bisa kumpul dengan keluarga!”

Dua puluh menit lewat tengah malam, memasuki tanggal 20 Oktober, pengitungan suara berakhir. Hasilnya, 355 anggota menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Ya 355 lawan 322. Tidak terlalu jomplang sebenarnya.

“Tokkk!!!” Amien mengetok palu pada pukul 00.35 WIB. Sidang Istimewa menolak pertanggungjawaban Habibie!

Tokoh Iramasuka tertegun. Tak percaya, marah dan kecewa. Habibie kecewa, dia masuk kamar, disusul Ainun. Semua tamu lesu dan bertanya-tanya: mengapa bisa kalah tipis? Mengapa lobi-lobi tak berhasil untuk meraih hanya sekitar 33 suara saja!

Tak lama, Habibie kembali keluar. Aneh, wajahnya kini ceria. Ainun juga begitu. Melihat Habibie ceria, Jimly berani bertanya: “Pak, jadi bagaimana pencalonan bapak?”

“Rakyat tidak menghendaki saya untuk terus. Maka saya tidak bisa melanjutkan. Saya tidak bisa menerima pencalonan!” ujar Habibie mantap.

Para anggota MPR mulai meninggalkan gedung. Sebagian pulang, namun sebagian dari mereka merapat ke Patra Kuningan. Tamu datang bergelombang ke kediaman Habibie untuk menyatakan simpati. Ada Menteri Kehakiman Muladi, tokoh ICMI Muslimin Nasution, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie.

Baca Juga: Ketika Romo Mangun Mengajari Habibie "Ber-Islam"

Kemudian para ketua partai seperti Yusril Ihza (PBB), Hamzah Haz (PPP), Nur Mahmudi (Partai Keadilan). Panglima ABRI Jenderal Wiranto didampingi beberapa jenderal pun datang. Sebagian pendukung itu masih mendorong Habibie maju.

“Tidak! Saya harus memberi contoh demokrasi. Saya sudah ditolak MPR. Bagaimana penilaian rakyat kalau saya terus maju? Sebagai seorang democrat, saya tidak bersedia dicalonkan sebagai presiden!” Habibie mengulang-ulang jawaban itu, karena tamu bergantian menanyakan hal serupa. “Clear?” ujar Habibie.

“Lupakan pertanggungjawaban,” lanjut Habibie. “Mari sekarang kita bahas. Sebelum membahas siapa capres, kita bahas dulu cawapres yang akan kita ajukan?” Habibie sudah menguasai emosi diri dan pendukungnya. Dia kini tampil mengatur orkestra.

Semua menunjuk Wiranto untuk jadi cawapres. Wiranto tampak tidak keberatan. “Saya tetap konsisten dengan pernyataan saya tidak akan maju. Tapi kalau fraksi-fraksi menunjuk, saya bersedia,” kata Wiranto, disambut tepuk tangan.

“Oke,” kata Habibie. “Sekarang, siapa capresnya? Bagaimana kalau Hamzah Haz?” ujar Habibie.
Hamzah menolak. Alasannya, PPP tergabung dalam Poros Tengah (partai-partai Islam) yang sudah mengusung nama Gus Dur. “Saya dengan Gus Dur sama-sama Nahdatul Ulama. Masak sesama NU bersaing!” jawab Hamzah.

Bagaimana pun juga, Gus Dur adalah figur sentral di kalangan nahdliyin. Hamzah tak mau kualat. (Kelak Hamzah jadi wapres mendampingi Presiden Megawati).

Saat perbincangan soal capres belum sampai pada kesimpulan nama, tiba-tiba ajudan lapor kedatangan tokoh-tokoh Golkar: Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita, dan Fahmi Idris. Mendengar kedatangan mereka, tokoh-tokoh di dalam, terutama Iramasuka, meminta ajudan melarang Ginanjar masuk. Cukup Akbar dan Fahmi saja.

Di kalangan pendukung Habibie, Ginanjar dianggap membelot karena bermain mata dengan PDIP. Padahal, Habibie yang memernitahkan Wiranto memasukkan Ginanjar sebagai anggota Fraksi Utusan Daerah melalui mekanisme dukungan F-TNI/Polri di DPRD I Jabar.

Akbar dan Ginanjar, disusul Ketua Fraksi Golkar di MPR Marzuki Darusman sudah muncul di ruangan. Semua mata memandang kepada Akbar dan Ginanjar. Mereka meminta penjelasan mengapa bisa kalah 33 suara, padahal rencana pencalonan Habibie sudah jauh-jauh hari dicanangkan. Mestinya Akbar dan Ginanjar mampu memperjuangkan.

Akbar dan Ginanjar menawab, mereka sudah melakukan usaha maksimal agar MPR menerima pertanggungjawaban Habibie. “Namun kenyataannya MPR menolak. Tapi kami tetap akan mendukung pencalonan kembali bapak,” kata Ketua Umum Golkar ini.

Marwah Daud, tokoh Iramasuka, rupanya tak bisa menahan emosi. Dia berdiri dan menudingkan telunjuknya kepada Akbar, Ginanjar, dan Marzuki. Dengan melotot Marwah mengatakan Akbar dan Ginanjar mengubah rancangan tanggapan Fraksi Golkar terhadap pertanggungjawwaban Presiden yang disusun Fahmi Idris. Perubahan itu membuka peluang ditolaknya pertanggungjawaban Habibie.

Dengan ditolaknya pertanggungjawaban Habibie  maka Akbar, Ginanjar dan Marzuki akan mendorong Golkar mencalonkan Megawati sebagai presiden, dan tentu saja Akbar Tandjung sebagai wakil presiden. Begitu pemikiran kelompok Iramasuka.

Demi mendengar tudingan itu, Akbar pun marah: ”Saudari Marwah, ketika saya ada pun Anda melaporkan hal-hal yang tidak benar kepada pak Habibie. Apalagi kalau saya tidak ada, informasi apa yang Anda bisikkan kepada bapak?” suara Akbar meninggi. Marwah menangis!

Ginanjar pun tak kalah marahnya. Sambil mengangkat dua jari tanda sumpah Ginanjar bilang: “Saya tidak berkhianat!” Ginanjar kesal karena dituding tidak bisa mengendalikan orang-orang Golkar asal Jawa Barat.

Pertikaian antara Golkar Jabar dengan Iramasuka memang tajam. Marzuki sang ketua fraksi, juga adalah Golkar utusan Jabar. Ginanjar memang pernah mengupayakan perdamaian kubu Jabar dan Iramasuka di kediamannya. Tapi upaya dia tidak berbuah.

Marwah terus meluncurkan serangan-serangan kepada Akbar-Ginanjar-Marzuki. Diikuti tamu-tamu lain. Tapi Habibie jugalah yang meredam suasana panas dini hari itu.

“Begini ibu Marwah. Saya maklum ibu marah karena ibu mendukung saya. Saya ucapkan terima kasih. Tapi Akbar tidak salah, Marzuki tidak salah. Semua tidak ada yang salah,” ujar Habibie menenangkan Iramasuka.

Habibie kembali mengajak pendukungnya untuk membahas calon presiden. Habibie menyebut nama Akbar. Tapi Akbar menolak karena takut dituding merekayasa penolakan demi pencalonan. Nama Megawati disebut, tapi jelas ditolak.

Kemudian nama Amien Rais muncul. Ketika Namanya disebut, Amien masih berada di Hotel Mulia bertemu dengan beberapa tokoh. Dia kemudian bergegas ke rumah Habibie untuk menolak pencalonannya. Masalahnya Amien sudah menggadang nama Gus Dur sebagai capres dari Poros Tengah. Amien pun balik.

Subuh semakin mendekat, nama capres masih buntu. Habibie pun memutuskan untuk shalat subuh di Istiqlal. Di masjid nasional itu, sehabis shalat, Habibie pidato perpisahan. Dia menjelaskan bahwa dia tidak ingin lagi mencalonkan, karena ingin memberi teladan bahwa kalau MPR menilai gagal, maka tak layak dia mencalonkan diri lagi.

Balik lagi ke rumahnya, Habibie mendapatkan pertemuan itu masih macet. Belum menghasilkan satu nama. Padahal pendaftaran capres tinggal beberapa jam lagi. Lagi, Habibie menunjukkan kebesaran jiwanya. Dia kemudian memeluk Akbar Tandjung. “Demi bangsa dan negara, Pak Akbar majulah!”
Akbar menangis, dan akhirnya luluh. Dia bersedia jadi capres.

Jam 09.00 WIB, Jimly mengubah nama Bacharuddin Jususf Habibie menjadi Akbar Tandjung sebagai capres dan mendaftarkannya ke MPR…

Dalam proses berikutnya, kita tahu bahwa Akbar mundur dari pencalonan, Golkar mengalihkan dukungan kepada Abdurrahman Wahid yang kemudian terpilih jadi Presiden ke-4 Republik Indonesia. Dan Habibie adalah orang pertama yang ditemui Gus Dur setelah beberapa saat terpilih jadi presiden. Gus Dur datang ke kediaman Habibie.

Setelah tidak menjabat presiden, Habibie malah tambah mulia. Semua orang semakin menghormati dia. Namanya terpatri di setiap hati bangsa Indonesia. Bahkan di saat wafatnya, semua lawan politiknya dahulu mengakui Habibie sebagai model negarawan paripurna. Semua orang kehilangan Habibie.

(Selesai)

Keterangan: Tulisan ini adalah nukilan dari buku “Akrobat Politik” sebuah karya investigasi politik yang ditulis Budhiana Kartawijaya dkk.

***

Tulisan sebelumnya: Sidang Istimewa MPR 1999 [1] Teriakan "Huuu…" kepada Habibie