Tentang Pindah Ibukota RI

Sejak masa Soekarno, ke Soeharto, bahkan ke SBY perpindahan ibukota negara hanya berhenti sebagai wacana dan isue politik. Bagaimana dengan Jokowi?

Kamis, 2 Mei 2019 | 08:00 WIB
0
510
Tentang Pindah Ibukota RI
Ilustrasi Tionghoa di Betawi (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Ini sebenarnya tulisan yang agak "brutal", untuk menanggapi akan dipindahkannya ibukota RI oleh Jokowi. Tentu saja itu bukan suatu wacana baru, rencana yang sebenarnya sudah jauh hari telah digagas oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Namun sebenarnya perihal yang pantas dikaji terlebih dahulu adalah kenapa Jakarta (dulu Batavia) dipilih dijadikan ibukota sejak awal memang tak pernah benar-benar serius. Itu hanya kecelakaan yang tak terkira. Sebagaimana juga, Singapura yang awalnya tak lebih dikenal sebagai sarang bajak laut.

Batavia sebenarnya tak lebih tempat JP Coen (yang dikenal sebagai pendirinya) kabur, setelah kalah dalam pertempuran memperebutkan konsesi rempah di Maluku. Ia bersembunyi sebagaimana bajak laut, perompak, atau penjarah untuk menyusun lagi kekuatannya guna menaklukan Ambon. Artinya Ambon-lah yang semestinya dijadikan ibukota Hindia-Timur (Oost Indie), karena memang di situs inilah perdagangan rempah-rempah berpusat.

Pada masa itu, Batavia (atau sebut saja Jayakarta) masihlah pelabuhan kecil tempat para pelaut berlabuh mencari air minum. Nyaris tidak ada komoditi penting yang bisa diperoleh dari tempat ini. Itulah kenapa ia menggunakan moto hidupnya "Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa” sebagai moto kota Batavia. Sejenis "I shall Return"-nya Mc Arthur setelah Hawaii luluh lantak dibombardir Jepang.

Barulah ketika orang-orang Cina daratan masuk, baik sebagai pedagang, pengusaha, maupun pekerja kota ini mulai menampakkan bentuknya. Benang merahnya adalah terjadi perubahan selera dan pasar komoditi dunia dari rempah-rempah ke gula dan arak yang sangat "Jawa" itu. Dan keduanya bisa diproduksi melalui budidaya tebu. Lalu mulailah kota ini dibangun!

Mula-mula syahbandar, benteng, pergadangan, pemukiman, dst dst. Jangan lupa rumah sakit swasta pertama untuk publik di kota ini. Mula-mula juga dibangun oleh orang Cina. Terbuka untuk siapa saja, gak sektarian dan sama sekali tidak elitis. Peran besar orang Cina inilah yang menyebabkan mereka memiliki kelas yang lebih tinggi dari pribumi, yang pada masa itu jumlahnya juga masih sangat sedikit.

Hingga jabatan Kapiten Cina adalah simbol kekuasaan yang menjadi fasilitar, konektor, ataupu komunikakator berbagai kepentingan yang ada. Ia berkuasa ke atas kebawah, ke kanan-kiri. Tak heran rumah mereka adalah yang terbaik dan terbesar pada masanya, di luar Istana Gubernur Jendral.

Orang-orang pribumi mula-mula didatangkan sebagai budak dari berbagai penjuru Nusantara, karena itu tak mengherankan hanya di Jakarta ada toponim-toponim yang bernuansa etnik seperti Kampung Bali, Kampung Makssar, Kampung Ambon, Kampung Bali, dsb dsbnya.

Akulturasi dari berbagai etnik inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut Komunitas Suku Betawi. Yang sebenarnya barangkali orang Sunda plus-plus, hasil kawin silang dari orang-orang dari Sunda pedalaman dengan para pendatang. Karena itulah bahasa Betawi lebih mendekati Bahasa Melayu Rendah daripada Bahasa Sunda yang lebih endemik.

Pertanyaan selanjutnya kenapa berkali-kali pemerintah yang berkuasa selalu gagal bila ingin memindahkan ibukota tapi selalu gagal. Saya pikir jawabannya sederhana!

Sebagaimana tak ada lagi ilmu murni yang berdiri sendiri, kita sulit memisahkan ilmu politik dan ilmu ekonomi. Yang semakin ke ke sini, hal tersebut bukannya semakin melonggar tapi justru makin kuat!

Ilustrasi gampangnya adalah pada dua kutub: siapa pun di luar orang Cina adalah pemilik atau pengampu kepentingan politik, dan sisi lain orang Cina adalah pengampu kepentingan ekonomi. Itu bukan hari ini saja, tapi harus jujur diakui bahkan sejak kota ini didirikan. Oleh siapa? Yang oleh para migran dari Cina itu. Merekalah sesungguhnya pemegang minimal 50% saham kota Jakarta.

Baca Juga: Gagasan Memindahkan Ibukota Sudah Muncul Sejak Era Presiden Soekarno

New line to prevent forcing root class, just delete it if it's not necessary

Mangka daripada itu? Ketika di Buitenzorg telah dipersiapkan sebuah istana termegah, ya gagal. Lalu beringsut ke Bandoeng yang awalnya ledokan kawah yang lebih perawan dibangun layaknya kota Paris juga mentok, balik lagi ke Batavia. Maka gak aneh kalau sejak masa Soekarno, ke Soeharto, bahkan ke SBY perpindahan ibukota negara hanya berhenti sebagai wacana dan isue politik.

Artinya apa? Kalau hari-hari ini muncul dramatisasi bahwa Jakarta makin sumpeg, tidak sehat, intoleransi makin menguat, ekologi makin rusak! Ah itu hanya "komoditi dan argumentasi kekinian" yang lebih layak jadi paper skripsi atau bahkan disertasi, daripada sebuah keinginan yang lebih kuat. Jauh sebelum hari ini pun Jakarta itu kota penyakitan!

Akan halnya Jokowi melontarkan isue ini untuk ke sekian kali lagi, saya kok lebih percaya pada pendapat Pak kyai saya Isni Wahyudi yang menganggap ini sejenis pengumuman tidak resmi bahwa ia masih akan berkuasa hingga 2024.

Oh ya, kalau memang Jokowi serius ingin memindahkan ibukota RI mbok ya yang diajak rembugan dulu para anak cucu "pemegang saham terbesar" para pendiri kota ini. Yang bahkan sudah melangkah lebih jauh mereklamasi kota Jakarta. Ini juga alasan kenapa Ahok juga dijegal sedemikian rupa?

Ini sejenis peringatan bahwa mbok ya jangan ambil semua sahamnya! Setuju gak mereka, setelah tersakiti sekian lama dan tak diakui kontribusi besarnya?

Jokowi mampu? Emang gak ada persoalan yang lebih penting?

***

Catatan: Ilustrasi di atas tertera pada kartupos tentang Kapten Cina di Batavia, terbitan G. Kolff (C. 1890), koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD)