Membaca Kegalauan Gatot Nurmantyo

Selasa, 15 Januari 2019 | 19:42 WIB
0
471
Membaca Kegalauan Gatot Nurmantyo
Gatot Nurmantyo dan poster itu (Foto: Tribunnews.com)

Beberapa hari lalu, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, meminta BPN koalisi 02 menurunkan gambarnya yang dipajang dengan paslon mereka. Cukup menarik apa yang ditampilkan ini, ketika beberapa isu utama mereka sama, namun ada gambar yang dipakai ia tidak mau. Ada klaim sepihak yang tentunya bermakna politis, karena ini adalah kegiatan politik.

Melalui media, jelas bahwa Gatot mau menunjukkan secara luas posisinya hingga saat ini tidak ada di dalam koalisi 02 secara serius, resmi, dan itu dibuktikan dengan penolakannya photonya dipakai untuk kampanye. Cukup wajar melihat perkembangan politik yang masih cukup dinamis ini.Ke mana kemenangan itu belum sepenuhnya bisa dipegang.

Survey dan klaim, apalagi hanya othak athik gathuk, tanda-tanda dari langit, atau hanya menghitung kancing baju. Itu boleh-boleh saja, toh hasil masih beberapa bulan lagi. Posisi inilah yang dipakai Gatot Nurmantyo, apalagi masih sangat terbuka peluang 2024 nantinya. Salah langkah sekarang bisa berabe 2024 nanti.

Menolak pemakaian photonya apakah sudah berarti tidak mendukung 02? Belum tentu, ataukah pasti mendukung 01? Belum pasti juga. Peran krusial ini harus dijaga agar jangan sampai malah kehilangan momentum lagi. Kapasitas dan dukungan bagi GN cukup kuat dan signifikan. Hanya saja salah bersikap dalam beberapa isu nasional yang membuatnya malah terlempar jauh dari pusaran pilpres.

Melihat kemungkinan GN untuk 2024 sangat terbuka. Peluang dari koalisi 01 jauh lebih memungkinkan baginya. Mengapa demikian?

Koalisi 01 tidak memiliki putera mahkota yang kudu. Harus. Bisa siapa saja dari kubu ini, dan itu adalah peluang bagi dia untuk tetap bukan menjadi “musuh”. Sikap bijak bisa membawanya masuk ke beberapa partai yang ada di koalisi ini, ada Golkar dengan sekjen anak buahnya, atau Hanura, PKB pun masih bisa ia masuki. PDI-Perjuangan pun bisa dengan catatan soal keputusan Mega.

Posisi capres dan cawapres dari koalisi ini masih sangat cair, tidak ada yang sudah mendapatkan keutungan dari pilpres 2019 kali ini. Ini jelas menguntungkan karena posisi sejajar dan bisa bersaing secara sehat dan fair ke depannya. Gambaran demokrasi beradab yang baik.

Memang perlu klarifikasi atas sikapnya dalam melihat komunisme dan gerakan fundamentalisme yang telah ia tunjukan dengan gamblang. Itu menjadi penting karena Pancasila menjadi urat nadi bagi koalisi ini.

Beberapa pihak toh pernah berseberangan dengan frontal pun bisa masuk ke dalam kebersamaan 01. Jadi bukan tidak mungkin pertimbangan menolak pemakaian photonya untuk menjaga kemungkinan ini. Cukup wajar dan normal pilihan ini.

Susahnya jika ikut 02.

Ada beberapa putera mahkota di sana. Menang  ataupun kalah jelas Sandi akan tetap maju pada 2024. Posisinya saja yang berbeda, jelas ini bukan pilihan yang menguntungkan. Mentok tetap sebagai calon wakil presiden, dengan Sandi akan maju sebagai presiden jika menang. Jika kalah bisa lain kisah.

Ada pula AHY. Jelas lebih susah dan pelik lagi posisinya. Bagaimana ia harus mengerti dan mengambil purnawirawan mayor seperti itu, belum lagi bapaknya. Pilihan susah dengan adanya AHY di sana. Slot makin sempit.

Pilihan politik selanjutnya bagi GN jelas penting, bagaimana ia akan bersikap. Mau membuat partai, diam saja biar seperti Moeldoko yang akhirnya masuk juga ke dalam pemerintahan, atau mendirikan partai sendiri? Sangat realistis jika melihat reputasi dan kapasitasnya. Masuk parpol yang sudah ada juga bisa.

Golkar. Cukup mungkin, apalagi sudah ada sekjend dari jenderal yang bersama-sama aktif sebagai  tentara. Ada kemudahan kerja sama, namun banyak faksi di dalam Golkar tentunya akan ribet jika ada militer lagi yang masuk. Bisa jadi masalah baru, usai berdarah-darah rebutan ketua beberapa waktu lampau.

PDI-Perjuangan. Ini juga mungkin melihat seperti Kapitra yang sering bersebarangan pun toh bisa menjadi caleg. Masih ada kemungkinan, meskipun jelas lagi-lagi tidak akan mudah.

Nasdem, Hanura, sangat terbuka lebar. Apalagi Hanura di mana beberapa petinggi militer pernah dan ada di sana. Terbuka lebar peluang itu.

Mendirikan partai sendiri, agak susah melihat kekuatan banyak hal yang ia miliki. Tidak cukup kuat untuk bisa menjadi apa-apa. Lebih realistis dan hemat itu ikut yang sudah ada. Pilihan lebih rasional dan hemat juga.

Ada pula pilihan bergabung dengan kubu 02. Paling mungkin Gerindra dengan kesulitan sama di atas. Adanya Sandi sebagai kandidat kuat ke pilpres mendatang. Pilihan yang tidak mudah karena terbentur kepentingan.

Demokrat, ini juga sangat kecil, di mana ada AHY dan SBY. Susah bisa berbicara banyak dengan tipikal GN dan arah yang  telah diperlihatkan. Sangat kecil kemungkinan itu.

PAN, PKS, dan lainnya, sangat kecil kemungkinannya, meskipun tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Namun tidak cukup ada alasan untuk bisa masuk ke sana.

Berkarya sangat mungkin, namun mau apa di sana itu penting. Tidak ada alasan kuat untuk menjadi kekuatan maju menjadi apapun itu.

Sikap GN itu masih sangat terbuka, apalagi jika bicara juga soal  “kardus” bisa saja masih setipis atm belum setebal bata sebagaimana yang idealnya. Ini pun mungkin.

Salam.

***