Memahami Freeport dengan Logika Sederhana, bukan Logika Rachel Maryam

Senin, 24 Desember 2018 | 07:16 WIB
0
1391
Memahami Freeport dengan Logika Sederhana, bukan Logika Rachel Maryam
Rachel Maryam (Foto: Kompas.com)

Seandainya…

Seandainya Anda punya tanah dan tanah itu Anda sewakan, anggap saja lima tahun. Oleh si penyewa tanah tersebut lalu dibangun sebuah restoran bernama Mc Donald. Apakah setelah lima tahun kontrak habis maka Anda merasa berhak memiliki restoran tersebut?

Seandainya Anda punya bangunan yang Anda sewakan. Oleh si penyewa tempat tersebut dijadikan usaha jual mobil yang masya Allah untungnya. Mobil yang dipajang baru-baru dan sangat banyak. Anda lalu merasa pingin juga punya banyak mobil seperti si penjual mobil tersebut. Apakah Anda akan berpikir untuk menguasai penjualan mobil tersebut dengan mengusir si penyewa dan mengambil alih perusahaannya? 

Yo, endak toh! Itu namanya samin. 

Lho…! Bukankah tanah dan gedung itu milik saya? Kalau sewanya berakhir ya tanah dan gedungnya balik ke saya dong…! Masak saya harus membeli tanah atau bangunan saya sendiri…?! Bukankah itu namanya dungu bin pekok…?! 

Anda betul sekali. Kalau Anda punya tanah atau gedung yang Anda sewakan lalu pada akhir perjanjian sewa Anda harus membeli tanah atau gedung tersebut kembali maka itu namanya dungu bin pekok. 

Saya rasa seluruh Indonesia bisa memahami betapa dungu bin pekoknya Anda jika harus melakukan hal tersebut. 

Tapi…

Tapi jika Anda merasa bahwa Anda berhak memiliki restoran McDonald pada akhir sewa properti Anda karena restoran itu berdiri di atas properti yang disewanya dari Anda. Atau Anda merasa bahwa Anda berhak memiliki separoh dari mobil yang dijual oleh si penyewa properti Anda pada akhir perjanjian sewa maka Anda perlu memeriksakan kejiwaan Anda. Anda menderita ilusi kejiwaan yang akut.

Bagaimana dengan Freeport? Kenapa sih kita harus membelinya? Bukankah Freeport itu milik kita? 

BUKAN…! SANES…! TANIA…!

Yang kita miliki itu tanahnya. Tanah yang dikelola oleh Freeport itu adalah hak milik sah bangsa Indonesia. Freeport itu adalah perusahaan milik asing yang menyewa tanah tersebut. Jadi jika kita putus kontrak dengan Freeport maka yang kembali ke kita adalah tanah yang kita sewakan tersebut. Freeport TIDAK BISA kita miliki hanya karena ia menyewa tanah kita selama ini. Apakah kamu paham sampai di sini, Ahmad Ferguso…?! 

Baiklah…! Seandainya PT Freeport kita tendang saja apakah kita tidak bisa membuat perusahaan pertambangan emas yang sama dengan PT Freeport? Kita kan bukan orang bodoh. Banyaklah warga Indonesia yang bisa nyangkul atau mengoperasikan backhoe untuk mengeruk emas itu sendiri. Ngapain harus beli PT Freeport kalau kita bisa nyangkul emas di tanah kita sendiri? 

Pertama, tentu saja tidak semudah itu, wahai Waluyo Ferguso. Sungguh tidak mudah. Lha wong untuk menguasai sepenuhnya pengelolaan PT Badak NGL Co, perusahaan gas LNG yang ada di Bontang, yang semula dijalankan oleh mayoritas tenaga asing saja pemerintah membutuhkan puluhan tahun. Selama puluhan tahun terjadi peralihan teknologi dan manajemen yang berangsur-angsur. Jadi tidak bisa langsung kita ambil dan kuasai teknologi mau pun manajemennya. Itu hanya ilusi.

Pernah tahu kisah Bambang Rahmadi yang pertama kali membawa franchise McDonald ke Indonesia? Selama 17 tahun ia mengembangkan McDonald sebelum akhirnya ia ditendang (ya, Bambang Rahmadi yang ditendang) keluar dari McD yang ia bawa 17 tahun yang lalu. Bambang Rahmadi kemudian mendirikan kedai ayam gorengnya sendiri bernama Tony Jack’s dengan logo bajak laut bernuansa hitam (McD akhirnya menjadi milik Sosro Group).

Bagaimana nasib perusahaan ayam goreng lokal bernuansa asing bernama Tony Jack ini? Ternyata meski sudah berpengalaman selama 17 tahun mengurusi McDonald sehingga mestinya Bambang Rahmadi menguasai semua tetek bengek dari perusahaan ayam goreng Tony Jacknya tak mampu bersaing dengan McDonald. Kini tak satu pun dari 13 gerai Tony Jack yang hidup. 

Apa artinya? Artinya ya tidak semudah itu, wahai Daeng Ferguso. Jangankan mengelola perusahaan emas berskala dunia lha wong mengelola rumah makan ayam goreng dan burger berskala nasional aja tidak mudah kok.

Wis ngono ae, Cak Nanang Ahmad Rizali. Nek kiro-kiro onok sing gak cocok yo sepurane. Tapi mbok menowo awakmu duwe no hapene Rachel Maryam mbok ya aku kirimono. Tak delok-delok arek iki soyo dino kok yo soyo ayu… 

***

Surabaya, 24 Desember 2018