Emas Tumpang Pitu (2): WALHI Sebut Terjadi Kriminalisasi Aktivis Lingkungan

Senin, 14 Januari 2019 | 08:31 WIB
0
433
Emas Tumpang Pitu (2): WALHI Sebut Terjadi Kriminalisasi Aktivis Lingkungan
WALHI Jatim sebut terjadi kriminalisasi aktivis lingkungan di Jatim. (Foto: Istimewa).

Catatan Peringatan Hari Lingkungan pada Rabu, 10 Januari 2019, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur menyebut, sepanjang 2018 lalu, Provinsi Jatim mengalami banyak tanda soal bahaya lingkungan.

Walhi mencatat bahwa air sebagai kebutuhan pokok dasar manusia, sudah mulai menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Indeks kualitas air di provinsi terluas di Pulau Jawa ini, setiap tahunnya mengalami penurunan.

Direktur Eksekutif Walhi Jatim Rere Christanto menyebutkan, bahkan Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang menjadi kebanggaan warga Jatim, sudah dalam kondisi waspada dan berbahaya.

Kondisi eksisting kualitas air di Jatim saat ini menunjukkan, konsentrasi Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 87,4%, total coli sebesar 49%, coli tinja 55,98%, COD 7,2%, dan TSS sebesar 65%.

“Temuan ini didapat dari lokasi pantau yang punya baku mutu kualitas air sungai kelas II, yakni BLH Kabupaten/Kota, BLH Jatim, Perum Jasa Tirta, Dinas Pengairan Jatim,” ungkap Rere Christanto.

Penurunan kualitas air ini diakibatkan krisis lingkungan hidup yang terjadi pada hulu maupun hilirnya. Di kawasan hulu seperti Malang Raya, Walhi menemukan kerusakan lingkungan bahkan sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan.

Konfigurasi titik mata air dan kebutuhan mata air di Malang Raya, menurut Rere Christanto, menunjukkan kecenderungan kritis. Pada Kota Batu misalnya, ada 111 titik yang mengalami kemerosotan sumber mata air.

Sementara Kecamatan Bumiaji yang dulunya ada 57 titik, merosot menjadi 28 titik. Lalu, di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air, saat ini tersisa jadi 15 titik. Dan di Kecamatan Junrejo yang punya 22 titik, kini tersisa 15 titik.

Kerusakan pada wilayah hulu ini disebabkan besarnya alih fungsi hutan dan wilayah lindung, jadi kawasan pemukiman dan pariwisata. Sejauh ini, pariwisata yang menghasilkan pundi-pundi keuntungan memang terlihat lebih seksi dibanding menjaga ibu bumi tetap hidup.

Data yang lain menunjukkan, lebih dari 800.000 ha kawasan hutan sebagai area resapan di Jatim mengalami kerusakan, 250.638 ha di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, 286.102,12 ha di DAS Sampean, 270.296,79 Ha di DAS Bengawan Solo.

Data di atas jelas menunjukkan kalau langkah pemulihan kualitas air di Jatim tak bisa hanya diatasi oleh pemerintah saja. Sektor seperti kawasan hutan, pesisir, dan wilayah lindung, sebenarnya harus saling terkait.

“Meski begitu, Pemrov Jatim tetap perlu memberi perhatian langsung untuk menuntaskan problematika pemulihan sumber daya air,” ungkap Rere Christanto.

Situasi krisis ekologi ini semestinya menjadi trigger bagi para politisi Jatim, untuk membuat program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Tapi semuanya sekarang tampaknya mblegedes semua.

“Tidak ada aktor politik Jatim yang sudah atau akan mengikuti Pemilu, memprioritaskan lingkungan sebagai agenda utama. Padahal, lingkungan mempengaruhi banyak hal dalam hidup. Termasuk kondisi sosial,” lanjut Rere Christanto.

Menurutnya, gentingnya masalah lingkungan hidup di Jatim yang seringkali disebabkan cukong dan korporat, secara tidak langsung memicu adanya konflik. Di beberapa daerah, sudah banyak pergolakan dari warga yang menolak adanya industrialisasi di daerahnya.

“Walhi Jatim mencatat, dalam rentang waktu 2015-2018, setidaknya sudah 38 orang warga dikriminalisasi karena menolak industrialisasi, oleh korporasi maupun otoritas lokal,” kata Rere Christanto.

Tingginya angka kriminalisasi ini jelas menjadi petunjuk, bahwa sampai saat ini belum tampak keberpihakan penguasa maupun aktor politik di Jatim, pada nasib para pejuang lingkungan hidup.

Rere Christanto menyebut, dalih kriminalisasi ini justru sering dipakai untuk memidanakan para pejuang lingkungan hidup. “Metode kriminalisasi telah menjadi resep jitu yang terus menerus dijalankan,” ungkapnya.

“Itu dilakukan demi membungkam partisipasi rakyat di alam demokrasi untuk menyuarakan keselamatan lingkungannya,” kata Rere Christanto. Contohnya Kasus Salim Kancil 2016 lalu dan kriminalisasi aktivis lingkungan Tumpang Pitu.

Melihat kondisi tersebut, Walhi Jatim kembali mempertanyakan komitmen dari para politisi terkait situasi penurunan kualitas lingkungan hidup di Jatim. Walhi Jatim tak hanya memberi data, tapi Walhi juga membawa puluhan massa dari lintas aktivis lingkungan.

Simpatisan aksi yang berasal dari Waduk Sepat (Surabaya), Desa Lakardowo (Kabupaten Mojokerto), Tumpang Pitu (Banyuwangi), dan aliansi masyarakat lainnya, bersama-sama mengadakan aksi di depan Kantor Gubernur Jatim tepat pada Kamis (10/1/2019).

Mereka seolah ingin memberi piagam penghargaan atas buruknya penangangan masalah lingkungan yang terjadi di sejumlah wilayah di Jatim. Langkah konkrit Pemprov Jatim soal permasalahan lingkungan hidup juga dipertanyakan.

Begitu pula represi pada aktivis yang ingin memperjuangkan lingkungannya. Maka tidaklah heran kalau Walhi Jatim memberi gelar Jatim sebagai Provinsi Juara Kriminalisasi, Intimidasi dan Kekerasan pada Pejuang Lingkungan.

Budi Pego

Sejak beroperasinya industri pertambangan di gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, yang dilakukan oleh anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk, yakni: PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo DSI) sejak 2012, beragam krisis sosial-ekologis kini terus meningkat di daerah ini.

Apalagi sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi Objek Vital Nasional pada 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631 K/30/MEM/2016, kini Tumpang Pitu menjadi kawasan eksklusif yang seolah tak bisa tersentuh oleh siapapun, khususnya warga sekitar dan masyarakat sipil lainnya.

Situasi ini selain menunjukkan secara terang-terangan bagaimana kuasa modal melakukan penghilangan secara paksa hubungan, sejarah sosial, dan memori warga terhadap gunung Tumpang Pitu, juga sekaligus memberi peluang besar terjadinya tindakan represi terhadap warga yang menolak kehadiran tambang.

Salah satunya, adalah rentetan kriminalisasi yang menimpa warga Tumpang Pitu yang menolak kehadiran pertambangan tersebut. Berikut beberap catatan terkait kriminalisasi warga Tumpang Pitu.

Pertama, pada akhir November 2015, sebanyak 8 orang warga dituduh merusak fasilitas perusahaan. Saat ini kasus tersebut berstatus 4 orang divonis bebas murni, dan 4 warga lain, kasusnya masih berjalan di tingkat kasasi.

Kedua: pada awal April 2017, sebanyak 22 orang warga dituduh membawa spanduk aksi tolak tambang yang diduga mirip logo palu arit. Atas tuduhan tersebut, 4 orang warga ditetapkan menjadi tersangka.

Ketiga, pada Mei 2017, seorang kuasa hukum (pengacara) warga telah dituduh melakukan pencemaran nama baik perusahaan. Ini bermula saat pengacara itu mengatakan pada media, aktivitas kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu diduga telah mencemari lingkungan.

Atas kasus ini, pengacara warga tersebut ditetapkan menjadi tersangka. Satu-satunya warga yang kini masih menjalani proses hukum adalah Heri Budiawan alias Budi Pego. Pejuang lingkungan Tumpang Pitu ini berasal Desa Sumberagung, Pesanggaran.

Senin (4/9/2017) Budi Pego kembali mendatangi Polres Banyuwangi. Kedatangannya guna memenuhi surat panggilan Polres Banyuwangi sehubungan dengan perkara tuntutan yang ia hadapi sebagai tersangka penyebar ajaran komunisme, marxisme-lenimisme.

Ia dituduh menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme, marxisme-lenimisme di muka umum dengan media tulisan (spanduk). Budi Pego dijerat dengan pasal 170a UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Tanpa diduga sebelumnya, pasca pemeriksaan itu di Polres Banyuwangi itu, Budi Pego lantas digiring ke mobil kepolisian untuk selanjutnya dibawa ke Kejari Banyuwangi. Setibanya di Kajari, ia kembali menjalani beberapa pemeriksaan selama 1 jam.

Usai itu, Budi Pego yang didampingi dua orang pengacara dari Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda) mendapatkan keterangan dari pihak Kajari Banyuwangi bahwa dirinya akan langsung ditahan.

(Bersambung).

***