Ahmad Dhani, musisi muda jenius dari Surabaya, pernah menjadi inspirasi dan ikon musik Indonesia. Sukses di dunia musik dari dekade 90-an sampai 2000an, tak membuat ia juga meraup simpati di dunia politik yang kini dia jalani. Baladewa, jutaan penggemarnya mungkin mempertanyakan jalan nasib sang jenius.
Dalam cerita pewayangan, Baladewa selalu menjadi antitesis seorang Kresna. Keduanya bersaudara diturunkan dari bapak yang sama, Basudewa, namun dikisahkan dengan nasib berbeda.
Baladewa putih, Kresna berkulit gelap. Baladewa digambarkan keras hati dan penuh amarah, tapi Kresna kebalikannya; bijaksana dan pandai menghibur.
Dalam cerita Bharatayuda, Baladewa konon mendukung Kurawa, sedang Kresna berada di pihak keluarga Pandawa.
Kresna dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, sang dewa kebijaksanaan, namun Baladewa “hanya” dianggap jelmaan Sesa, ular yang menjadi peraduan Wisnu.
Kresna, yang dianggap titisan Dewa Wisnu dipuja tak hanya kaum Hindu, tapi juga ditahbiskan sebagai sosok suci di agama Jainisme, Budha, dan Baha’i. Bahkan, oleh mazhab Ahmadiyah, Kresna dianggap sebagai salah satu nabi atau awatara suci utusan Tuhan.
Baladewa, hanya dipuja dalam tradisi Waisnawa dan beberapa sekte Hindu di India, itupun disandingkan dengan Kresna sebagai dwitunggal. Jika diibaratkan, Kresna adalah pencipta sedangkan Baladewa merupakan potensi kreativitas penciptaannya.
Ahmad Dhani muncul sebagai anak muda jenius di bidang musik di awal 90-an. Berawal dari band remaja di pertengahan 80-an di Surabaya, ia bersama teman-temannya membentuk Dewa19. Group band ini kemudian merajai festival musik di kota buaya itu. Kreatifitas dan nasib baik mengantarnya pula merajai blantika musik Indonesia dari 90-an hingga 2011. Di tahun 2011, group band fenomenal ini bubar.
Menurut pengamat musik Bens Leo, penyebab bubarnya Dewa bukan karena kreatifitasnya mandeg, tetapi kesibukan luar biasa Ahmad Dhani mengurusi hal lain yang menyebabkan grup ini berada dalam keadaan kurang sehat. Bens Leo mengatakan: "Dhani bisa membentuk RCM hingga artis-artisnya dikenal, tapi Dewa 19 justru tidak terurus”.
Belakangan, Ahmad Dhani bahkan mulai meninggalkan dunia musik. Selepas menjadi juri di berbagai lomba pencarian bakat, ia mengundi nasib di ajang politik.
Sejak 2014 dia sudah jadi pendukung capres Prabowo fanatik, membuat video klip dengan memakai symbol Nazi. Di tahun 2015 dia sempat mencanangkan maju di Pilkada Surabaya namun tak mendapat dukungan berarti. 2016 dia ikut mencela Ahok dan mendukung demo jemuran monas berjilid-jilid.
Sebagai warga NU dan aktif di PKB, Ahmad Dhani pernah mengajukan diri menjadi Cagub DKI dari PKB tahun 2017. Sayang dia tak cukup modal dukungan, PKB merapat ke kubu Agus-Sylvi di putaran pertama, kemudian beralih ke Ahok-Djarot di putaran kedua – kubu yang selama ini dimusuhi Dhani.
Karir politiknya sempat hampir naik ketika Gerindra mengajukan dirinya sebagai cawabup Bekasi di pilkada 2017. Di kontestasi ini, Dhani sempet sesumbar akan mendatangkan group band dunia Red Hot Chilli Peppers kalau terpilih ini, hanya mampu meraih dukungan warga Kabupaten Bekasi sebesar 26%. Kalah telak dari paslon lain yang kemudian terpilih jadi Bupati-Wabup Bekasi, Neneng-Eka yang meraup 40% suara.
Ini cerita tentang abang saya, seorang Baladewa sejati.
Ia tumbuh menggemari lagu-lagu yang dilantunkan group asal Surabaya ini. Masa remaja hingga dewasanya seperti garis nasib yang sama dengan deretan album-album Dewa.
Abang saya bahkan hapal di luar kepala nama-nama Dhani, Ari Lasso, Andra, Wawan dan Erwin. Ia mengeja nama DEWA19 sebagai singkatan dari nama-nama personel band pujaannya itu.
Ketika menjejak masa kemahasiswaan, dia mulai jatuh cinta. Mahasiswi berwajah oriental selalu membayangi benaknya, dan bibirnya tak henti melantunkan Kangen, lagu andalan Dewa19 di album perdananya; Dewa 19 (1992). Kalau hendak mengenang perempuan yang sayangnya tak pernah ia pacari itu, maka ia memutar lagu-lagu Dewa19 lawas itu.
Ketika menjadi aktifis mahasiswa, ikut berdemo sana-sini, atau tawuran dengan mahasiswa jurusan lain, ia menjadikan album-album Dewa selanjutnya sebagai pengiring hari-harinya, Ia bahkan mencatat semua lirik yang ditulis Ahmad Dhani ke buku hariannya. Katanya, lirik-lirik dalam lagu Dewa sangat menggugah.
Dewa19 kemudian produktif menelurkan album-album baru setelahnya, ada Format Masa Depan (1994), Terbaik-Terbaik (1995), hingga abang saya lulus dan menjadi sarjana, album Pandawa Lima (1997) menutup masa kemahasiswaannya. Ia lulus dengan lagu-lagu Kirana, Kamulah Satu-Satunya dan juga “Selatan Jakarta” yang terangkum dalam album itu.
Lagu “Selatan Jakarta” ini juga membuatnya terdorong untuk hijrah ke ibukota di tahun 1998. Meskipun akhirnya kakinya tak berlabuh di Jakarta Selatan, tapi setidaknya dia puas menafsirkan lokasi yang agak mirip, Gunung Putri Bogor. Setidaknya sama-sama juga terletak di sebelah selatan dari Jakarta, ujarnya.
Abang saya sempat terpukul ketika Dhani mengeluarkan Ari Lasso dan Erwin dari Dewa19. Dia bertutur bahwa keduanya dikeluarkan karena ketergantungan obat, namun ini membuatnya sedih. Kesedihannya mulai terobati ketika Dewa muncul dengan format band baru dengan vokalis berganti ke Once Mekel yang bersuara berat dalam album Bintang Lima (2000).
Hingga tiga album berikutnya, Cintailah Cinta (2002), Laskar Cinta (2004), dan Republik Cinta (2006) abang saya masih rajin membeli kaset-kaset dan CDnya.
Abang saya memang seorang baladewa sejati. Sebagai baladewa, tak sah rasanya kalau dia tak mengabadikan nama Dewa dalam kehidupannya.
Putranya yang lahir di tahun 2007 dia namai Dewa, gagah rasanya. Tiga anaknya, dan Dewa adalah satu-satunya lelaki. Sekira ada anak lelaki yang lain, bukan tidak mungkin akan dinamainya Dhani atau yang lain yang berhubungan dengan Dewa.
Ketika Dewa mulai vakum, dengan kesibukan masing-masing personelnya, abang saya masih mencoba bertahan sebagai BalaDewa. Paling tidak, ia masih membeli album-album Republik Cinta dan Andra and The Backbone yang dibidani oleh dua musisi favoritnya; Dhani dan Andra.
Kemudian tahun politik tiba, 2014. Abang saya mengikuti angina hembusan keberpihakan politik Dhani. Dia ikut memilih Prabowo di Pilpres 2014, dan rajin mengecam Jokowi yang dianggapnya tak setia pada jabatan Gubernur DKI. Abang saya memang Baladewa yang kaffah.
Namun kemudian dia mulai galau ketika Pilkada DKI 2017 berhembus. Dia, yang selalu mengaku ibadahnya biasa-biasa saja meskipun tetap konsisten sholat 5 waktu, tak mau politik dicampur baurkan dengan agama. Dia mendukung Ahok, yang dianggap penista agama oleh Dhani dan teman-temannya.
Ahmad Dhani, yang dulu dikenalnya sangat woles dan liberal dalam agama – apalagi abang saya menganggap lagu-lagu Dhani dan Dewa sangat kental warna tasawuf atau sufismenya, terperangah ketika melihat perilaku dan pernyataan Dhani mulai mengoyak-ngoyak keberagaman.
Dhani yang dikenalnya sebagai musisi jenius kemudian lebih banyak tampil di media sebagai politisi corong kubu tertentu.
Di titik ini, dia mulai mengambil jalan berbeda. Abang saya sang Baladewa sejati, merasa Dhani lebih cocok menjadi musisi ketimbang politisi.
Dia kecewa, Ahmad Dhani – dengan segala bakat dan kreatifitasnya, tentu akan lebih sukses menekuni musik, menyebarkan kegembiraan atau mengobati luka kesedihan lewat lagu-lagunya. Nama Ahmad Dhani adalah sebuah jaminan kualitas musik, sudah kondang, selain juga ia telah mengantar banyak penyanyi terkenal ke puncak karirnya.
Kini ia melihat Ahmad Dhani terpuruk karena ucapan-ucapan politisnya yang cenderung menyebarkan ujaran kebencian terhadap kubu politik sebelah. Sesuatu yang menurut abang saya sungguh tak perlu. Politik itu receh dan remeh, tak pantas menyeret Ahmad Dhani ke kursi pesakitan.
Abang saya, baladewa sejak mula, tercenung sedih merenungi jalan hidup pujaannya itu. Dari seorang musisi muda jenius yang menginspirasi remaja seusianya, kini terseret arus politik dan menjadi tersangka ujaran kebencian.
Baladewa-baladewa, kini abang saya merasa diri sebagai jelmaan ular yang hanya menjadi peraduan kotor di riuh politik yang teruk.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews