Antara Suka, Benci dan Politik

Selasa, 16 Oktober 2018 | 16:36 WIB
0
512
Antara Suka, Benci dan Politik

Di suatu pagi saya terlibat diskusi yang mencerahkan dengan seorang yang saya cintai. Bincang-bincang tersebut membuat saya teringat tentang perkataan Imam Ali.

“Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu.”

Ini bisa kita jadikan parafrase dan dianalogikan sesuaikan dengan kondisi kekinian ala Indonesia:

Parafrase 1.

Jangan menjelaskan tentang Pak Prabowo kepada siapapun, apalagi pendukung Pak Jokowi. Karena yang menyukainya tidak butuh itu dan yang membencinya tidak mempercayai itu.

Paraprase 2.

Jangan menjelaskan tentang Pak Jokowi kepada siapapun, apalagi pendukung Pak Prabowo. Karena yang menyukainya tidak butuh itu dan yang membencinya tidak mempercayai itu.

Catatan Pribadi:

Saya adalah kader Partai Gerindra. Di Gerindra tidak ada istilah politisi. Yang ada adalah pejuang. Jadi, kami adalah pejuang politik di Partai Gerindra, tentunya adalah pejuang pendukung Prabowo-Sandi. Maka dari itu tidak perlu dijelaskan kepada kami tentang Pak Prabowo dan Bang Sandi. Karena kami tidak perlu itu.

Namun demikian, saya tidak serta merta membenci Pak Jokowi. Tidak ada faedahnya karena duduknya Pak Jokowi sebagai presiden tidak bisa dilepaskan dari dukungan Partai Gerindra saat Pak Jokowi masuk Jakarta.

Dalam perjalanan Partai Gerindra ada kisah tentang Pak Jokowi dan dalam perjalanan Pak Jokowi ada cerita tentang Gerindra. Keduanya tidak bisa mengelak. Keduanya sudah ditulis di mahkamah sejarah.

Saya meyakini jauh di dasar hati Pak Jokowi, sebagai manusia Jawa beliau tidak akan pernah melupakan hal tersebut. Dalam sambutan di KPU, Pak Jokowi bilang Pak Prabowo dan Bang Sandi adalah sahabat beliau sejak lama.

Dalam politik ala-ala Machiavelli, enemy of your enemy is your friend. Friend of your friend is your friend.

Kalau Pak Prabowo adalah pimpinan saya di Gerindra dan Bang Sandi adalah sahabat karib saya, dan menurut pak Jokowi mereka bertiga bersahabat. Maka artinya Pak Jokowi adalah sahabat saya.

Karena Pak Jokowi adalah sahabat kita, maka tidak perlu dijelaskan lagi kepada kita tentang Pak Jokowi. Baik buruknya kita tentu sudah tahu. Kita tidak perlu itu. Pak Jokowi orang baik. Titik.

"Yang Membencinya Tidak Perlu itu".

Kita tidak bisa memang membenci sesuatu. Apalagi berlebih-lebihan hingga mubazir. Itu akan menggelapkan mata kita.

Pada post sebelumnya saya tulis soal bias kelompok. Ada lagi ahli yang menjelaskan bias cognitive.

Saya hanya ingin jelaskan jika kita, saya, dan anda sudah menjadi anggota kelompok tertentu. Maka anda akan sangat mungkin jadi bias.

Jika anda ilmuwan yang seolah independen, tapi sudah jadi temannya Pak Jokowi, atau bahkan pernah jadi tim Pak Jokowi. Maka anda akan berpotensi sekali menjadi bias. Bias menilai Pak Jokowi, apalagi jika hendak menilai Pak Prabowo.

Demikian juga sebaliknya.

Saya sangat menghindar untuk memberi penilaian terhadap Pak Jokowi. Karena terus terang, sekarang saya adalah anggota kelompok pendukung Pak Prabowo dan Bang Sandi.

Yang bisa saya lakukan sekarang hanya menceritakan sebanyak-banyaknya hal positif tentang teman saya Sandi Uno dan Bapak saya Prabowo Subianto.

Karena terus terang, terasa ngilu jika ada hal-hal negatif tentang saya, diri saya, kelompok saya, teman saya, bapak saya, keluarga saya, koalisi saya, dan lainnya dari saya yang kemudian ditulis oleh orang yang minim informasi. Tapi seolah tahu banyak dan menyerocos banyak hal.

Ini tampaknya lebih baik. Apalagi sekarang jaman hiper informasi. Orang merasa dialiri arus informasi yang banyak tapi kenyataannya tidak banyak informasi yang dia tahu. Asymetric Information yang kerap terjadi. Kita tidak pernah benar benar akan tahu sesuatu selain kita melihat, mendengar, dan mengalami sesuatu. Bahkan media yang kita kenal kredibel saja bisa juga salah.

Percayalah, semakin banyak Anda menulis status-status negatif, berkomentar minor, mengolok-olok, nyinyir, menyerang orang, mengatakan orang bodoh, serta di saat bersamaan mengatakan kita hebat dan kelompok kita top. Maka di saat itulah sebenarnya kita sedang dan akan kehilangan simpati dari orang-orang yang sedang atau bahkan belum menentukan apa-apa. Kita sedang mengasah diri menjadi pembenci dan itu tidak baik untuk kesehatan Jiwa.

Sekali lagi, temanmu tidak perlu itu dan yang membencimu tidak juga tidak akan meyakini itu. Maka perbanyaklah teman dan hapuskan kebencian.

Serta perihal duniawi seperti pilpres ini, sudahlah. Ini semua sudah tertulis di lauhul mahfudz. Pak Prabowo akankah menjadi presiden menggantikan Pak Jokowi, ataukah Pak Jokowi lanjut lagi dua periode. Kita hanya ditugaskan berikhtiar dan sebaik-baiknya ikhtiar adalah dengan melakukan hal yang positif.

Yang jelas cara Allah menyayangi hamba-Nya dengan bermacam cara. Ada yang dengan menjadikan seseorang itu presiden, ada yang dengan menghentikan seseorang dari panggung kuasa, dan menggantikannya dengan orang lain.

Stay Humble.
Stay Foolish.

Salam Goyang Dua Jari.

***