Politik Keturunan & ODGJ

Rakyat tidak butuh darah biru. Tetapi darah merah yang berani dimuncratkan, untuk melawan siapapun yang menyengsarakan rakyat jelantah.

Kamis, 4 Agustus 2022 | 22:18 WIB
0
437
Politik Keturunan & ODGJ
Baliho Puan dan Anies (Foto: kolase Facebook)

Di sebuah tembok bangunan besar Jakarta, terpampang baliho hampir selebar gedung itu, foto sedada Puan Maharani. Kita sudah tahu siapa dia.

Tapi baliho dengan simbol partai banteng mendengus, dan lambang DPR-RI, dengan tulisan di sisi atas “Indonesia Hebat” itu, masih pula terdapat tulisan mencolok; “CUCU BUNG KARNO”.

Ada yang membantah atau meragukan? Sekiranya ada, tulisan di bawahnya menjelaskan pula, “PUTRI MEGAWATI SOEKARNOPUTRI”.

Baru kemudian paling bawah, kita bisa baca tulisan “PUAN MAHARANI”, dengan keterangan status di bawahnya; KETUA DPR-RI. Masih tidak yakin pulak?

Kebangetan!

Dengan deretan tulisan seperti itu, tidak jelas siapa yang kebangetan. Yang meragukan atau Puan, yang kebangetan?

Saya membayangkan dengan penuh belasungkawa, bagaimana kelak anak Puan Maharani harus menjelaskan dirinya? Demikian pula, dan apalagi, cucu Puan Maharani. Akan makin membutuhkan jumlah huruf jauh lebih banyak lagi. Cicip-moning, gantung siwur, udhek-udhek, wareng, canggah, buyut,…

Apa yang terjadi dari baliho bodoh itu menjelaskan, macam mana pembuatnya. Apalagi jika itu atas perintah langsung Puan. Tapi jika pun bukan atas perintah Puan, tapi Puan kemudian tahu dan membiarkan, kita jadi makin tahu Puan sebenarnya.

Siapa sebenarnya Puan? Ya, itu tadi, ternyata cucu Bung Karno, dan putri Megawati Soekarnoputri. Kan? 

Kita tahu baliho itu dibuat dalam konteks apa. Ini khas model promosi orang-orang Indonesia yang tidak pede.

Makanya tega dan berani menunjukkan jati-dirinya, yakni diri yang bodoh. Kalau bodoh, mana layak dipilih? Persis sebagaimana poster Anies Baswedan, yang menggambarkan Anies percampuran 5 Presiden seperti Sukarno, Soeharto, Gus Dur, Habibie, SBY.

Tidak sekalian Megawati? Ogahlah, pilihan politiknya beda. Apalagi Jokowi yang nganu. Dari sini jelas ketahuan, kira-kira siapa yang bikin poster itu. Apalagi nyempil satu-satunya wakil presiden bernama JK. Kenapa JK? Ada apa dengan JK? Siapa JK?

Menunjukkan dan menonjolkan diri dengan mencantelkan pada suksesor sebelumnya, mungkin saja penghargaan. Tapi senyampang itu, bisa juga pelecehan.

Sama persis dengan mereka yang mengaku keturunan Nabi. Padal kelakuannya bertolak-belakang. Karena tak ada nabi yang korupsi, apalagi chatting sex soal pisang. 

Dengan mendampingkan diri pada Sukarno dan Gus Dur, apakah Aniesh tokoh toleran?

Sekarang mungkin iya, karena ada niatan lain. Tetapi ia ke tampuk kuasa Gubernur dengan cara-cara yang pasti dikecam oleh Sukarno dan Habibie, apalagi oleh Gus Dur yang lebih dekat ke Ahok. Kalau oleh Soeharto, SBY, dan apalagi JK, saya tidak tahu apa reaksinya. Mungkin mereka mesam-mesem. Untuk JK, mesam-mesem sambil ngelus-elus kumis. 

Politik identitas, masih tak beranjak dari pola lama. Padal, Pilpres 2014 sudah membuktikan. Kemenangan rakyat, meski hanya sedikit lebih banyak dari yang milih Prabowo waktu itu, sudah bisa melihat yang namanya performance dari fakta dan data.

Selama 10 tahun sebelumnya terkibuli sosok gagah dan militer, kemenangan Jokowi, si anak bajang menggiring angin itu, adalah fenomena. Lha kok mau balik lagi ke gaya ndesit sebelumnya?

Meski kadang yang menabalkan keturunan ini-itu belum tentu yang bersangkutan langsung. Kalau pun iya, tentu juga tidak diakuinya. Dulu pemuja Sukarno ada yang mengatakan presiden pertama RI itu keturunan Dipanegara.

SBY menjelang pencapresan dan ketika DPD Demokrat DIY dipimpin KGPH Prabukusumo (adik Sri Sultan HB X), mengatakan pimpinannya itu masih keturunan Sri Sultan HB VII. Wah, masih saudaraan dengan Butet Kartaredjasa dong! 

Dan seterusnya. Bukan hanya dalam copras-capres. Dalam pemilihan tingkat apapun. Ada yang ngaku keturunan Nabi, keturunan Sunan Kalijaga, Prabu Hayamwuruk, Dipati Unus, Prabu Siliwangi, dan lain sebagainya.

Di jaman modern, kemudian diformulasikan dalam bentuk ijazah atau sertifikat, hingga pernah banyak bermunculan doktor atau master dari lembaga pendidikan antah-berantah.   

Tapi jarang yang menempuh model Soeharto. Entah karena merasa sebagai ‘anak desa’, atau justeru menutupi jati dirinya, yang konon masih satu ayah dengan Sri Sultan HB IX.

Ini gossip lawas banget (kelak kita ceritakan sendiri). Soeharto tidak mendaku, tetapi melalui perbaikan keturunan dengan cara menikahi keturunan para penguasa abad sebelumnya.

Perkawinan dengan Ibu Tien, adalah perkawinan spiritual bagaimana ia bisa mendapatkan wahyu keraton dan wasiat Pangeran Sambernyawa (Sri Mangkunegara I).

Soeharto pula presiden yang dibilang punya banyak dukun. Punya banyak tetirah seperti di Semarang, Magelang, Cilacap, Dieng, dari sejak masih prajurit.

Dalam ilmu gothak-gathuk, mengorbankan ribuan nyawa manusia, baik dalam 1965 maupun berbagai DOM, adalah biaya yang harus ditebus. Tentu ini gossip politik yang asyik diomongan, tapi agak nggak mutu. 

Upaya lain ialah bagaimana membangun perkawinan-perkawinan spiritual, dengan menikahi putri-putri raja atau penguasa masa lalu. Termasuk isu pernikahan dengan Yayuk Rahayu Effendi, bintang film yang masuk kategori simbol bom sex Indonesia. Hingga konon ada berita Ibu Tien Soeharto mengirim mobil tinja, untuk disemprotkan ke rumah Rahayu Effendi itu. Bo’ong atau bokis? Saya nggak ngerti.

Menurut saya, Soeharto menikahi Rahayu Effendi mungkin benar. Menurut saya dan mungkin. Karena Soeharto ingin mencecap wahyu kraton Siliwangi. Jika Soeharto bisa menguasai wahyu dari delapan penjuru angin (Mataram, Siliwangi, Sriwijaya, Kutai, Makassar, Kupang, Bali, Kediri), maka kekuasaannya akan langgeng. Sayangnya tidak, maka 1998 pun tumbang, meski melampaui 30 tahun.   

Rahayu Effendi mengatakan sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Dinyatakan langsung kepada saya, yang waktu itu diundang dalam acara selamatan produksi perdana film bioskop. Acara selamatan itu sangat serius dengan prosesi atau ritual tak lazim.

Semua pemain puteri, diminta menghadapnya yang duduk di atas tikar. Mereka disuwuk, diperciki air bunga, dibacakan mantra.

Saya mendengar dan melihat jelas karena duduk tepat di belakang Rahayu Effendi ketika itu. Embuhlah. Itu dugaan-dugaan sahaya saja. Kebenarannya boleh diragukan.

Keturunan leluhur, memang masih sangat penting karena ukuran pemimpin, presiden, dalam politik elitis Indonesia. Makanya orang seperti Jokowi diragukan, karena leluhurnya nggak jelas. Reputasi, performance, kinerja, rekam jejak, tidak menjadi ukuran kualitas kepemimpinan.

Ketika rakyat semakin banyak melihat hal itu, dan memenangkannya, elite yang dikalahkan bikin gossip. Jokowi yang menjengkelkan para elite. Dikuya-kuya sebagai keturunan China, agamanya bukan Islam, dan orangtuanya PKI.

Tiga dagangan Soeharto yang masih dipakai jaman SBY, dan dipraktikkan waktu Pilkada DKI 2017 dengan menyingkirkan Ahok. 

Anies adalah rising star penting AS ketika Jokowi makin menjengkelkan bagi Washington. Sebagaimana Surya Tjandra (PSI yang diresuffle Jokowi) dan kemudian mendukung Anies di 2024. Sentimen politik selalu bermain di dataran itu.

Dan CIA sudah sangat jago dalam memainkan isu, sejak Sukarno hendak digulingkan dan ketika memilih Soeharto dengan psikologinya. 

Bagi Amerika Serikat, Jokowi bukanlah presiden Indonesia yang baik. Karena tidak nurut. Apalagi dalam situasi ekonomi AS yang memburuk. Padal secara global, menurut Ibu Sri Mulyani yang baik, ekonomi dunia berada dalam situasi rentan.

Kemenangan Donald Trump tahun 2016 di AS, disusul kemenangan Anies di DKI 2017, tentu sebuah kebetulan yang menarik. Apalagi pasti CIA sudah banyak tahu tentang Anies, yang lulusan AS pula itu.

Tapi, kenapa JK muncul dalam poster Anies yang serasa 5 Presiden? Ya, karena dia berada dalam area itu.

Sebagai pedagang, oportunisme penting. Sebagai pedagang yang berpolitik, menjadi oportunis adalah jalan emas.

Lantas, bagaimana dengan Ganjar Pranowo, Prabowo, Ridwan Kamil? Saya tidak begitu kenal. Meski Puan dan Anies saya juga nggak kenal. Wong ini hasil pembacaan media. 

Jika pun ada yang mau direkomendasikan, sayang banget ketika dulu rakyat bisa mengubah agenda elite, di Pilpres 2014 memenangkan Jokowi, kok sekarang mau balik lagi disodori politik identitas yang nggak mutu? Sesuatu yang tidak selalu equivalen dan hybrid.

Rakyat tidak butuh darah biru. Tetapi darah merah yang berani dimuncratkan, untuk melawan siapapun yang menyengsarakan rakyat jelantah. Apalagi sampai sekarang tak ada yang menyodorkan mana konsepsinya untuk bangsa dan negara Indonesia? 

Karena jika tidak, politik keturunan itu bisa sama persis dengan memilih ODGJ. Orang Dengan Gangguan Jabatan. 

Sunardian Wirodono