Pembenci Jokowi dan Anti Pancasila

Jika saja kala itu SBY memimpin negeri ini selama tiga periode, mungkin saja revolusi khilafah ala HTI sudah terjadi saat ini.

Rabu, 28 Juli 2021 | 08:55 WIB
0
285
Pembenci Jokowi dan  Anti Pancasila
Andil SBY membesarkan pembenci

Kebencian sekelompok orang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), diyakini bukan hanya persoalan politik semata. Bukan pula hanya  karena jagoan calon presiden kelompok mereka kalah, atau tak  lagi punya kuasa. Tapi lebih dari itu, karena  kebencian akut  mereka kepada Pancasila.

Sosok Jokowi, oleh kelompok pembenci ini dianggap   sebagai  representasi  pemimpin  yang teguh menjaga dan melindung  Pancasila. Ia dipandang sebagai trigger besarnya kekuatan rakyat yang menghalangi  dan menghentikan masuknya  gerakan radikalisme, khilafah  dan  NKRI syariah, yang selama  sepuluh  tahun sebelumnya melenggang bebas tanpa batas di negeri ini.

Keterlibatan para  pembenci ini sebagai penumpang gelap pada kontestasi Pilpres 2014 dan 2019 bersama Prabowo,  menjadi  momentum  paling krusial untuk  mencegah pemimpin seperti  Jokowi dan orang-orangnya yang setia pada Pancasila  memegang kendali pemerintahan.

Mereka sejatinya akan  terus megggerakkan semua simpul-simpul  operasional  dan networking, salah satunya HTI, yang sempat mereka bangun dan besarkan ketika negara ini dipimpin oleh Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY), 

SBY bisa saja menolak anggapan itu, tapi  faktanya, andil pemerintahannya telah  memberi keleluasan, kebebasan  pada HTI, bahkan  tak berusaha menghentikan   menyebarnya ideologi khilafah , yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila.

HTI, mungkin saat itu  sadar, tidak mudah  mewujudkan cita-cita  khilafah secara revolusioner dan frontal  dalam lima atau  sepuluh tahun. Perisai   Pancasila masih terlalu kokoh.

Mereka hanya butuh  seorang  presiden  yang   lemah, baperan,  mabuk sanjungan, dan tentunya tidak ideologis (menerima faham  ideologi apapun yang penting kelompok itu mendukung dan menyanjungnya).

Dan SBY lah pemimpin itu, sepuluh tahun memberi HTI peluang,  ruang dan kesempatan  menebarkan faham khilafahnya. Sel-sel ideologi khilafah sempat tumbuh dan berkembang  di  mana-mana, di institusi pemerintah, militer, kepolisian,   BUMN, perguruan tinggi, sekolah    dan  organisasi  kemasyarakatan.

Jika saja  kala itu SBY memimpin negeri ini selama tiga periode, mungkin  saja  revolusi khilafah ala HTI    sudah terjadi saat ini.

Romantika dan privilege selama 10 tahun itulah yang ingin diulangi HTI dan kelompok radikal lainnya seperti FPI.  Mereka ingin secepatnya ada pergantian kekuasaan. Mengganti  Jokowi dengan  sosok pemimpin seperti SBY (Mungkin karena  bisikan  HTI-lah SBY menggadang anaknya jadi capres " Yang mirip SBY  itukan hanya anak-anaknya, Agus dan Ibas"). Betul ! Agus dan ibas memang seratus persen  mirip SBY, sama-sama lemah, baperan, mabuk sanjungan dan tidak ideologis.

Ketika Pemerintahan Jokowi membubarkan HTI  tahun 2017  dan menyusul FPI pada Desember 2021, sudah barang tentu langkah itu semakin mengaktivasi tingkat kebencian  kelompok mereka pada sosok Jokowi.

Meski telah dibubarkan, pikiran, gerakan dan perjuangan mereka  tidaklah mati.   Upaya  dan kerja-kerja HTI, FPI dan kelompok radikal lainnya  mendegradasi   Pancasila dan menginginginkan Jokowi lengser,  terus dilakukan  .

Ditangkapnya Munarman, pentolan FPI, yang diduga terlibat organisasi terorisme di Indonesia membuktikan perjuangan mereka tidak main-main. NKRI syariah yang didengungkan FPI adalah  jembatan kecil menuju negara khilafah yang dicita-citakan HTI

Makanya jangan heran, ketika ketidaksempurnaan kinerja pemerintahan, dan kesalahan  receh aparat dan petugas  yang ada di bawah, seperti RT, satpol PP, polisi, TNI,  selalu jadi salahnya    Jokowi.

Korupsi, kejahatan dan penyelewengan  yang dilakukan oknum   pejabat    selalu dikaitkan dengan kesalahan Jokowi, kadang-kadang  jadi momentum   mereka  mengolok-olok Pancasila.

"Mana Pancasila? kok korupsi terus'

"Mengaku paling Pancasila tapi paling korupsi"

Padahal mereka faham,  korupsi yang terjadi di negara manapun, termasuk negara teokrasi dan negara  lain sebagainya,  tidak ada hubungannya  dengan   ideologi   di negara itu.  

Tapi namanya kebencian yang mendarah daging, apapun yang dilakukan   Jokowi selalu salah dan siapapun yang membelanya akan jadi musuh bagi mereka.

Pandemi  Covid-19, seolah menjadi timing yang pas bagi mereka untuk mengacaukan pikiran dan persepsi  masyarakat kepada pemerintah. Hoaks dan kebencian seolah  menjadi  sedekah dan amal sosial yang harus dibagikan kepada simpatisan mereka.  Dalil agama dimanipulasi untuk membuat  orang mabuk dan linlung agar  tidak percaya dan menentang kebijakan pemerintah.

Pertanyaaannya? Anda dan kita semua  bisa apa? kebencian jiwa yang sesat itu pasti sulit diperbaiki. Yang bisa   kita lakukan saat ini adalah, tunjukan  kepada mereka betapa cintanya dan kuatnya  kita   mempertahankan  Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik  Indonesia. Dan betapa besarnya kekuatan kita semua   mempertahankan dan menjaga kepemimpinan Presiden Jokowi.

Tommy Manggus, Tinggal di Kalimantan Utara