Tudingan Pemerintah tidak berpihak kepada rakyat Papua dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bohong besar. Pasalnya, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya perlindungan HAM bagi masyarakat Papua. Hal itu berbanding terbalik dengan kelompok separatis Papua yang seringkali melakukan kekejaman kepada Warga sipil. Tidak berlebihan jika menganggap Kelompok Separatis Papua sebagai pelanggar HAM sebenarnya.
Tudingan miring dari tindakan pelanggaran HAM yang dilontarkan Koran Jakarta Post atas pemerintah Indonesia, tampaknya harus diklarifikasi. Pasalnya, disini ada indikasi semacan "playing victims". Mereka (Jakarta Post) menyebutkan seolah-olah pemerintah dan aparat keamanan sengaja melakukan tindak kekerasan hingga pembunuhan, termasuk terhadap warga yang tidak bersalah di Papua. Bahkan, aktivis Veronika Koman getol memaksa Indonesia untuk membebaskan 56 aktivis Papua yang ditangkap saat berunjuk rasa meminta disintegrasi Papua dari wilayah NKRI.
Dalam laporan Jakarta Post, pihaknya beserta Veronika Koman mendesak pemerintah Australia guna meninjau situasi HAM di Papua, pasca kunjungan Presiden Jokowi Ke Canberra. Tak hanya itu, Veronika juga menuding operasi militer di wilayah Nduga hanya memberikan penderitaan atas warga disana. Serta menuntut agar pemerintah Indonesia segera menghentikan operasi ini.
Sementara itu, pihak TNI merasa laporan lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesty International Indonesia tidak berimbang dan hanya berat sebelah alias memojokkan aparat. TNI juga membantah keras tuduhan mereka atas pembunuhan puluhan warga Papua serta Papua Barat yang tidak pernah diusut. Mereka menyatakan tudingan pelanggaran HAM tersebut adalah fitnah.
Menurut Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih, Kolonel Muhammad Aidi, Semua yang terjadi ada sebabnya, yakni separatis yang melawan kedaulatan negara. Dan hal ini adalah penyebab utama.
Menurutnya, korban jiwa tak hanya berasal dari anggota kelompok bersenjata saja. Anggota TNI dan Polri juga turut meregang nyawa atas aksi kekerasan yang kerap mewarnai wilayah tersebut. Selain itu, persoalan utama yang paling mendasar di Papua ialah kelompok separatis bersenjata yang terus meneriakkan kedaulatan negara serta ingin memisahkan diri dari wilayah NKRI.
Padahal, negara-negara di seluruh dunia tidak satupun yang membenarkan adanya sekelompok orang memiliki senjata api dengan standar militer secara ilegal, guna merongrong kedaulatan negara, imbuh Aidi.
Ia juga mengeluhkan seringnya kelompok separatis Papua menuding pihak TNI maupun Polri sebagai dalang tewasnya warga tanpa adanya bukti yang kuat. Salah satunya ialah, kelompok separatis menunjukkan dokumentasi korban tewas tanpa dapat membuktikan bahwa aparat keamanan telah terlibat.
Yang mereka gembar-gemborkan hanya menyoroti tentang jatuhnya korban jiwa, namun mereka tidak pernah membahas bagaimana ketika ribuan massa bersenjata panah, golok, tombak bahkan ada yang membawa senjata api menyerang pos aparat keamanan secara brutal, ungkap Aidi.
Tak hanya itu, Aidi juga menyoroti perihal hilangnya dua anggota polisi di Distrik Torere, Kabupaten Puncak ketika mengawal logistik Pilkada serentak pada pekan lalu, yang mana tewas tertembak oleh kelompok separatisme.
Dirinya menyatakan justru pihaknyalah yang jadi korban, mereka bertindak seenaknya saja tanpa norma dan aturan, mereka tak mengenal combatan dan non combatan, warga sipil bahkan anak kecil pun dibantai tanpa ampun, tambah Aidi.
Menjawab tuduhan Amnesty International, Aidi menegaskan bahwa pihaknya telah bertindak berdasarkan kaidah dan kode etik, serta UU yang berlaku sementara. Aidi justru menuturkan, kenapa mereka tidak membahas tentang kekejaman yang dilakukan oleh pihak KKSB baik terhadap aparat negara maupun terhadap warga sipil yang tak berdosa?
Sejalan dengan pernyataan Aidi, Mabes Polri juga meminta Amnesty International Indonesia untuk berlaku lebih berimbang dalam memaparkan data soal pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Hal tersebut menanggapi data Amnesty yang menyebutkan aparat telah mengeksekusi 95 warga sipil di Papua tanpa proses hukum yang jelas.
Mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto turut meminta lembaga yang bergerak menyuarakan pengungkapan HAM tersebut untuk membeberkan secara gamblang terkait data terutama perihal anggota polisi yang tewas di Papua. Jika mereka hanya melihat aktivis saja serta mengesampingkan masyarakat dan aparat keamanan disana tentunya hal ini tidak adil, kan. Padahal mereka juga manusia.
Setyo mengklaim tindakan polisi di lapangan telah berdasarkan standar dan operasional prosedur yang jelas. Polisi juga memiliki tugas untuk melindungi harta dan nyawa masyarakat, termasuk harta dan nyawa polisi itu sendiri. Pihaknya juga mengutarakan, bahwa anggota kepolisian di Papua mengutamakan putra daerah. Dengan alasan tersebut, menurut Setyo tidak masuk akal jika polisi sampai membunuh warga setempat tanpa proses hukum yang jelas.
Kendati demikian, Setyo mengatakan polisi tidak akan buka-bukaan terkait anggota polisi yang benar-benar tewas bertugas di wilayah Papua. Dia menyerahkan Amnesty International Indonesia guna merilis data tersebut. Agar hal ini terlihat fair.
Benar adanya, playing victims yang Amnesty International serta Veronika Koman lakukan. Mereka hanya menyoroti korban saja, tanpa menjelaskan secara rinci apa yang menimpa aparat keamanan saat bertugas disana. Apa yang dilakukan oleh para kelompok separatis terhadap TNI/Polri maupun warga.
Apa sudah lupa jika kelompok berhaluan kiri tersebut secara membabi buta membunuh, membakar rumah warga, menyiksa warga tanpa pandang bulu. Termasuk terang-terangan menyatroni pos polisi / TNI dan menyerang secara brutal. Bukankah seharusnya, kasus-kasus tersebut juga harus dibeberkan, agar semua adil. Sehingga tidak terkesan memojokkan pemerintahan dan aparat keamanan. Mengingat mereka ini juga manusia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews