Instruksi Jokowi Tak Digubris?

Seharusnya para menteri pun memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, jangan seperti orang yang kebingungan dalam merespon berbagai kebijakan yang dikeluarkan Presiden.

Sabtu, 28 Maret 2020 | 11:31 WIB
0
434
Instruksi Jokowi Tak Digubris?
Foto:Kompas.com

Sebuah kebijakan tentunya tidak bisa secara instan diterapkan, hari ini diucapkan, besok sudah harus terealisasikan. Proses distribusi sebuah kebijakan membutuhkan waktu, dan kecepatan merespon instansi terkait dalam merealisasikan kebijakan pun terkendala berbagai birokrasi.

Proses ini memberikan peluang, untuk dipolitisasi oleh pihak-pihak yang ingin mendelegitimasi pemerintahan Jokowi. Maka muncullah pernyataan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak digubris oleh instansi terkait.

Seakan-akan pemerintah tidak memiliki wibawa dan ketegasan, dalam menerapkan kebijakan tersebut. Ini juga terjadi pada imbauan Jokowi, terkait kebijakan karantina wilayah atau Lockdown.

Secara tegas Jokowi mengatakan Pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan Lockdown, pada kenyataannya imbauan tersebut nyaris tak didengar.

Contoh lainnya, dilansir CNBC  Indonesia.com, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan berbagai kemudahan kepada sejumlah sektor usaha dan masyarakat yang terkena dampak dari wabah virus corona (Covid-19).

Untuk kemudahan ini diberikan Kepala Negara setelah mendengar berbagai keluhan dari kalangan pelaku usaha, mulai dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga tukang ojek dan supir taksi. Sebelumnya, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah memberikan kelonggaran kepada debitur perbankan.

"Keluhan yang saya dengar dari tukang ojek, supir taksi, yang sedang memiliki kredit motor atau mobil atau nelayan yang sedang memiliki kredit," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (24/3/2020).

Selang satu hari kebijakan ini dikeluarkan pemerintah, keesokan harinya lembaga-lembaga kreditur mengeluarkan pernyataan di media, bahwa mereka belum ada koordinasi dengan pemerintah terkait kebijakan tersebut, sehingga para debitur harus tetap melakukan kewajibannya seperti biasa.

Ya jelas saja lembaga kreditur tersebut belum tahu adanya kebijakan itu, karena baru dibicarakan, dan perlu proses untuk merealisasikannya. Sementara, kelompok yang sentimen pada pemerintah, menganggap hal ini sebagai amunisi untuk mendiskreditkan pemerintah.

Pemerintah dan instansi pendukung perlu menyiapkan aturannya terlebih dahulu, tidak bisa hari ini diucapkan, besok sudah bisa direalisasikan. Mengurus organisasi setingkat RT aja ada mekanisme yang harus dilalui, apa lagi ini menyangkut kepentingan negara dan masyarakat.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan pemberian stimulus ini tertuang dalam Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease.

"Dengan terbitnya POJK ini maka pemberian stimulus untuk industri perbankan sudah berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021. Perbankan diharapkan dapat proaktif dalam mengidentifikasi debitur-debiturnya yang terkena dampak penyebaran Covid-19 dan segera menerapkan POJK stimulus dimaksud," kata Heru dalam siaran persnya.

Kalau melihat penjelasan OJK, seharusnya lembaga kreditur sudah tahu soal terbitnya POJK, karena sudah diberlakukan sejak 13 Maret lalu. Adanya miskordinasi antara OJK dengan lembaga debitur, atau juga kebijakan ini tidak disosialisasikan terlebih dahulu.

Baca Juga: Jokowi Sendiri di Tengah Pandemi Corona

Begitu juga soal adanya kepala daerah yang mengambil inisiatif sendiri, untuk melakukan karantina wilayah terhadap daerah yang dipimpinnya. Artinya, apa yang disampaikan Presiden terhadap kebijakan tersebut, tidak terlalu dihiraukan oleh kepala daerah, mereka lebih melihat urgensinya, bukan cuma ketaatan pada pemerintah pusat.

Dua hal diatas tersebut terkesan sangat sepele, tapi memiliki dampak politik yang besar, dan bisa mendelegitimasi kekuasaan pemerintah pusat. Pemerintah pusat bisa dianggap remeh kebijakannya, karena tidak adanya ketegasan dalam penerapannya.

Persoalan seperti ini masak sih harus ditangani Presiden dalam penerapannya, padahal Presiden sendiri mempunya banyak pembantunya, yang sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawab masing-masing.

Lemahnya persoalan kordinasi dilingkaran kabinet, membuat berbagai kebijakan terkendala dalam penerapannya. Disinilah akhirnya memberikan kesan, Presiden Jokowi hanya bekerja sendiri.

Kelemahan inilah yang dimanfaatkan pihak-pihak yang sentimen terhadap pemerintah, melakukan serangan bertubi-tubi terhadap Jokowi. Negara ini dianggap seperti tidak ada pemimpinnya, tidak tanggap terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat.

Kalau saja semua pembantu Jokowi, disaat-saat genting seperti sekarang ini, mau bekerja secara maksimal, tentunya semua persolan yang sedang dihadapi pemerintah bisa diselesaikan secara maksimal.

Kondisi negara dan bangsa ini sedang tidak normal, tidak sedang biasa-biasa saja. Seharusnya para menteri pun memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, jangan seperti orang yang kebingungan dalam merespon berbagai kebijakan yang dikeluarkan Presiden.