Pilkada SBT, Mencari “Pendamping” Mukti Keliobas!

Untuk mencapai itu, Mukti dan partai politik harus realistis bahwa semua bisa diraih dengan perhitungan yang matang.

Selasa, 7 Januari 2020 | 18:43 WIB
0
380
Pilkada SBT, Mencari “Pendamping” Mukti Keliobas!
Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur, Abdul Mukti Keliobas. (foto: intimnews)

Agenda kontestasi elektoral 5 tahunan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) kini mulai memasuki penjajakan dalam bursa kandidasi. Serangkayan manuver politik seperti survei elektabilitas hingga opinion leader pun telah dilakukan dalam rangka mencari formasi pasangan calon yang tepat untuk “bertarung” dalam Pilkada September mendatang, termasuk apa yang dilakukan oleh Mukti Keliobas dan tim internal.

Menarik dicermati, kini sejumlah nama telah mencuat dan menjadi perbincangan publik menyoal peluang serta kepatutannya untuk mendampingi petahana Bapa Jou Mukti Keliobas. Terlebih, setelah santer dikabarkan bahwa Mukti dan sang wakil bupati sudah pecah kongsi dan siap menjadi rival utamanya nanti. Artinya, publik mulai penasaran siapa cawabup potensial yang bakal menambah daya gedor kontestasi Pilkada SBT agar tetap bermutu.

Nasib Mukti dan beberapa calon kandidat rival yang sudah terdeteksi saat ini (meskipun belum ada deklarasi), masih sama-sama mencari calon “pendamping” yang pas guna menjaga potensi dan memperluas peluang kemenangan pada Pilkada nanti. Dari sinilah, posisi “calon wakil” menjadi krusial dan begitu menentukan, terutama untuk Petahana Mukti Keliobas sebab meski kans kemenangannya dianggap masih cukup besar, namun ia pun memiliki sejumlah kesan “negatif” yang dilemparkan kepadanya seperti dianggap “gagal” memperbaiki sektor ekonomi, membuka peluang kerja, dan memperbaiki SDM masyarakat SBT.

Untuk itulah, Mukti harus mencari wakil yang prospektif; dalam artian mumpuni menjaga keseimbangan gerak kepemimpinannya nanti, yang mampu berbagi peran kerja secara kolektif, dan sudah terbukti memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan negeri Ita Wotu Nusa.  

Cawabup Potensial

Kalau dianalisa dari struktur peluang (opportunity structure) untuk memenangi pilkada nanti, maka ada tiga poin penting yang mesti diperhatikan dan diperhitungkan dengan matang oleh Mukti Keliobas dalam memilih cawabup potensialnya:

Pertama, melihat kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support). Hal ini berkaitan erat dengan figur yang dipilih, apakah diprediksi laku di pasar pemilih atau tidak, sekaligus bertautan dengan potensi branding, segmenting dan positioning dalam pemasaran politik. Oleh sebab itu, sang calon wakil bupati yang dipilih nanti, harus memiliki kapabilitas dalam menjaga stabilitas suara dan tingkat keterpilihan. Hal ini bisa dicapai dengan memilih cawabup yang memiliki sumberdaya sosial yang kuat di masyarakat.

Saat ini, dari sekian nama yang beredar luas, nampaknya Idris Rumalutur adalah sosok yang tepat, sebab ia memiliki diferensiasi atau “keuinikan politik” sebagai calon wakil bupati pendamping Mukti Keliobas.

Idris Rumalutur atau yang biasa disapa “Paman Toy” oleh banyak kalangan, juga oleh Bupati Mukti sendiri, telah memberi sumbangsih peningkatan kapasitas SDM SBT yang luar biasa bagus. Lewat pendidikan, Paman Toy telah memanusiakan manusia SBT dengan memberikan peluang besar terhadap akses pendidikan.

Apa jadinya jika sampai saat ini, tingkat pendidikan generasi muda SBT masih di bawah strata satu (S1)? Boleh jadi, lanskap perpolitikan SBT tak seramai saat ini, tak “seideal” sekarang, dan masih sangat transaksional musabab generasi SBT belum melek pendidikan dan politik, serta mampu mengimbangi langkah taktis generasi tua. Sehingga, patut diperhitungkan bahwa membangun SBT tak melulu soal rayuan maut para politisi saat bacarita politik, namun lebih pada kontribusi nyata dan substantif. Apa maksudnya? Kontribusi subtantif itu, ya memberdayakan masyarakat, menjadikan pemilih sebagai subjek politik, bukan objek politik.

Selain itu, sosok Paman Toy tak bisa dilepaskan dari sejarah lahirnya Kab. SBT. Rekam jejaknya sebagai salah satu tokoh pemekaran SBT dari Seram Timur (tana basar), jelas menegaskan adanya keseriusan beliau dalam membangun SBT. Tak cukup sampai di situ, pemikiran visioner Paman Toy rasanya memang tak perlu lagi diragukan, sebab ia mampu menerjemahkan “bahasa politik pembangunan” SBT itu sendiri ke dalam bentuk konkrit; salah satunya adalah memajukan sektor pendidikan. Paman pun dikenal sebagai sosok yang masih bersih dari “dosa-dosa” politik transaksional.

Kedua, biaya memasuki arena (cost of entry). Meskipun biaya hajatan politik lima tahunan selalu mahal, terlebih di era demokrasi elektoral dengan format one man one vote ini, bukan berarti politik harus banjir politik uang (money politics). Untuk itu, rekayasa ongkos politik yang ditawarkan Paman Toy adalah pelibatan aktif masyarakat dalam mendanai hajatan politik itu sendiri.

Bagaimana jelasnya? Begini, selama ini, para politisi lebih mencari pemodal besar di luar, “menggadaikan” aset daerah untuk biaya kontestasi, menjual suara rakyat pada pemodal guna meyakinkan mereka akan adanya profit sharing alias bagi-bagi proyek pasca mereka terpilih. Sehingga, dari sinilah tumbuh benih-benih “rekayasa anggaran daerah” untuk kepentingan balik modal maupun untuk keperluan balas jasa para pemodal.

Sebab itulah, Paman Toy menawarkan sebaliknya, yaitu masyarakat membiayai hajatan politik mereka sendiri. Bagaimana bisa? Bukankah ini memberatkan rakyat? Tentu saja tidak. Justru yang memberatkan itu, ya ketika para elit terpilih mulai mengeruk daerah untuk kas kombali modal setelah apa yang mereka keluarkan untuk membeli suara rakyat pada pilkada.

Lalu, kalau rakyat membiayai pilkada mereka sendiri dengan tidak meminta imbalan pada saat kampanye, tapi justru sebaliknya dengan menyumbang pemimpin untuk memenangi pertarungan, maka tiada alasan bagi pemimpin terpilih untuk cari celah balik modal melainkan mengembalikan kemenangan itu dalam bentuk pembangunan daerah karena semua dibiayai rakyat. Di sini, posisi tawar rakyat akan jauh lebih besar di mata pemerintah daerah, akan jauh lebih powerful sebagai kelompok “penekan” pemerintah karena mandat kepemimpinan itu sendiri diberi rakyat dengan cara elegan.

Dengan model cost entry seperti ini, harkat dan martabat masyarakat SBT akan seketika memiliki bobot kewibawaan dan tak bisa disepelekan lagi oleh para elit yang memang kerap kali merasa bisa membeli suara rakyat. Pemilu Kepala Daerah ini, bukanlah ajang “melacurkan” diri kepada para elit, melainkan ajang pembuktian hati nurani rakyat yang berpihak pada perubahan yang lebih baik.

Keuntungan berikutnya, "mahar politik" antara Mukti Keliobas dan partai pengusung maupun pendukung yang biasanya harus mereka bayar kepada kelompok "peminta" dengan dalih "timses", juga bisa diminimalisir karena ruang gerak money politics telah lebih dulu ditutup oleh masyarakat itu sendiri. semua orang akan nampak berjuang lillahi ta'ala karena berniat mencari pemimpin, bukan melelang suara hak pilih mereka. Ini adalah tawaran “penganggaran” politik yang menarik dan baru bagi sebuah perhelatan di daerah, terutama di SBT, guna sebagai bentuk perbaikan penyelenggaraan politik praksis.  

Ketiga, beragam keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits of office). Tak bisa dielakkan bahwa kontestasi dalam politik (termasuk pilkada) memang memiliki sisi orientasi kekuasaan ke depan. Semua kandidat maupun partai politik pengusung dan pendukung, sudah pasti menghitung potensi mereka untuk berada di kekuasaan mendatang bersama pemimpin terpilih.

Untuk mencapai itu, Mukti dan partai politik harus realistis bahwa semua bisa diraih dengan perhitungan yang matang. Pertama, melihat coat-tail effect (efek ekor jas) dengan menghadirkan pesona figur pasangan kandidat, termasuk tokoh pendamping petahana Pak Mukti Keliobas. Mengapa? Karena ada semacam kebutuhan strategis, baik dari setiap partai politik koalisi untuk meraup insentif elektoral dari sosok-sosok kuat dan punya prospek dalam pilkada.

Lantas, siapa sosok itu? Kalau Parpol di SBT memiliki kemandekan dalam proses kaderisasi politisi potensial yang bisa dialokasikan dalam kompetisi Pilkada kali ini. Maka yang paling cocok dan memungkinkan adalah mencari figur transformatif seperti Idris Rumalutur (Paman Toy) untuk menduduki posisi itu, sekaligus sebagai bukti itikad baik partai politik maupun Pak Mukti dalam memperbaiki situasi kepemerintahan mendatang dan sebagai jawaban konkrit akan kegalauan masyarakat atas kejumudan politik yang mereka rasakan.

Sepakat?