Redup Jiwa Pancasila

Lebih baik berjalan dengan lilin kecil jiwa sendiri, ketimbang di bawah bulan purnama jiwa lain. Teruslah berjuang menyusuri gelap malam. Makin jauh kita melangkah, makin dekat dengan fajar.

Senin, 5 Agustus 2019 | 06:16 WIB
0
284
Redup Jiwa Pancasila
Pancasila (Foto: PPI Enschede)

Penampakan lahiriah suatu peradaban merupakan pancaran batin jiwa budaya. Manakala kita saksikan kehidupan bangsa menampakan arus besar pertikaian, sinisme, ketidakpercayaan, kesenjangan, ketidakadilan, korupsi dan kedangkalan kerumunan, hal itu menandakan terjadinya perubahan besar dalam jiwa budaya kita.

Jiwa budaya bangsa Indonesia diimpikan berjiwa Pancasila: jiwa welas-asih yang memancarkan semangat musyawarah, gotong-royong, tolong-menolong (kooperatif).

Dengan semangat musyawarah, keputusan politik harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, bukan subjektivitas partikular. Didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Berorientasi jauh ke depan, bukan kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang destruktif (toleransi negatif). Bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte diktator mayoritas suara dan tinari minoritas pemodal.

Dengan semangat gotong-royong, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, sehingga keragaman kepentingan kelompok dengan konflik bisa dirukunkan. Dalam pandangan Soekarno, “Gotong-royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’.”

Semangat kekeluargaan yang bersifat statis, cenderung mengarahkan welas-asih (altruisme) pada sesama anggota keluarga atau golongan sendiri. Sedang semangat gotong-royong yang bersifat dinamis, lebih memiliki kesanggupan untuk mengarahkan altruisme pada sesama warga sekalipun dari golongan yang berbeda.

Gotong-royong adalah level tertinggi dari proses adaptasi manusia dalam mengarungi tantangan seleksi alam kehidupan, dari makhluk individu dengan kecenderungan simpanse (selfish) menjadi makhluk sosial dengan kecenderungan lebah (groupish). Semangat gotong-royong itu adalah semangat kolaboratif: satu untuk semua, semua untuk satu; senasib sepenanggungan; bukan yang satu untung, yang lain buntung.

Dengan semangat kooperatif, usaha tolong-menolong dikembangkan seraya mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair. Itulah yang disebut dengan keadilan sosial. Untuk mewujudkan hal itu, kemerdekaan (emansipasi) politik, perlu diiringi kemerdekaan (emansipasi) ekonomi.

Tumpuannya adalah jiwa sosialistik bersendikan spirit kekeluargaan dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, dengan kualifikasi individu-individu yang berjiwa kooperatif dan altruis, yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif.

Dalam sistem sosialisme Indonesia diandaikan bahwa penghasilan diatur menurut maslahat masyarakat untuk menghindari krisis karena persaingan. Dalam kaitan ini, Sutan Sjahrir menyatakan, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil yang hartawan bertentangaan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan.”

Pudarnya praktik musyarawarah, gotong-royong positif dan usaha kooperatif dalam ekspresi peradaban (politik-ekonomi) bangsa saat ini mengindikasikan mengeringnya jiwa budaya Pancasila. Nama Pancasila masih sering disebut, tapi pancaran spirit budayanya meredup. Meminjam pandangan Oswald Spengler, suatu (jiwa) budaya tumbuh di atas tanah dengan lanskap tertentu yang akan menua manakala sudah mencapai perkembangan optimum dari kemungkinan zat hara yang tersedia.

Seperti organisme, gerak jiwa budaya berkembang melewati tahap musim semi (fajar), panas (siang), gugur (senja), dingin (malam).

Secara metaforik, gerak tumbuh jiwa Pancasila itu kini memasuki musim gugur senja kala, mengingat kesuburan tanah yang menopang pertumbuhannya mengalami penjenuhan. Selama ini, kita hanya memanfaatkan tumbuhan Pancasila untuk keberlangsungan hidup bersama dari lahan dan budidaya yang diwariskan para leluhur, tanpa usaha secara sungguh-sungguh untuk melakukan pemeliharaan dan pemupukan ulang.

Ancaman kegelapan jiwa budaya Pancasila itu telah lama diperingatkan oleh Wiranatakusuma, pada persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan. “Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini disebabkan karena manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive

force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif... Maka alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.”

Asal comot model demokrasi dan ekonomi dari peradaban luar tanpa mempertimbangkan kesesuiannya dengan jiwa Pancasila bukan saja bisa meracuni jiwa budaya, tetapi juga mengasingkan warga dari akar budayanya. Hidup tanpa akar adalah hidup tanpa pijakan yang mengolengkan. Dalam mencari sandaran baru itulah, banyak anak-anak negeri yang memalingkan hati ke lain jiwa: boleh jadi jiwa budaya yang memandang Pancasila sebagai sesuatu yang harus dimatikan.
Demikianlah, jiwa Pancasila ditikam dari banyak jurusan, baik oleh mereka yang memusuhi maupun yang mengaku mendukungnya.

Kita harus menghentikan gejala perenggutan nyawa budaya ini, dengan mempersipkan lentera di ambang malam. Lebih baik berjalan dengan lilin kecil jiwa sendiri, ketimbang di bawah bulan purnama jiwa lain. Teruslah berjuang menyusuri gelap malam. Makin jauh kita melangkah, makin dekat dengan fajar.

Yudi Latif, Direktur Sekolah Pancasila

***

Keterangan: Artikel telah dimuat di Harian Kompas, Kamis, 20 Juni 2019