Hoax Merusak Tatanan Peradaban Masyarakat

Bahkan sangat mungkin ada bisns medaia yang menjadi fasilitator untuk menumbuhkan semangat menyebarkan berita hoax itu. Semata-mata untuk kepentingan bisnisnya.

Minggu, 7 Juli 2019 | 08:20 WIB
0
374
Hoax Merusak Tatanan Peradaban Masyarakat
Ilustrasi media dan hoaks (Foto: Kumparan.com)

Fenomena hoax adalah sebuah kenyataan sejarah. Dia lahir bersama dengan kelahiran era kebebasan media informasi. Namun, keberadaannya sering kali merusak tatanan masyarakat. Karena itu, fenomena hoax ditempatkan dalam ketegangan antara idealisme bermedia dan etika bermedia.

Media komunikasi massa,baik media cetak maupun media daring selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman serta kemajuan teknologi. Peran media dalam penyebaran suatu berita akan sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dan kondisi sosial ekonomi di suatu wilayah.

Oleh karena itu, sangatlah penting untuk sebuah media dalam menyebarkan fakta atau kebenaran dalam berita yang akan disebarluaskan. Menurut The Contemporary English – Indonesian Dictonary, mengartikan hoax sebagai senda gurau, olok-olok, bersenda gurau, berolok-olok.

The Oxford Thesaurus American Edition, mengartikannya sebagai deception – tipuan atau lelucuon. Kamus Inggris – Indonesia tulisan John Echols dan Hasan Shadily, mengartikan hoax sebagai olok-olok, cerita bohong, dan memperdayakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menggunakan kata hoax, tetapi dia menggunakan kata-kata yang dekat dengan pengertian hoax di atas, yaitu: berita rekaan yang dibuat untuk tujuan tertentu; atau sensasi yang terlalu dibesarkan untuk menarik perhatian masyarakat.

Perjalanan demokrasi di Indonesia disadari atau tidak dalam kondisi terancam oleh pemberitaan yang tidak bertanggungjawab. Penyebaran hoax semakin mekar sejak lahirnya media sosial sehingga hoax pun mendadak ikut menjadi bagian dari permainan busuk politik.

Pada kontestasi politik Pemilu 2019, seolah muncul dugaan penggunaan hoax sebagai strategi politik. Disebut ancaman serius karena pembuat berita bohong acapkali dimaksudkan untuk mendelegitimasi proses pemilu yang sedang berlangsung demi meraih kekuasaan.

Walaupun fenomena semacam itu tidaklah fenomena khas Indonesia karena negara lain, seperti Amerika Serikat dan Brasil, juga menghadapi peredaran hoax dalam kontestasi politik mereka, usaha dan perjuangan untuk memberantas hoax jangan sampai "kendor".

Kita semua memahami bahwa pelaku industri hoax juga sangat menyadari bahwa informasi bohong disertai data abal-abal bisa menjadi sarana ampuh untuk menciptakan persepsi publik. Tujuannya tentu saja meraih dukungan dan suara dalam kontestasi politik. Namun dalam suasana politik seperti saat ini, arus hoax yang kian deras mengalir di media sosial justru berpotensi mempertajam polarisasi dan pembelahan dalam masyarakat alias berpotensi membelah warga secara ekstrim berdasarkan pilihan politik.

Dengan begitu, hoax yang terus-menerus diproduksi di media sosial akhirnya berpotensi pula merongrong keutuhan bangsa. Inilah ujung permainan kebohongan yang mesti kita takutkan.

Selanjutnya, selain untuk menggiring persepsi publik, hoax juga bisa dimainkan secara strategis oleh kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan Indonesia tetap dilingkupi instabilitas. Kelompok semacam ini sangat resah saat melihat Indonesia damai. Mereka menikmati berbagai peluang di balik berbagai kekacauan informasi yang ada di ruang publik.

Dalam bangsa yang beragam seperti Indonesia, ditambah pula dengan suasana politik jelang pemilihan presiden yang sedang mendidih. Risikonya pun sangat strategis, yakni kerentanan kohesi sosial yang bisa berimbas pada disintegrasi bangsa. Kelompok tersebut acapkali memainkan isu-isu lokal untuk "digoreng" di level nasional.

Mereka mencari titik-titik kegagalan pemerintah yang berkuasa di berbagai penjuru daerah, lalu dibedak-bedaki, dipoles dengan data-data dan fakta-fakta fiktif, diberi narasi kebencian dan kemudian ditutup dengan narasi ketakutan, lalu disebar di ruang publik nasional.

Walhasil, hal kecil mendadak menjadi besar, viral, dibagikan oleh banyak kalangan, dan kemudian menebalkan rasa saling benci di antara dua kubu pendukung politik. Jika sudah masuk pada level saling benci dan tak ditemukan instrumen mitigasi yang tepat, tinggal menunggu waktu untuk "pecah" dan "meledak".

Oleh karena itu, permainan berbahaya dengan menggunakan narasi kebohongan, narasi kebencian, dan narasi ketakutan harus dimitigasi sedemikian rupa.


Media massa merupakan salah satu pilar keempat bagi terwujudnya demokrasi di Indonesia. Mereka memiliki tanggungjawab sangat besar tentang penyebaran berita hoax.

Artinya instrumen itulah yang mudah dan efektif untuk melawan atau menumbuhkan hoax. Saatnya pemerintah untuk tegas menyatukan gerakan para pengelola media itu untuk menjadi ujung tombak melawan berita berkonten negative ini.

Harusnya bisa apabila para media ini mau bersatu. Hanya saja dalam kenyataan harus diakui persaingan di antara bisnis media ini sangatlah ketat. Bahkan sangat mungkin ada bisns medaia yang menjadi fasilitator untuk menumbuhkan semangat menyebarkan berita hoax itu. Semata-mata untuk kepentingan bisnisnya.

Misalnya dengan acara-acara talk-show yang mengundang pertentangan negative akan menjadi panutan bagi masyarakat Indonesia untuk ditonton dan ditiru mentah-mentah. Apalagi masyarakat yang pendidikannya sangat rendah bahkan tidak berpendidikan. Berita berit yang tidak benar akan dimakan dan ditelan habis-habisan oleh mereka.

***