Fakta Survei vs Fakta Lapangan, Mana yang Lebih Dipercaya?

Metode survei kuantitatif tidak memadai untuk memprediksi sebuah event politik, ia harus juga dilengkapi dengan pengukuran kualitatif.

Jumat, 29 Maret 2019 | 18:07 WIB
0
547
Fakta Survei vs Fakta Lapangan, Mana yang Lebih Dipercaya?
Ilustrasi persaingan capres-cawapres (Foto: Riau86.com)

Kemarin, ada lembaga survei yang menyebut di Jawa Barat, paslon 01 mendapat 47% dan Prabowo 42%. Jokowi menang.

Sementara kemarin seluruh Indonesia menjadi saksi antusiasme warga Jabar di Bandung dan sekitarnya menghadiri kampanye terbuka Prabowo.

Survei versus fakta lapangan, mana yang layak dipegang?

Bagi saya, fungsi survei sejatinya adalah potret dari dinamika yg ada di lapangan. Jika survei bertentangan dengan fakta-fakta di lapangan, maka survei itu patut dipertanyakan. 

Para pembela survei tentu akan berkilah, bagaimana anda menentukan bahwa fakta di lapangan itu benar-benar menggambarkan fakta?

Saya akan bertanya hal yang sama. Bagaimana anda yakin bahwa hasil survei itu benar-benar menggambarkan fakta yang tidak pernah salah?

FAKTA nya adalah, survei-survei sering salah! Pilkada DKI, Jabar dan Jateng sering disebut menjadi contoh betapa survei bisa salah di luar batas margin of error yang bisa ditolerir! Puluhan bahkan ratusan persen!

Disebut bahwa survei memakai metode-metode yang ilmiah. Okey. Tapi saya juga menemukan, banyak juga pembahasan-pembahasan ilmiah yang menyatakan bahwa survei bisa menjadi alat untuk derbohong dengan memakai statistik untuk mempengaruhi persepsi. Coba saja anda Googling istilah "Push Poll" misalnya.

Menurut para surveyor, dengan memakai metode-metoda statistik tertentu, anda bisa merekam persepsi total populasi dengan cara mengambil sample saja. Mirip anda memasak sayur, cukup dicicip satu sendok, anda bisa tahu rasa sayur.

Masalahnya, dalam survei politik, yang anda ukur bukan sayur melainkan populasi manusia. Sayur adalah populasi statis yang bisa diambil samplenya untuk menentukan rasa sayur. Sebaliknya, persepsi manusia itu dinamis, berubah-ubah terus per detiknya!

Karakter statis itulah yang menjadi kelemahan utama pengukuran manusia berdasarkan statistik kuantitatif. Karena manusia itu dinamis secara kualitatif.

Anda tentu masih ingat hasil Pilkada Banten. Rano Karno kalah dari Wahidin Halim. Saya mendapatkan cerita bahwa konsultan Rano, SMRC, salah memberi advis strategi politik karena terlalu kaku pada statistik!

Berdasarkan survei SMRC, Rano diprediksi menang di sebagian besar kabupaten/Kota kecuali Kota Tangerang. Selisih suara WH-Rano besar di wilayah-wilayah yang dimenangi Rano. Sedang selisih kekalahan di Kota Tangerang kecil saja.

Berdasarkan "fakta" survei itu, SMRC memberi advis agar Rano "melepas" Kota Tangerang. Faktanya, selisih kemenangan Rano di wilayah-wilayah yang diprediksi dia menang kecil saja, dan selisih kekalahan di Kota Tangerang besar. Rano kalah dengan selisih sangat tipis karena Kita Tangerang itu!

Kesimpulan saya, metode survei kuantitatif tidak memadai untuk memprediksi sebuah event politik! Dia harus juga dilengkapi dengan pengukuran kualitatif.

Karenanya, saya cenderung tidak percaya pada hasil survei LSI Deny JA yg terus menerus memenangkan 01, apapun peristiwa politik yang terjadi di masyarakat seperti aksi Reuni Alumni 212.

Hal yang sama saya terapkan pada hasil survei CSIS yang konon dilakukan sampai 22 Maret. Pertanyaannya, apakah kasus penangkapan Romi tidak mempengaruhi masyarakat? Romi ditangkap 15 Maret!

Kalau jawabannya kasus penangkapan itu tidak berpengaruh, saya hanya mau menyatakan; suka...suka... Kaulah!

***