Delegitimasi Pemilu Adalah Dalih Untuk Makar

Minggu, 21 April 2019 | 22:26 WIB
2
561
Delegitimasi Pemilu Adalah Dalih Untuk Makar
Sumber: http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au

Judul ini saya ambil agak mirip dengan judul tulisan Allan Nairn: Ahok Adalah Dalih Untuk Makar. Dua-duanya punya karakteristik yang sama.

Jaman Ahok, FPI bersama Kivlan Zein, Amien Rais dkk coba memobilisasi massa di gerakan 411 dan 212, dengan tujuan memenjarakan Ahok dan "membasmi" sisa komunis, tapi di dalam gerakan massa itu, Amien Rais berulang-ulang meneriakkan people power.

Tidak ada politisi yang meneriakkan istilah "people power" selain untuk penggulingan kekuasaan. Di dalam kasus Ahok akhirnya Amien Rais, Ahmad Dhani dkk di tahan sementara dengan tuduhan "percobaan makar".

Pendukung Ahok 2017 dan Jokowi 2019 sebagian besar kelompok yang sama, punya ideologi yang sama dan sama-sama yakin dengan konteks pemerintah yang baik adalah pemerintah yang kerja keras, bukan model auto pilot.

Tapi Ahok kan hanya Jakarta? Kata siapa, banyak sekali rekan dan saudara di daerah juga pengagum Ahok, andaikan mereka di Jakarta mereka akan coblos Ahok. Dan bagi mereka, Ahok seirama dengan Jokowi.

Ahok dan Jokowi adalah simbol pemerintahan yang progresif. Ahok dan Jokowi juga simbol keberagaman, inklusif, bukan eksklusif.

Satu hal penting, Ahok dan Jokowi juga dianggap mewakili kaum "kiri". Ahok identik dengan Cina, dan Jokowi identik dengan Jawa Tengah (dua-duanya pusat gerakan Komunis). Hal terakhir inilah isu yang selalu diteriakkan.

Nyambung kan disini? 

Apalagi secara politik Jokowi berseberangan dengan Orde Baru. Jokowi simbol perjuangan Orde Lama, Ordenya Bung Karno, diwakili oleh Megawati. Jangan heran jika ada meme hoaks: Jokowi akan mengembalikan ide Nasakom: Nasionalis, Agama dan Komunis.

Jokowi juga tidak pro Orde Baru, buktinya Yayasan Supersemar di vonis bersalah dan harus mengembalikan dana puluhan trilyun rupiah dan yang sudah dikembalikan  sebesar 144 Milyar ke kas negara.

Peninggalan Orde Baru lain, Freeport di acak-acak dengan divestasi saham mayoritas ke bumi pertiwi, diwakili oleh Inalum. Belum lagi soal uang yang tersimpan di Bank Swiss, ditengarai ada ratusan trilyun disana.

Jokowi seenaknya ingin mengobrak-abrik "harta karun" zaman Orde Baru yang disimpan dengan rapi. Memangnya siapa Jokowi?

Jokowi adalah pemain baru yang bandel, yang seenak udel-nya mengoyak jaring lawan yang dijaga sedemikian ketat. Megawati dulu dinilai banyak pihak belum mampu mengembalikan asa hegemoni Bung Karno yang pro-rakyat, dan saat ini asa itu ada di pundak Jokowi. So, bagi Orde Baru jelas, Jokowi harus "dihabisi".

Sedangkan Prabowo memiliki track record lengket dengan Orde Baru, selain karena bekas mantu Soeharto. Senakal-nakalnya Prabowo di TNI, beliau tetap aman. Bahkan Prabowo memiliki karir militer yang cepat di era '90-an, hingga mentok di tahun 1998.

Selanjutnya, Prabowo bagai perangko dan lem dengan Kivlan Zen, yang disebut sebagai "si pendiri FPI".

FPI di plot sebagai "the bad boy", di citrakan sejak awal sebagai pejuang Islam garis keras. Islam harus hadir, karena seperti negara dengan mayoritas Islam lainnya yang dihancur leburkan di Timur Tengah (Arab Spring), lebih mudah untuk merontokkan negara dengan agama ketimbang dengan harta.

Dengan citra sesangar itu, FPI di plot lanjutan sebagai "pemangsa komunis", mudah bagi FPI karena sejak 1965 citra komunis adalah kontra dengan Islam.

Jadi sekali lagi jangan heran kenapa sejak Pilpres 2014, citra Jokowi di mata oposisi adalah anti-Islam, karena memang begitu bentukannya. Bahkan hoaks pertama yang terkenal adalah ihram Jokowi yang terbalik ketika beliau umrah, foto tersebut diketahui di edit oleh seseorang dan disebarkan oleh aktifis Facebook pro-oposisi: Jonru.

Jokowi anti-Islam, Jokowi pro komunis adalah dua hal yang dibentuk oleh Orde Baru dan kroni-nya untuk menyerang Orde Lama, bukankah Sukarno juga jatuh karena hal yang sama?

Nah, pemimpin yang baik adalah yang paham sejarah. Disinilah salah satu hal mengapa Jokowi menerima saran Cak Imin ketika menyodorkan KH. Ma'ruf Amin sebagai Calon Wakil Presiden, padahal Kiayi Ma'ruf adalah tokoh pentolan yang memenjarakan Ahok.

Tak ada pilihan bagi Jokowi, isu anti-Islam yang sengaja dibangun sejak sebelum 2014 harus habis, dan Jokowi percaya, NU dibelakang pemerintah, dalam kondisi apapun. Ini garis cerita lawas.

Kenapa Amien Rais terlibat di sisi Orde Baru? Bukan kali ini saja Amien Rais ada di dua kaki, bahkan ketika peristiwa "impeachment" Gusdur pun kita tidak bisa menebak kaki Amien ada dimana. Kemarin menjatuhkan Soeharto, hari ini ada di kubu Soeharto dan kroninya. 

Amien inilah contoh produk politikus murni. Amien sangat cair. No hard feeling.

So, Amien Rais hanyalah penabuh genderang. Beliau adalah ahli wicara, fungsinya adalah membuat suasana "hot". Karena rakyat hanya bisa bergerak jika suasana panas.

Kita melihat fakta sejak 2014 ke 2019, Indonesia terus hangat, padahal Pilpres 2014 telah berlalu. Disini fungsi Jonru sangat dibutuhkan karena sosial media adalah tempat yang asyik untuk berhangat-hangatan. Orde Baru dan kroninya selalu dibuat tidak nyaman oleh Jokowi, sehingga sekam yang sudah hangat harus tetap menghangat.

Mendekati 2019, suasana hangat harus lebih memanas dan Ahok adalah "minyak" yang baik.

Kasus Ahok ternyata gagal untuk sekedar mengusir Jokowi dari kursi Presiden. Disini kubu oposisi sadar bahwa rakyat yang mendukung Jokowi sangat banyak, dan Jokowi berhasil menggalang persatuan antar TNI dan Polri, disini posisi Jokowi sangat kuat sehingga kubu Prabowo and the gank harus memikirkan rencana lain.

Ya, rencana selanjutnya adalah mengambil alih kekuasaan lewat proses legal, yaitu Pilpres 2019. Jadi, hal yang hanya dan harus dilakukan oposisi adalah mengulang-ngulang isu lama: Anti-Islam dan Pro Komunis.

Isu ekonomi dibawa Sandiaga Uno secara baik, karena hanya Sandi lah yang bisa menandingi Jokowi di soal ini. Tapi strategi eksekusi Sandi kurang cantik, terlalu banyak membawa tokoh anonim (bu Nurjannah, Bu Ike dll) hanya membawa Sandi ke kubangan bully ala netizen. Padahal secara teori, Sandi jempolan.

Pun secara metematis lembaga survei selalu memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf di angka 52%-56%. Ini berbahaya bagi kubu Orde Baru, Orde Lama bisa berkuasa kembali, entah apa yang akan "dihantam" Jokowi nanti jika terpilih lagi.

Sehingga pilihan selanjutnya adalah mencontoh Pilpres Kenya dan Venezuela. Yaitu, delegitimasi hasil pemilu. Kita lihat sejak 1-2 tahun sebelum Pilpres 2019, lembaga Pemilu (KPU) dituduh tidak netral, berbagai hoaks kecurangan di citrakan dengan masif.

Tak heran jika muncul hoaks e-KTP tercecer, hoaks 7 kontainer surat suara, warga China boleh memilih dan terakhir indikasi kecurangan di Malaysia yang belum terbukti.

Pemilu pasti curang. Itulah narasi hasil akhir. Karena oposisi sudah sadar sejak awal bahwa mereka akan kalah. Tidak ada cara lain. Dan benar saja, hasil Quick Count memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Bukan hal yang aneh sebenarnya, karena sejak awal lembaga survey sudah menampilkan hasil yang tak jauh beda.

Tapi strategi harus berjalan, benar saja, oposisi buru-buru membuat statement bahwa Pemilu kali ini curang. Bahwa KPU adalah lembaga pro-pemerintah dan lembaga survey yang merilis Quick Count adalah lembaga bayaran.

Untuk memperkuat narasi itu, Prabowo mendeklarasikan kemenangannya dengan segera. Gunanya apa? Untuk meyakinkan pendukungnya bahwa Prabowolah yang menang. Pakai survey apa? Itu bukan soal, survey internal abal-abal pun tak apa, karena yang penting adalah narasinya. Ingat, NARASI.

Di dunia TNI, jamak jika pasukan tidak boleh hilang gairah perang, dan komandan adalah kunci dalam menjaga hasrat perang pasukan. Pasukan tidak boleh down. Untuk itulah strategi "curi waktu, nyalakan api unggunmu" berlaku.

Deklarasi Prabowo-Sandi adalah usaha Prabowo untuk menjaga agar pasukan pendukung beliau tidak patah semangat. Prabowo masih "hidup", apinya masih berkobar, Prabowo tidak padam. 

Kubu Prabowo masih membutuhkan para pasukan untuk langkah terakhir, people power.

Hal ini harus diwaspadai oleh TNI yang menjaga NKRI, bahwa satu peluru bisa berakibat sangat-sangat fatal. Benturan di masyarakat yang di ciptakan sejak sebelum 2014 akan coba untuk diuji dilapangan. FPI, dengan massa HTI dan pro-khilafah alumni 212 jelas siap turun di jalan.

Langkah awal, mereka membuat gerakan anti-televisi. Mereka membangun narasi bahwa televisi (yang semua kompak memenangkan Jokowi-Ma'ruf) dan isinya adalah media kafir, termasuk TVOne yang mendukung Prabowo 2014 ketika Prabowo sujud syukur episode pertama.

Langkah kedua adalah turun ke jalan, narasi jihad dikumandangkan, di medsos sudah banyak beredar ajakan jihad. Jihad bukan membela Islam, tapi membela Prabowo.

Potensi chaos jika itu terjadi. Pemicunya? Kita flash back peristiwa 1998, jatuhnya korban dari Mahasiswa Trisakti menjadi senjata bersatunya seluruh Mahasiswa di Indonesia untuk menggulingkan Soeharto. Jadi jatuhnya korban adalah pemicunya, cukup satu peluru.

Mudah ditebak, Orde Baru dkk sedang menggerakkan Indonesia ke arah Venezuela. Polanya sama. Toh BPN lewat Yusuf Martak dan Dahnil Simanjuntak mengklarifikasi benar adanya penolakan Prabowo untuk bertemu Luhut Pandjaitan sebagai utusan Jokowi. 

Padahal pembicaraan itu untuk mencairkan ketegangan dan tentu untuk mencegah narasi Pemilu chaos terjadi.

Apakah bisa dicegah? Bisa. Pertama, tergantung kelihaian Jokowi dalam menghadapi strategi all out seperti ini, yaitu bargaining. Apa yang pemenang tawarkan kepada yang kalah akan menentukan kesimbangan, karena kesimbangan artinya ada win-win solution, disitulah peran Luhut. Bukankah begitu Ferguso?

Kedua, bisa dicegah oleh kita sendiri, lagi-lagi persatuan kita di uji disini, mana rakyat Indonesia yang betul-betul mencintai negaranya, atau hanya mencintai kepentingan dan kelompoknya.

Toh sudah ada komen masyarakat juga soal kekalahan Prabowo, seperti:

"Saya pendukung Prabowo, tapi gak gini-gini juga kaliii..masak sujud syukur lagi pak?".

Atau memang rakyat Indonesia sudah sadar, tak ada yang mampu memecah belah NKRI kecuali prinsip soal cara makan bubur ayam; di pisah atau di campur.