Apa yang terjadi atas Setya Novanto dan belakangan atas Romy, inilah bentuk konkret dari revolusi mental ala Jokowi.
Hari Jumat acap dianggap sebagai berkah, tapi justru tak membawa tuah bagi Muhammad Romahurmuziy. Ia justru menjadi buah bibir, jadi bahan berita berbagai media, hingga membuat lawan-lawannya tertawa.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilancarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat hari Jumat yang diyakini membawa berkah, terasa sebagai hari musibah bagi sosok yang terkenal dengan sapaan Romi ini. Bahkan untuk mengangkat dagu saja baginya kini tidak lagi mudah.
Foto-foto yang memperlihatkan bagaimana Romi harus menutup wajah dengan masker dan juga topi, cukup menegaskan perasaan malu menderanya. Satu sisi, di tengah badai menghantamnya, ada pemandangan berbeda di sini: Romi masih memperlihatkan rasa malunya, saat lazimnya kita disuguhkan pemandangan banyaknya koruptor yang masih mampu tersenyum hingga tertawa.
Oh, maaf, ini juga tidak bisa sepenuhnya dibilang bahwa ia menjadi korban dari badai yang menghantamnya. Namun ini bisa jadi adalah cerita tentang bagaimana buaian angin semilir sempat membuatnya begitu nyaman, bermain-main dan berpikir takkan ada badai yang menghantamnya.
Agak mirip dengan cerita Setya Novanto, yang juga berangkat dari posisi sebagai petinggi partai sekelas Golongan Karya (Golkar). Bedanya, sosok yang acap disapa Setnov ini justru mengawali dengan begitu banyak drama dan cerita. Agaknya Setnov sempat rajin mengikuti cerita telenovela buat menghibur diri di tengah kepenatan di dunia politik, hingga ia pun membangun drama saat ia mencium gelagat akan mengalami situasi di mana ia takkan bisa berkutik.
Romi nyaris tak bisa menyusun drama selayaknya yang disusun oleh Setnov. Di sini bisa dibilang Romi tidaklah selihai Setnov yang memang terkenal memiliki seribu satu cara untuk berkelit, berkilah, hingga membuat publik sempat gregetan dengan jalan ceritanya yang berujung ke jeruji besi.
Apa yang terjadi terhadap Romi jauh lebih cepat, lebih senyap, hingga karier politiknya pun diramalkan akan sepenuhnya lenyap. Mungkin akan mengikuti cerita Suryadharma Ali, pemimpin PPP yang digantikan olehnya, yang juga harus terpental dari pusaran politik karena kasus mirip.
Imbas ke Jokowi
Adakah imbasnya terhadap Joko Widodo (Jokowi) setelah kasus ini? Banyak yang berpendapat, pastilah ada imbas itu. Tidak sedikit juga yang berpandangan, takkan terlalu berimbas atau tidak akan ada sama sekali, karena sikap partai itu sendiri sudah jelas terhadap Jokowi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Bagaimana pengaruh terhadap citra Jokowi? Toh, ia kan salah satu pendukung kuat hingga Jokowi akhirnya melenggang kembali ke Pilpres sebagai petahana?
Di sinilah ada benang tegas, bahwa Romi bukanlah Jokowi. Sekalipun mereka dekat, namun kedekatan di sini tidak berarti sepenuhnya bersatu.
Kedekatan keduanya bahkan tak bisa dikatakan sebagai "persetubuhan" karena apa yang merekatkan mereka hanya kepentingan. Romi mendekat ke Jokowi demi perahu partainya tetap dapat mengarungi ganasnya samudera politik, sedangkan Jokowi pun mendekat dengannya karena memang harus menjaga kedekatan dengan siapa saja yang mendukungnya.
Kira-kira begitulah kalkulasi politik sederhana. Tidak jauh-jauh dengan pandangan, bahwa apa yang paling dipentingkan dalam politik bukanlah kedekatan atau pertemanan, tetapi kepentingan.
Lagi-lagi, mirip halnya dengan Setnov, sebelum terjungkal dari perjalanan politiknya, ia pun sempat dekat dengan Jokowi. Terlepas jelang Pilpres 2014 lalu berseberangan, namun akhirnya mereka berdekatan, dan ending-nya adalah Setnov terpental.
Kenapa figur-figur yang sejatinya dapat dikatakan sebagai "orang kuat" tadi yang pernah di lingkaran Jokowi terpental? Ini jadi pertanyaan menarik.
Satu sisi, di sini justru kian menegaskan, bahwa Jokowi bukanlah figur yang menjalin pertemanan untuk kemudian pasang badan sebagai benteng untuk mengamankan semua teman. Tidak.
Justru, Jokowi memperlihatkan bukti, bahwa ia bukanlah figur yang genit hingga keluar dari perannya sebagai presiden (eksekutif). Ia tidak ingin mendikte yudikatif dan perangkat yang terkait dengan itu. Jika ada yang salah, bahkan yang terdekat atau paling kuat di dekatnya pun takkan dibentengi jika mereka memiliki masalah serius, seserius korupsi yang masih menjadi musuh bagi negeri ini.
Apakah Jokowi sosok tega? Ia rela membiarkan temannya tersandung masalah hukum?
Ini bukan cerita tentang tega atau tidak tega. Bukan juga soal rela atau tidak rela. Sepanjang seseorang memang memiliki catatan baik, sejauh ini Jokowi sudah menunjukkan sikap yang tak kalah baik. Bahkan kepada pihak yang bersikap buruk terhadapnya pun, ia acap membalas dengan baik.
Ada pengecualian, hanya ketika seseorang bersikap buruk terhadap negara. Ya, semisal cerita Setnov dan Romi tadi. Di sinilah Jokowi memilih bungkam, takkan memberikan uluran tangan untuk membuat sang teman termanjakan.
Baginya, pertemanan bukanlah untuk melindungi kejahatan. Ia pun tak ingin dirinya dijadikan sebagai pelindung kejahatan. Setiap kejahatan mesti dipertanggungjawabkan sendiri oleh siapa yang sudah melakukannya.
Dikaitkan dengan "Revolusi Mental" yang diusung rezim Jokowi, maka apa yang terjadi atas Setnov dan belakangan atas Romi bisa dikatakan sebagai bentuk konkret dari revolusi mental tersebut.
Pasalnya, jika di masa lalu seseorang yang dekat dengan pejabat, apalagi sekelas presiden, hampir selalu selamat walaupun merongrong uang rakyat sampai hampir sekarat, kini tak ada lagi cerita begini. Melainkan, kedekatan dengan kepala negara hari ini adalah kedekatan untuk saling menguatkan untuk berbuat untuk rakyat, bukan mengakali rakyat.
Tampaknya inilah yang selama ini tidak cermat diperhatikan oleh Romi. Alhasil, kedekatannya dengan seorang presiden tak lantas jadi garansi untuk ia benar-benar selamat ketika ia sendiri tertangkap sebagai bagian dari pengerat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews