Masuknya Dhani ke bui memberikan sebentuk tanya ketika pembelaan terutama untuk Fadli Zon, sikap yang berbeda dengan kisah Ratna Sarumpaet. Sikap yang berubah drastis ketika RS ketahuan bahwa itu adalah kebohogan dan rekayasa, pemecatan pun langsung diputuskan. Kini sikap yang bertolak belakang.
Padahal sama-sama “oposan” garis keras. Bagaimana reputasi dan duet mereka ketika melontarkan yang mereka klaim kritikan bagi pemerintah, pasti heboh dan memberikan dampak yang langsung masif karena banyaknya pendukung yang akan meyakin itu kebenaran dan langsung dibagikan dengan gegap gempita. Masif dan seolah duet anatara Owi-Butet saling mengisi satu sama lain.
Sebentar menengok ke belakang, sehingga tidak lupa, bagaimana ugal-ugalannya kisah Ratna Sarumpaet ketika itu. Ada pengakuan jika, RS yang sedang mengadakan perjalanan ke Bandung dihajar oleh orang-orang muda, berbadan tegap, dan berambut cepak. Mukanya sembab dan menunjukkan bekas luka yang cukup mengagetkan, belum lagi narasi yang dikembangkan berikutnya, heboh.
Konfrensi pers bahwa ada orang manula, yang digebuki oleh orang muda, bagaimana pemerintah. Ingat langsung menyebut pemerintah, menjaga warganya. Langsung menuding bahwa pemerintah tega pada manusia tua, manula, dan menggebugi dengan perilaku ugal-ugalan. Ternyata yang ugal-ugalan adalah yang mengadakan konferensi pers. Tanpa adanya klarifikasi, ataukah karena memang sengaja menciptakan kebohongan?
Ketika fakta satu demi satu terkuak, paling sederhana itu, tidak ada penerbangan malam, akhirnya mulai terbuka bahwa gegap gempita itu hanya sebuah “settingan” gagal. Pernyataan dokter yang mengaku bisa membedakan bahwa itu adalah pukulan dimentahkan dokter ahli bedah yang tahu itu oplas, dan tekanan bahwa fakta makin membuktikan bukan kekerasan oleh “pemuda” cepak, yang mau mengarah ke mana tidak bisa dibuktikan, mengaku bahwa itu adalah oplas.
Seketika itu semua mengaku bahwa mereka adalah korban kebohongan RS. Ada plitik sepuh yang mendadak alim karena disuguhi dhaharan gudeg. Langsung pemecatan dari tim pemenangan mereka. Seolah tidak ada ampun dan menjadi habis manis sepah dibuang. Tidak ada yang menengok lagi, apalagi mengingat.
Kisah berbeda ketika Dhani menjadi pesakitan karena ucapannya via media sosial. Pembelaan bertubi-tubi, terutama Fadli Zon, seolah Dhani adalah pahlawan, bak Bung Hatta yang mau dibuang dan Bung Karno yang mau dibuang ke Digul sana. Mungkin bagi Zon, level Dhani adalah Minkenya Eyang Pram. Tulisan yang mengguncang penjajah Belanda, sehingga layak dibuang ke sana ke mari. Apakah demikian?
Pembelaan dan sikap yang berbeda dengan RS, karena potensi suara AD lebih menjanjikan daripada suara dan pengikut RS. RS tidak memiliki pemilih dan penggemar kelas berat, fans garis keras, dan akan menjadi pemilih juga 02. Masa RS sudah lewat, hanya penggembira dan tim pemandu sorak semata atas cuitan atau status medsos darinya. AD masih memiliki pamor, dan penggemar cukup fanatis, toh masih bisa dipertanyakan lagi juga, apakah masih akan demikian.
Kisah yang berbeda, karena kasus AD berkisar pada ujaran kebencian yang biasa mereka goreng untuk bisa mendiskreditkan pemerintah. Kisah RS terpotong oleh kebenaran yang terkuak, ketika AD tetap demikian, dan apa adanya, masuk bui dan bisa diolah menjadi seperti korban politisasi dan ketidakadilan karena perbedaan pilihan politik dalam pilpres. Coba bayangkan jika RS itu lebih halus sedikit skenarionya, seperti apa coba? Akan jauh lebih ngeri.
Sebenarnya jika kisah model demikian, bukan hal yang baru bagi mereka. Boleh diingat lagi, kisah kardus yang menggila, toh tidak ada penyelesaian, ketika diselesaikan pasti ujungnya akan menyelahkan pemerintah. Bawaslu menyelesaikan tanpa adanya penyelidikan pada pihak yang pertama mengungkap kardus. Menguap begitu saja.
Kisah kontainer dengan isi surat suara tercoblos. Ini pun menguap begitu saja, padahal begitu kuatnya arah dan tuduhan pada KPU dan ujung-ujungnya adalah pemerintah. Mendelegitimasi penyelenggara pemilu jika nantinya mereka kalah. Padahal kekalahan itu sudah diharapkan mereka sendiri. Ada arah jelas ke mana tujuan perilaku mereka. Mau benar atau salah yang penting adalah pemerintah salah dan mendelegitimasi penyelenggara pemilu.
Kasus Dhani menjadi amunisi baru bagi mereka, seperti kisah Buni Yani, maka tidak heran selalu dikaitkan dengan kisah Ahok. Adanya photo di sel, sejatinya adalah pelanggaran hukum, namun malah seolah menjadi pahlawan, karena Ahok tidak pernah ada gambarnya. Padahal yang benar dan taat hukum adalah Ahok.
Perilaku ugal-ugalan Zon ini makin menambah orang muak akan perilaku taat hukum kelompok mereka. Makin banyak omong makin kelihatan kualitas mereka. Ingat rekam jejak era digital makin mudah dan gampang dibuka, jangan kaget jika pemilih yang disasar malah makin menjauh karena enggan dengan perilaku mereka yang buruk itu terulang.
Membela yang salah dan membuang ketika makin terdesak, itu juga akan menjadi gaya memimpin negeri ini. Apa iya model demikian yang akan diberi kepercayaan untuk memimpin bangsa sebesar ini?
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews