Pembelaan untuk Ahmad Dhani, Mengapa Ratna Sarumpaet Dilupakan?

Rabu, 30 Januari 2019 | 19:19 WIB
0
400
Pembelaan untuk Ahmad Dhani, Mengapa Ratna Sarumpaet Dilupakan?
Ahmad Dhani (Foto: Tirto.id)

Masuknya Dhani ke bui memberikan sebentuk tanya ketika pembelaan terutama untuk Fadli Zon, sikap yang berbeda dengan kisah Ratna Sarumpaet. Sikap yang berubah drastis ketika RS ketahuan bahwa itu adalah kebohogan dan rekayasa, pemecatan pun langsung diputuskan. Kini sikap yang bertolak belakang.

Padahal sama-sama “oposan” garis keras. Bagaimana reputasi dan duet mereka ketika melontarkan yang mereka klaim kritikan bagi pemerintah, pasti heboh dan memberikan dampak yang langsung masif karena banyaknya pendukung yang akan meyakin itu kebenaran dan langsung dibagikan dengan gegap gempita. Masif dan seolah duet anatara Owi-Butet saling mengisi satu sama lain.

Sebentar menengok ke belakang, sehingga tidak lupa, bagaimana ugal-ugalannya kisah Ratna Sarumpaet ketika itu. Ada pengakuan jika, RS yang sedang mengadakan perjalanan ke Bandung dihajar oleh orang-orang muda, berbadan tegap, dan berambut cepak. Mukanya sembab dan menunjukkan bekas luka yang cukup mengagetkan, belum lagi narasi yang dikembangkan berikutnya, heboh.

Konfrensi pers bahwa ada orang manula, yang digebuki oleh orang muda, bagaimana pemerintah. Ingat langsung menyebut pemerintah, menjaga warganya. Langsung menuding bahwa pemerintah tega pada manusia tua, manula, dan menggebugi dengan perilaku ugal-ugalan. Ternyata yang ugal-ugalan adalah yang mengadakan konferensi pers.  Tanpa adanya klarifikasi, ataukah karena memang sengaja menciptakan kebohongan?

Ketika fakta satu demi satu terkuak, paling sederhana itu, tidak ada penerbangan malam, akhirnya mulai terbuka bahwa gegap gempita itu hanya sebuah “settingan” gagal. Pernyataan dokter yang mengaku bisa membedakan  bahwa itu adalah pukulan dimentahkan dokter ahli bedah yang tahu itu oplas, dan tekanan bahwa fakta makin membuktikan bukan kekerasan oleh “pemuda” cepak, yang mau mengarah ke mana tidak bisa dibuktikan, mengaku bahwa itu adalah oplas.

Seketika itu semua mengaku bahwa mereka adalah korban kebohongan RS. Ada plitik sepuh yang mendadak alim karena disuguhi dhaharan gudeg. Langsung pemecatan dari tim pemenangan mereka. Seolah tidak ada ampun dan menjadi habis manis sepah dibuang. Tidak ada yang menengok lagi, apalagi mengingat.

Kisah berbeda ketika Dhani menjadi pesakitan karena ucapannya via media sosial. Pembelaan bertubi-tubi, terutama Fadli Zon, seolah Dhani adalah pahlawan, bak Bung Hatta yang mau dibuang dan Bung Karno yang mau dibuang ke Digul sana. Mungkin bagi Zon, level Dhani adalah Minkenya Eyang Pram. Tulisan yang mengguncang penjajah Belanda, sehingga layak dibuang ke sana ke mari. Apakah demikian?

Pembelaan dan sikap yang berbeda dengan RS, karena potensi suara AD lebih menjanjikan daripada suara dan pengikut RS. RS tidak memiliki pemilih dan penggemar kelas berat, fans garis keras, dan akan menjadi pemilih juga 02. Masa RS sudah lewat, hanya penggembira dan tim pemandu sorak semata atas cuitan atau status medsos darinya. AD masih memiliki pamor, dan penggemar cukup  fanatis, toh masih bisa dipertanyakan lagi juga, apakah masih akan demikian.

Kisah yang berbeda, karena kasus AD berkisar pada ujaran kebencian yang biasa mereka goreng untuk bisa mendiskreditkan pemerintah. Kisah RS terpotong oleh kebenaran yang terkuak, ketika AD tetap demikian, dan apa adanya, masuk bui dan bisa diolah menjadi seperti korban politisasi dan ketidakadilan karena perbedaan pilihan politik dalam pilpres. Coba bayangkan jika RS itu lebih halus sedikit skenarionya, seperti apa coba? Akan jauh lebih ngeri.

Sebenarnya jika kisah model demikian, bukan hal yang baru bagi mereka. Boleh diingat lagi, kisah kardus yang menggila, toh tidak ada penyelesaian, ketika diselesaikan pasti ujungnya akan menyelahkan pemerintah. Bawaslu menyelesaikan tanpa adanya penyelidikan pada pihak yang pertama mengungkap kardus. Menguap begitu saja.

Kisah kontainer dengan isi surat suara tercoblos. Ini pun menguap begitu saja, padahal begitu kuatnya arah dan tuduhan pada KPU dan ujung-ujungnya adalah pemerintah. Mendelegitimasi penyelenggara pemilu jika nantinya mereka kalah. Padahal kekalahan itu sudah diharapkan mereka sendiri. Ada arah jelas ke mana tujuan perilaku mereka. Mau benar atau salah yang penting adalah pemerintah salah dan mendelegitimasi penyelenggara pemilu.

Kasus Dhani menjadi amunisi baru bagi mereka, seperti kisah Buni Yani, maka tidak heran selalu dikaitkan dengan kisah Ahok. Adanya photo di sel, sejatinya adalah pelanggaran hukum, namun malah seolah menjadi pahlawan, karena Ahok tidak pernah ada gambarnya. Padahal yang benar dan taat hukum adalah Ahok.

Perilaku ugal-ugalan Zon ini makin menambah orang muak akan perilaku taat hukum kelompok mereka. Makin banyak omong makin kelihatan kualitas mereka. Ingat rekam jejak era digital makin mudah dan gampang dibuka, jangan kaget jika pemilih yang disasar malah makin menjauh karena enggan dengan perilaku mereka yang buruk itu terulang.

Membela yang salah dan membuang ketika makin terdesak, itu juga akan menjadi gaya memimpin negeri ini. Apa iya model demikian yang akan diberi kepercayaan untuk memimpin bangsa sebesar ini?

Salam.

***