Gagal Paham pada Prabowo yang Tolak Stigma Islam Agama Teroris

Minggu, 20 Januari 2019 | 22:15 WIB
0
670
Gagal Paham pada Prabowo yang Tolak Stigma Islam Agama Teroris
Ilustrasi (Foto: Kiblat.net)

Bukan antiteror ini mengklaim paham betul soal terorisme. Prabowo pun menolak stigmatisasi terorisme dan mendukung langkah deradikalisme.

"Saya mengerti benar-benar. Banyak stigmatisasi, saya menolak itu. Saya setuju deradikalisasi," tegas Prabowo.

Penegasan Prabowo yang menolak stigmatisasi Islam sebagai agama teroris dan umat Islam sebagai pelaku aksi teror itu kemudian di-viral-kan oleh para pendukungnya. Seolah-olah penolakan Prabowo atas stigmatisasi itu merupakan produk yang baru saja diluncurkan.

Pada 13 Mei 2018 Presiden Jokowi sudah menegaskan bila terorisme merupakan musuh semua agama.

 
Joko Widodo
 
@jokowi
 
 

Tindakan terorisme sungguh biadab. Korbannya anggota masyarakat, anggota kepolisian, bahkan anak-anak. Kita akan hancurkan basis pelaku dan para pendukungnya. Terorisme adalah musuh bagi semua agama -Jkw

 
15,3 rb orang memperbincangkan tentang ini
 
 

Terorisme memang bukan produk semua agama, termasuk juga Islam. Dalam Islam, aksi terorisme bukanlah bagian dari perjuangan alias jihad. Ada banyak perbedaan antara terorisme dengan jihad. Satu di antaranya, aksi terorisme menimbulkan kerusakan, sebaliknya jihad mengarah pada perbaikan. Bahkan, ajaran Islam melarang merusak tetanaman, dalam situasi perang.

Saat debat Pilpres 2019 pun cawapres Ma'ruf Amin menegaskan jika Majelis Ulama Indonesia telah memfatwa haram pada terorisme.

"Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa terorisme bukan jihad oleh karena itu haram dilakukan. Bahkan teroris dianggap melakukan kerusakan fasik," ujar Ma'ruf  (Sumber: Tribbunnews.com).

Prabowo juga benar tentang pelaku terorisme yang datang dari luar. Ada Umar al Farouk, pelaku bom natal pada tahun 2000. Farouk yang ditangkap oleh BIN pada 2003 dikabarkan tewas dalam serangan tentara Inggris di Basra Irak pada 2006. Menariknya, Farouk sebelumnya sanggup melarikan diri dari penjara di Afganistan yang dijaga oleh ratusan tentara Amerika Serikat.

Selain Farouk, ada juga Ali Muhammad warga negara asing yang ditangkap pada 2009 lantaran diduga kuat terlibat pendanaan dalam pengeboman Ritz Carlton dan Marriot pada tahun yang sama.

Bukan saja pelaku aksi teror yang datang dari luar Indonesia, dana yang digunakan pun dipasok dari luar negeri. Menurut hasil penyelidikan PPATK, Australia tercatat sebagai negara yang paling banyak mengalirkan dana untuk aksi terorisme di Indonesia. Negara kedua yang paling banyak mengalirkan dana untuk aksi terorisme ke Indonesia adalah Malaysia. Negara-negara lainnya berturut-turut: Singapura dan Filipina.

Sebaliknya, masih menurut PPATK, ada juga aliran dana yang keluar dari Indonesia. Ada yang dari Indonesia ke Australia. Ada yang ke Hongkong. Ada juga yang ke Filipina.

Siapa pelaku aksi terorisme baik di Indonesia dan juga di sejumlah negara lainnya tidak perlu ditulis panjang kali lebar lagi. Tetapi, menariknya sejumlah temuan justru mengungkapkan adanya kerja sama yang cukup harmonis antara pelaku terorisme dengan "pahlawan" pembasmi terorisme.

Dalam sejumlah laporan yang dipublikasikan, terungkap jika senjata yang dimiliki ISIS dipasok oleh Amerika Serikat dan Arab Saudi lewat pasukan pemberontak Suriah atau Free Syirian Army (FSA). Seperti yang dilaporkan oleh Newsweek.com.

"The United States and Saudi Arabia supplied most of this materiel without authorization, apparently to Syrian opposition forces. This diverted materiel, recovered from IS forces, comprises exclusively Warsaw Pact--caliber weapons and ammunition, purchased by the United States and Saudi Arabia from European Union (EU) member states in Eastern Europe," the report found, using an alternative acronym for ISIS.

"Supplies of materiel into the Syrian conflict from foreign parties---notably the United States and Saudi Arabia---have indirectly allowed IS to obtain substantial quantities of anti-armor ammunition," it later added.

Demikian juga dengan ibu kandung ISIS, Al Qaeda. Menurut pengakuan Hillary Clinton mendapat pendanaan dari AS pada dua puluh tahun silam. Kemudian istri mantan Presiden AS Bill Clinton yang ketika itu menjabat Menteri Luar Negeri AS ini pun menyebut aksi mujahidin di Suriah seperti deja vu.

"Let's remember here... The people we are fighting today, we funded them twenty years ago," ungkap Clinton pada 2013..

"Let's go recruit these mujahideen. And great, let them come from Saudi Arabia and other countries, importing their Wahabi brand of Islam so that we can go beat the Soviet Union. And that is precisely what the US is doing in Syria: using their Al Qaeda "Moderates" to fight against Syria and Russia. For Moscow, it is "Dj Vu. The plan in Afghanistan was to destroy the secular state and install a proxy U.S. Islamic State. The same objective prevails in Syria," sambung mantan kandidat presiden AS 2016 ini.

Terorisme memang tidak ada kaitannya dengan agama. Terorisme diciptakan oleh kepentingan global dengan menggunakan simbol-simbol kelompok sebagai identitasnya. Di Indonesia, pelaku aksi terorisme menggunakan simbol-simbol Islam dalam setiap aksinya. Dengan simbol-simbol tersebut, kelompok teroris dapat dengan mudah menanamkan pahamnya, berikut merekrut anggota dan membentuk sel-sel baru.

Belakangan, murahnya akses internet di Indonesia dimanfaatkan oleh pelaku terorisme dalam menyebarkan paham radikalisme. Inilah yang kemudian disebut dengan "Jihad Ver. 2.0". Lewat internet, terutama jejaring media sosial, propaganda terorisme semakin masif.

Masifnya propaganda terorisme ini membuat pemerintah Jokowi bertindak. Lewat BNPT, kampanye anti-terorisme dan deradikalisme dilancarkan. Di dunia maya, sejumlah situs diluncurkan oleh institusi penanggulangan terorisme di Indonesia ini. Salah satunya situs Jalandamai.org/. Situs ini banyak meluncurkan video yang menjelaskan jika Islam bukan teroris.

Sekali lagi, Islam memang bukan agama penyuluh terorisme. Tetapi, di Indonesia ada banyak umat Islam yang mendukung aksi terorisme. Setiap terjadi aksi terorisme, kelompok ini meneriakkan kalimat-kalimat suci yang identik dengan Islam. Sebaliknya, setiap Polri berhasil menangkap pelakunya, Lewat seleb-seleb medsosnya, seperti Jonru Ginting Lewat seleb-seleb medsosnya seperti Jonru Ginting, kelompok ini justru memojokkan polisi.

Islam menjadi identik dengan teroris dikarenakan kelompok-kelompok tersebut mengidentikkan dirinya dengan Islam. Maka, sebenarnya, kelompok-kelompok inilah yang justru menstigmatisasi Islam sebagai agama teroris.

Jumlah anggota kelompok ini sebenarnya sangat kecil. Bisa dibilang mereka adalag kelompok mayoritas. Meskipun demikian, kelompok ini lantang dalam melancarkan propagandanya sehingga membuat suara penentangnya tenggelam.

Tetapi, perlawanan terhadap kelompok yang membuat Islam distigmatisasi sebagai agama teroris tidak pernah pupus. Seorang mahasiswi University of Colorado, AS, berusia 19 tahun bernama Heraa Hashmi berjuang untuk membuktikan bahwa umat Islam mengutuk terorisme. Mahasiswi cantik ini lantas menggunakan spreadsheetGoogle wadahnya merilis "daftar 712 halaman Muslim mengutuk terorisme".

Di Indonesia pun demikian, ada banyak netizen yang aktif dalam menyuarakan stigmatisasi Islam sebagai agama teroris sekaligus melawan terorisme. Salah seorang di antaranya Dina Y Sulaeman yang meluncurkan sejumlah buku bertemakan perang di Suriah.

Karenanya, jika Prabowo menolak stigmatisasi Islam sebagai agama teroris, maka mantan Danjen Kopassus ini menjadi bagian dari mayoritas umat Islam lainnya.

Namun demikian, sangat janggal jika Prabowo dalam ajang debat Capres 2019 hanya menyatakan penolakannya, tetapi dalam visi-misi yang dibawanya sama sekali tidak menyinggung perlawanan terhadap ideologi terorisme.

Dalam visi-misinya, pasangan nomor urut 02 ini menyebutkan "Mencegah aksi terorisme dengan mereformasi sektor keamanan, pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan aparat penegak hukum dan melakukan kampanye sosial-kultural secara menyeluruh."

Selain itu disebutkan pula, "Memperkuat sinergi antar instrumen pertahanan dan keamanan dalam pencegahan dan penanggulangan aksi terorisme".  

Atas visi misi Prabowo tersebut, muncul pertanyaan apakah ada kaitannya dengan dukungan Partai Gerindra pada kembali dilegalkannya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), terlebih HTI merupakan salah satu kelompok yang menyerukan "2019 Ganti Presiden"?

Sebab, menurut data yang dibeberkan oleh mantan Kepala BNPT Ansyaad Mbai, pelaku aksi teror di Indonesia yang telah tertangkap dan diputuskan bersalah dalam persidangan berasal dari HTI atau setidaknya pernah bergabung dalam HTI. Dalam catatannya, Ansyaad mengatakan ada 25 nama yang terlibat aksi teror, dan 10 di antaranya warga negara asing yang telah deportasi.

Dari pernyataan Ansyaad yersebut bisa disimpulkan bila Ideologi yang dibawa masuk oleh HTI inilah yang menjadi salah satu cikal bakal terorisme di Indonesia. Kelompok ini menggunakan topeng agama dan syariah Islam dalam mempropagandakan kepentingan politiknya. Kelompok ini tidak segan menstempel "kafir" kepada siapa pun yang menentangnya. Paham dan perilaku HTI inilah juga menguatkan stigmatisasi Islam sebagai agama teroris.

Karenanya, sangat ironis jika Prabowo menolak stigmatisasi Islam sebagai agama teroris, namun di sisi lain justru mendukung keberadaan HTI yang menguatkan stigma Islam agama teroris.

***