Benarkah Masyarakat Digital Mampu Menangkal Kecurangan Pilpres?

Sabtu, 12 Januari 2019 | 06:35 WIB
0
486
Benarkah Masyarakat Digital Mampu Menangkal Kecurangan Pilpres?
detik.com

Bumi Pertiwi tengah membuat hajat besar bagi rakyatnya. Di antara kegembiraan suka cita akan kebebasan berdemokrasi tersimpan juga bara yang mulai memanas dampak dari polarisasi politik. Kritik atau issue untuk mengecilkan kredibilitas wasit pun mulai berterbangan.

Wacana akan ketidakpercayaan publik dihembuskan elit politik melalui retorika pemikiran meski sejatinya, belum ada bentrokan skala nasional akibat dari pesta demokrasi tersebut. Sikap saling curiga pun mulai dikembangkan sebagai strategi pemenangan.

Siapa menzolimi siapa, siapa mencurangi siapa, kini bak daerah abu-abu yang sulit diurai oleh masyarakat yang umumnya bingung mencari kebenaran informasi. Jika tak menimbangnya dengan pikiran jernih tentu mudah terseret arus politik pragmatis yang saat ini banyak diperlihatkan elit hanya untuk mencapai tujuannya. Yup, kemenangan golongannya.

Analisa informasi yang berkembang saat ini mudah kok? Beberapa waktu belakangan ini arus informasi tengah menyoroti KPU sebagai wasit yang akan memimpin gelaran laga antara petahana Presiden Jokowi dengan capres Prabowo Subiakto.

Nggak percaya, perhatikan arus informasi yang tersebar di media sosial – saat ini media mainstream hanya mengkonfirmasi issue yang berkembang pada medsos. Dalam minggu ini kritikan terkait DPT, kotak suara kardus, isu orang gila bisa mencoblos, dll tentunya mengarahkan jari telunjuk ke muka KPU.

Besarnya informasi terkait dengan kinerja KPU ini, menyebabkan televisi menggelar talkshow terkait issue yang tengah hangat tersebut. Bahkan tayangan talkshow terbesar, ILC  dari TV One – banyak menghadirkan nara sumber yang kompeten di bidangnya untuk menjelaskan secara menyeluruh.

Dari tayangan talkshow dengan durasi terpanjang inilah masyarakat bisa mengetahui penjelasan dari pihak yang menjadi obyek kali ini KPU, dan sumber-sumber yang pro dan kontra dalam setiap issue yang menjadi bahasannya.

Pertanyaannya, setelah pihak KPU yang menjadi wasit dalam laga pilpres mendatang menerangkan semua kritikan yang masuk dengan gamblang, dan apa yang dilakukan wasit merupakan amanat UU yang harus dijalani dan dibuat oleh seluruh parpol yang ternaung di parlemen.

Menjadi genit ketika elit melempar issue tersebut ke khalayak dan viral menjadi bahan perdebatan. Oke dari sini, akal sehat sudah mengertikan kenapa issue bisa muncul? Lantas bagaimana dengan masyarakat yang terhanyut issue meski telah mendapatkan penjelasan panjang lebar.

Disadari atau tidak issue yang mengarah kepada KPU tentunya akan merongrong kewibawaan badan penyelenggara pemilu tersebut. Kredibilitas professional orang-orang yang berada disana mulai dipertanyakan, bahkan mengarah pada penggiringan opini agar tidak mempercayai KPU karena netralitasnya yang diragukan, bahkan ekstrim bisa menjadi pijakan atas ketidak-puasan kubu yang kalah.

Pilpres di Era Digitalisasi

Benarkah penggiringan opini untuk menaruh ketidak percayaan kepada KPU tengah berjalan? Atau Anggap saja, sebagian masyarakat tidak percaya pada KPU, selanjutnya, apakah mudah memanipulasi suara dijaman digital seperti sekarang ini.

Pilpres merupakan pesta demokrasi yang harus memberikan kegembiraan karena kebebasan menentukan pilihan kini dapat dinikmati tanpa ada paksaan. Tapi tak dapat dipungkiri tentunya ada orang-orang yang selalu mewaspadai terjadinya kecurangan.

Meski arus informasi yang deras dan menimbulkan perdebatan dari yang pro dan kontra, saling curiga diantara dua kubu, namun ketika menggunakan akal sehat, tentunya kecurigaan-kecurigaan yang selama ini deras mengalir dapat dinetralisir oleh masyarakat.

Benarkah hanya karena kotak suara kardus, DPT, dan hak yang dimiliki desabilitas mental dapat menjadi pintu kecurangan pemilihan serentak 2019 ini? Jika dianalisis dengan jernih tentunya menjadi hal yang sulit dilakukan ditengah jaman keterbukaan sekarang ini.

Nggak percaya? Saat ini hampir seluruh penduduk Indonesia memiliki telepon genggam yang memiliki fitur yang sangat canggih. Sehingga di era digital ini informasi sekecil apa pun dapat diketahui secara cepat melebihi kecepatan media mainstream.

Kecepatan informasi yang kecil dan rahasia pun dapat tersebar dengan cepat dan luas. Ketika kasus Habib Bahar ditetapkan tersangka dan ditahan dalam kasus penganiayaan, dimana media-media baru memberitakan dalam sekilas berita, di pesa-pesan whatsapp telah tersebar foto surat resmi kepolisian terkait status Habib Bahar.

Nah, bagaimana caranya mencurangi suara pilpres ditengah pengawasan ketat manusia dan perilaku media sosial jaman sekarang? Dapat dibilang sangat sulit melakukan kecurangan dengan memanipulasi suara pada jaman digital saat ini.

Ketika menggunakan akal sehat, maka kita akan mengetahui siapa-siapa saja dan prosedur apa saja yang memperlihat keterbukaan pilpres sekarang ini. Dilokasi tentu ada KPPS dan perangkatnya, ada Panwaslu, saksi-saksi yang diterjunkan parpol, saksi-saksi dari masyarakat setempat yang mengawal suara, hingga satuan kepolisian yang diterjunkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Dari sekian banyak orang-orang yang berkepentingan tentu akan mengawal suara mereka, bukan saja dengan menandatangani berkas acara setelah penghitungan suara, pastinya mereka mempresentasikan masyarakat milenial.

Orang-orang tersebut bukan saja memfoto segala sesuatu yang terjadi di TPS, lebih jauh bro – mereka langsung mendokumentasikan berupa audio visual. Yup, sekarang ini semua bisa divideokan sehingga sangat sulit dimanipulasi.

Belum lagi kecepatan penyebarannya, wow sangat mengagumkan sekali, kotak suara yang belum sampai kelurahan pun sudah dapat diketahui asalnya melalui koordinasi bukti-bukti digital. Terus hingga tingkatan yang lebih atas. Sehingga saat ini dalam hitungan jam pun suara pemilu sudah bisa diketahui.

Lantas bagaimana saksi-saksi yang ada di tingkat kelurahan, mereka bisa berperan mengawasi dan juga mengkoordinasi suara yang masuk dari setiap TPS dikelurahan tersebut, mencocokan data yang dimiliki dari saksi di TPS dengan penghitungan ditingkat kelurahan, dan tak lepas melakukan proses video sebagai bukti digital.

Langkah seperti itu yang terjadi pada setiap tingkatan selanjutnya, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga suara pada tingkat nasional. Dari perjalanan dan bukti digital yang dikoordinasi, kini bukan lagi soal kertas yang basah atau rusak.

Era digital dan penyebaran informasi media sosial kini terbuka selebar-lebarnya sehingga sangat tidak mungkin ketika terjadi manipulasi suara yang tidak dapat diketahui.

Yuk, gunakan akal sehat untuk mengawal pesta demokrasi ini.

***