Tak Ada Lagi Toleransi bagi Organisasi Radikal di Bumi Pancasila ini!

Senin, 14 Januari 2019 | 08:15 WIB
0
774
Tak Ada Lagi Toleransi bagi Organisasi Radikal di Bumi Pancasila ini!
Jualan ideologi khilafah (Foto: Kompasiana.com)

Ketika negara ini terbentuk lebih dari 73 tahun lalu, para the founding fathers kita bersepakat bulat pada satu ideologi negara, yakni ideologi Pancasila.

Ideologi Pancasila inilah yang akan menjadi tali pengikat di antara berbagai keragaman yang ada, baik suku, agama, ras, dan antargolongan.

Buktinya, dengan lima sila di dalamnya, mampu menyatukan berbagai keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Para pendahulu kita menggali nilai-nilai Pancasila dalam satu jiwa dengan Piagam Jakarta dan Piagam Madinah, dengan tujuan yang sama, yaitu menyatukan berbagai perbedaan. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan bagi siapa pun yang mencoba mempersoalkan ideologi Pancasila.

Seperti diketahui, Piagam Jakarta merupakan bentuk lain dari Pancasila, mengingat sila pertama yang terdiri dari kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu, disederhanakan dan diringkas menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal ini bertujuan untuk menampung keinginan sebagian rakyat kita yang berbeda keyakinan. Selain itu, untuk tetap mengukuhkan keberadaan umat Islam sebagai mayoritas umat di negeri ini, para pemimpin kita saat itu sepakat melahirkan Departemen Agama sebagai wujud Islam dalam sebuah negara.

Seperti yang dikutip di laman Kemenag.go.id, dinyataan bahwa berdirinya Departemen Agama pada 3 Januari 1946, sekitar lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali berakar dari sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia, sekaligus sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan UUD 1945

Inilah satu-satunya departemen yang menggambarkan Islam dalam wujud negara. Hanya di Indonesia, departemen yang banyak mengurusi kebutuhan umat Islam ini berdiri. Salah satu kebutuhan itu, antara lain soal pernikahan, waris, haji, dan lain sebagainya. Dan, Indonesia merupakan negara yang pertama di dunia yang memiliki kementerian yang menangani urusan agama.

Bagi organisasi Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, yang sudah lebih realistis menegaskan bahwa Pancasila sebagai keputusan final. Oleh karena itu, siapa pun yang keluar dari kesepakatan, negara dengan segala kekuatannya akan menghancurkanya.

Di awal-awal pemerintahan Presiden Soekarno, negara yang masih muda ini terus saja digoyang oleh kelompok-kelompok yang merasa tidak puas.

Mereka menginginkan negara ini berideologikan seperti yang mereka miliki. Di antara pemberontakan yang terjadi, antara lain pemberontakan komunis Muso tahun1948 dan Pemberontakan DI/TII yang dipimpin Karto Suwiryo.

Secara pribadi, kedua tokoh tersebut punya ikatan yang kuat dengan Presiden Sukarno. Muso dan Karto Suwiryo adalah sahabat Sukarno, teman satu seperguruan Sukarno yang menimbah ilmu dari H.O.S. Tjokroaminoto.

Namun, sebagai Presiden yang disumpah meneggakkan ideologi Pancasila, dua pelaku pemberontakan tersebut mendapatkan hukuman mati. 

Jika kita melihat kenyataan yang ada hari-hari belakangan ini, Pemerintahan Presiden Joko Widodo memang tegas dengan upaya-upaya yang diindikasikan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Bentuk dari ketegasan ini, Jokowi tak lagi memberikan tolerasi kepada organisasi-organisasi yang terbukti radikal. Salah satunya yang sudah dilakukan adalah Pemeritah mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang memang diindikasikan mengusung idiologi lain, diluar Pacasila.

Seperti diketahui, di beberapa negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Hitbut Tahrir sudah dianggap sebagai organisasi terlarang.

Keberadaan HTI yang sudah dibubarkan itu, bukan berarti sudah lenyap dari negeri ini.

Idiologi yang diusungnya, yaitu Khilafah masih tetap ada, dan terus mencoba dihidupkan kembali melalui berbagai macam cara. Di antaranya merapatkan dukungannya kepada pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Selain HTI, nyatanya organisai lain yang kerap memaksakan kehendaknya dengan jalan kekerasan adalah organisai Front Pembela Islam (FPI).

Dalam hal ini, sudah jauh-jauh hari, melalui imam besarnya Habib Rizieq Shihab, FPI memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto di dalam ajang kontestasi Pilpres 2019.

Tak bisa dibayangkan apabila Prabowo Subianto bisa memenangkan Pilpres 2019 nanti. Sebelum Pilpres dilangsungkan saja, dirinya sudah mengancam kita semua, bahwa kalau dirinya kalah maka Indonesia akan punah. Ancaman inilah yang merupakan bentuk teror yang mengancam keutuhan NKRI.

Jika ditilik lebih jauh, antara HTI dan FPI memang memiliki pandangan yang berbeda terhadap NKRI. Namun, ketika keduanya bersama-sama mendukung Prabowo Subianto, maka misi organisasi tesebut sudah jelas ingin mengubah negara kebangsaan yang beridiolohikan Pancasila ini dengan idiologi lain. Seperti kata Habib Rizieq, NKRI Bersyariah.

Dukungan FPI kepada HTI tampak pada dukungan Habib Rizieq yang menghimbau anggotanya untuk tetap mengibarkan bendera HTI, yang dianggapnya bendera tauhid.

Seperti yang diungkapkan Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) Jamaluddin Mohammad atau biasa disapa Kang Jamal, "Secara pelan-pelan tapi pasti, mereka sudah mengganti merah putih dengan bendera HTI, patung-patung dihancurkan, tinggal satu langkah lagi: Memberontak!"

Bagaimana menurut Anda? Siapkah kita membela dan menjaga ideologi Pancasila demi keutuhan NKRI!

Merdeka!

***

 

sumber:

Swararakyat.com (14/11/2018): "Tokoh Muda NU: Jika Negara Beri Ruang HTI dan FPI, Selengkah Lagi Mereka Memberontak!