Menelusuri Motif Penyebaran Isu 7 Kontainer Surat Suara Tercoblos

Sabtu, 12 Januari 2019 | 19:18 WIB
0
871
Menelusuri Motif Penyebaran Isu 7 Kontainer Surat Suara Tercoblos
BPP, tersangka hoax 7 kontaiiner surat suara (Foto: Kompas.com)

 
Maraknya berita mengenai hal-hal palsu akhir-akhir ini menbuat saya sadar kalau hal-hal palsu itu dekat dengan kehidupan. Saya masih ingat viralnya vaksin palsu beberapa waktu lalu. Banyak di antara circle teman dan keluarga yang menjadi korban. Nyesek deh.

Namun sudahlah, tak perlu juga melihat jauh-jauh ke orang lain. Hal-hal yang melekat di tubuh kita bisa jadi juga adalah palsu. Rambut palsu, bulu mata palsu, pakaian branded palsu, tas merk KW atau emas imitasi ya kan? Bahkan yang kerap membuat orang jadi terpeleset adalah status palsu di sosial media.

Terkait dengan status palsu di media sosial, kemarin kembali kita disentakkan lagi dengan berita yang bermula dari cuitan Andi Arief dalam akun Twitternya. Sosok politisi Partai Demokrat ini mencurigai adanya tujuh kontainer surat suara dari China yang sudah dicoblos.
 
Meskipun ia menghapus cuitannya tidak lama setelah dipublish tapi jejak digitalnya sudah terlanjut beredar. Screen shoot cuitannya sudah telanjur menyebar ke mana-mana dalam sekejap.
 
Thanks God, it's fake!
 
Alhamdulillah, hasil pemeriksaan KPU dan Bawaslu menyampaikan keberadaan kontainer tersebut tidak terbukti. Pihak kepolisian menangkap lima orang pelaku penyebar hoax atas 7 kontainer surat suara dimana salah satunya adalah guru SMP.
 
Suara rekaman misterius yang 'memakari' skandal kontainer berisi surat suara yang sudah dicoblos juga sudah ditangkap.
 
Yang bikin saya mengerutkan kening mereka ini rupanya tim pendukung dari pasangan calon presiden dengan nomor urut dua. Terbaca jelas dalam nalar awam saya kalau bau kampanye hitam mulai digaungkan.

Fenomena berbagi informasi di jejaring sosial media adalah cara ampuh untuk memberitakan berita. Twitter sebagai jaringan terbuka mendorong perilaku berbagi informasi secara instant, massal dan murah.
 
Namun sayangnya, pemahaman kontent dan rendahnya critical thinking tidak membuat user media sosial sadar kalau sejatinya mereka tengah diperdaya. Biasanya jenis orang yang rendah literasi media dan minat bacanya, rendah pengetahuan politiknya tapi tinggi patriotismenya yang jadi korban seperti tersangka ini.
 
Biasanya tipe ini punya figur panutan. Atas landasan patriotisme mereka merasa tak perlu mempertanyakan kebenarannya lagi. Ini sama rasanya seperti pergaulan saya waktu kecil yang bisa-bisanya karena tidak suka dengan satu orang teman lalu mengajak teman-teman yang lain untuk ikut memusuhi dia hahahaha... 

Pada akhirnya hoax hanya dampak tak terhindarkan dari kemajuan teknologi komunikasi. Ibarat virus, hoax hanya dapat dilawan wabah penyebarannya dengan serum kekebalan berupa kemampuan berpikir secara kritis.
 
Maka sebelum sharing saring dulu itu pas sekali dilakukan. Jangan sampai ketidakhati-hatian menyebar konten membuat diri kita dan circle relation yang menjadi korbannya.
 
STOP HOAX!
 
***