Luhut Binsar Panjaitan, "The Real Vice President"

Dalam situasi carut-marut tersebut, mungkin keputusan terbaik yang dilakukan oleh Jokowi adalah menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai tangan keduanya.

Jumat, 15 Oktober 2021 | 10:29 WIB
0
501
Luhut Binsar Panjaitan, "The Real Vice President"
Joko Widodo dan Luhut Binsar Panjaitan (Foto: riaumandiri.com)

Ketika awal Pilpres 2019, Pak Tua itu ditetapkan sebagai Cawapres tentu saya termasuk yang kecewa berat. Reputasi tertingginya "hanya" sebagai Ketua MUI. Bukan besar kecilnya lembaga ini? Tapi kontroversi lembaga ini sebagai apa yang disebut Gus Dur sebagai "mahluk apakah sebenarnya" tentu jadi dasar gugatan.

Jika kemudian dia menjadi "majelis ulama", pertanyaannya selalu sama ulama yang mana? Apakah setiap fatwa-nya memiliki daya ikat yang kuat? Karena jangankan, antar ulama beda ormas. Ulama sesama ormas saja, di lingkaran NU saja yang konon lembaga terbesar di dunia. Perbedaan pendapatnya bisa sangat tajam.

Jadi, jika akhirnya MUI sekedar jadi tukang stempel halal-haram makanan. Bukankah memang segitu marwahnya? Itu pun, karena mengundang kontroversi karena tarikan biayanya yang tinggi. Peran ini kemudian diambil alih oleh BPOM? Kalau kemudian lebih sering jadi bola liar, apa yang aneh?

K.H. Amin Mar'uf adalah segala hal tentang ambigu itu. Ia wakil kaum sarungan, tetapi sama sekali tidak mencerminkan sisi egalitarian "wong NU sing asli", yang secara tradisi dilahirkan dan terdidik di lingkaran pergaulan santri nJombang. Habitat dimana ulama-ulama terbaik, lahir bukan saja karena sejarah tradisi panjang tradisionalisme yang pekat, tetapi terutama keterbukaan terhadap modernisasi yang cukup ketat.

Salah satu legacy terpenting "lingkaran NU Jombang", di mana mereka terbagi dalam dua mahzab besar: mereka yang berbagi tradisi Gus dan Cak. Gus untuk menyebut pijakan kuat pada tradisi, dan Cak sebagai loncatan modernitas yang menjangkau masa depan.
Pak tua ini, walau NU tentu saja bukan Gus maupun Cak itu! Ia adalah figur yang kalau dalam kultur Jogja disebut "hooh ning dudu, ora ning ya wis lah"....

Ia adalah Budiono "dalam bentuk lain", diperlukan tapi tidak terlalu dibutuhkan. Keduanya memiliki persamaan hanya pada menggantikan Jusuf Kalla yang justru mencitrakan dirinya sebagai paradoks sebagai "Wakil Presiden dengan Cita Rasa Presiden".

Orang tidak akan penah lupa, ketika ia menemani Jokowi menemui para demonstran 212 di depan Istana Negara. Seolah ia adalah representasi kepedulian negara. Padahal ia adalah otak di balik aktivitas demo itu. Figur yang didemo adalah Ahok, tapi target sesungguhnya adalah Jokowi. Ahok memang berhasil dipenjarakan, gagal jadi Gubernur.

Anies Baswedan Jago-nya JK lalu memang naik, tapi sekedar menjadi Dakochan. Boneka hitam dengan telinga besar yang lucu. Yang baru bisa bersuara kalau dipencet: eok, eok, eok...

Karenanya Pandemi Covid-19 barangkali Gerakan 212 dalam bentuk lain. Dalam skala dampak dan eskalasi yang jauh lebih besar. Alih-alih membantu pemerintah untuk bisa mengatasinya, terlalu banyak pihak yang memancing di air keruh. Seolah apa pun yang dilakukan, pemerintah tak ada yang benar.

Hanya dalam masa pandemi ini, semua orang yang tidak suka dengan Jokowi bisa satu suara dengan orang yang sebelum mendaku sebagai pendukung Jokowi. Semua kerugian, kehilangan, dan keterpurukan ditimpakan pada Jokowi. Yang dianggap selalu telat mengantisipasi keadaan. Padahal sebut satu negara saja di dunia: mana ada yang siap dengan kondisi ini?

Hal ini pada mulanya, memang dipicu oleh sikap "santai" Menkes sebelumnya, Terawan Agus Putranto. Sebagai seorang yang ngerti kondisi sosial-politik nasional maupun peta bisnis farmasi global, tentu ia dianggap "kemajon". Ia barangkali lupa dan nggak mau tahu bahwa "panik dan heboh" adalah gaya hidup masyarakat milenial. Dan segmen ini selalu bersuara keras dan butuh didengar.

Masker yang tiba-tiba jadi sangat mahal, menjadi isu yang memicu Kemenkes akhirnya dipimpin oleh yang lebih berwatak "pedagang" daripada orang medis. Hingga kemudian kontroversi pro-kontra vaksin yang sering disalahpahami sebagai "pembunuh" tinimbang "peningkat kekebalan".

Hal ini diperburuk kedisiplinan dan literasi masyarakat yang rendah, yang diperparah oleh peran kaum agamawan yang alih-alih menjadi solusi. Tapi justru mengambil kesempatan untuk melengkapi infodemik dengan religidemik. Singkat kata: parah habis!

Dalam situasi carut-marut tersebut, mungkin keputusan terbaik yang dilakukan oleh Jokowi adalah menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai tangan keduanya.

Secara resmi ia adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Tampak tidak mentereng, walau membawahi tujuh kementrian. Tapi justru inilah Menko yang menjadi "hub", penghubung mata rantai nyaris semua kementrian. Jangan lupa, dalam kabinet Jokowi periode pertama, seorang menteri paling populer justru lahir dari kelompok kementrian ini. Ia adalah Susi Pudjiastuti, yang sayangnya sepak terjangnya justru mentok karena bentrok dengan LBP.

Susi memang berhasil menjadi "media darling", karena programnya menjaga lautan Indonesia dari illegal fishing oleh nelayan asing. Slogannya "tenggelamkan" kapal pencuri berhasil mengerek tinggi namanya. Gayanya yang cuek, latar belakang pendidikannya yang tak seberapa, justru berbalik menjadi kekuatan. Menambah sisi positif pengalaman luasnya sebagai pedagang dan eskportir ikan, yang kemudian berkembang dalam bisnis pesawat carter.

Namun, demikianlah kelemahan watak dasar "pedagang" yang menjadi kuwalat. Tentu saat mereka, masuk ke ranah politik. Selalu saja ada alasan bisnisnya mengalami sisi seret dan turun. Suatu hal yang biasa dialami siapa saja, yang berani masuk ke dunia hibrid tersebut!

Apa yang dialami Susi, sebenarnya sama persis dengan yang dialami JK. Bedanya kalau Susi berani terang-terangan mengekspos bisnis pesawat carternya dengan namanya sendiri Susi Air. JK, sebagaimana biasa "slintat-slintut" menyembunyikan kepemilikannya dalam bisnis pesawat komersil berbiaya murah "Lion Air".

Akibatnya, maskapai tersebut bagai pendekar mabuk yang seenak sendiri merusak tatanan bisnis penerbangan. Jadwal kacau, pelayanan buruk dan bagian terjeleknya hubungan remuknya dengan para pekerjanya secara internal. Belum lagi, utang yang menumpuk karena sifat over-ekspansif dalam pembelian pesawat. SP dan JK pada akhirnya adalah kembar siam!

Dalam konteks hubungannya JK dan SP dengan Jokowi, peran LBP menjadi sangat penting. Lagi-lagi ialah yang menjadi bemper. Ia adalah orang yang selalu menggunakan data untuk menunjukkan kondisi faktualnya. Kombinasi pengalaman militer, aktivitas bisni, dan terutama watak filantropisnya ini. Yang menjadikan LBP sebagai bemper utama Jokowi dalam nyaris seluruh urusan. Terutama dalam menghadapi tekanan internal maupun eksternal.

Kemenangan Jokowi terhadap Prabowo dalam dua kali Pilpres, tak lepas dari LBP yang memasok data kontra-intelejen militer. Sehingga pengaruh hoax dan tekanan warga militer, bisa diminimalisir. Membuat tentara tetap tenang dalam kandang, untuk tidak terlibat dalam urusan masyarakat sipil.

Bahwa dalam periode keduanya ia didapuk untuk banyak jabatan, apa Jokowi salah? LBP adalah cermin kepemimpinan nasional yang seutuhnya. Sipil-Militer, Muda-Tua, Islam-Non-Islam, Rasional-Emosinal, dan terutama yang yahud role model Jawa-Batak. Dalam konteks yang terakhir ini, mungkin mitologinya hanya bisa dipadani oleh Sunda-Minang. Tapi apa ya tumon di hari ini? Karena itu di periode keduanya, Jokowi membuat LBP seolah harus selalu ada di banyak aktivitas.

Catatan saya ia menjadi Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelamatan Danau Prioritas Nasional dan Ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI).

Dan setelah menjadi Wakil Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), kemudian ia ditunjuk Koordinator PPKM Jawa-Bali. Pada jabatan yang terakhir inilah, mencapai puncak momentum yang memberi kebanggaan nasional bahkan internasional. Indonesia yang awalnya dianggap paling buruk dalam penanganan pandemi Covid-19, kemudian dianggap yang terbaik di Asia Tenggara. Suatu prestasi yang tidak main-main, bila pembandingnya negara-negara yang jauh lebih "simple".

Ambil contoh negara kota seperti Singapore yang gagal total itu. Atau Malaysia yang memberlakukan lock-down ketat, tapi nyatanya ya tetap ambyar itu. Bahkan bila dibanding Vietnam yang masih menerapkan sosialisme dengan disiplin milter, namun tetap saja kewalahan. Lah ini, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan masyarakat yang disiplin pribadi rendah tapi ceriwis. Dengan karakter sulit diatur, paling sok tahu, dan hobi main terabas.

Kok malah bisa? Tapi kok malah justru disudutkan?

Di sinilah, absurdnya negeri ini. Ketika seseorang berprestasi, alih-alih diapresiasi. Justru ia dicari-cari kesalahannya. Dan dalam konteks inilah dua SJW ketemu batunya. Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang tanpa babibu, tiba-tiba menuduh LBP terlibat dalam bisnis tambang yang dibekingi militer di Papua.

Sebagaimana biasa, ia pakai "data katanya". Yang bila ditelusur lebih jauh akan ketahuan belang kelemahannya. Ia sekedar berspekulasi menuduh dengan menggunakan asumsi yang sangat lemah, dan ketika dibantah justru menantang untuk pembuktian terbalik. Dan bagian terburuknya, ketika diperkarakan menuduh mengalami "judicial harrasement". Bangke!

ICW dan Kontras pada akhirnya jatuh harga! Ia justru meletakkan demokrasi, kesetaraan hukum, dan Hak Azasi Manusia pada titik nadir yang paling menyedihkan. Mereka salah cari musuh, hanya karena nafsu ke-SJW-annya yang buruk. Yang selalu memandang rendah, orang-orang di luar diri dan kelompok mereka sendiri.

Harusnya fakta bahwa Haris Azhar pernah datang ke LBP untuk meminta saham Freeport cukup untuk menjadi sinyalemen. Bahwa tuduhannya akan mudah mengalami "kick-balik". Tapi demikianlah SJW di hari ini, mereka adalah bagian dari infodemik. Alih-alih menjadi bagian dari solusi, mereka adalah problem itu tersendiri.

Tentu sesungguhnya, sangat memalukan LBP harus berhadapan dengan SJW ini. LBP adalah figur Batak sebagaimana umumnya, terbuka dan mudah diajak dialog. Bicaranya lugas, jujur, dan bahasa tubuhnya menunjukkan tak ada yang ditutup-tutupi.

Tak sebagaimana umumnya, para politikus yang berbulu agama itu, ia jauh dari itu. Ia ta pernah malu bercerita tentang dunia bisnisnya. Ia tak menutupi pembelaannya terhadap kecondongannya dalam bisnis dengan pengusaha dan pemerintah Tiongkok. Padahal, ia dibesarkan dalam jaringan kultur militer Amerika.

Sebagai Menteri Investasi tentu ia tahu urusan bisnis yang riil, dan bukan sekedar janji-janji. Ia memahami makna kerja, kerja, kerja....

Ia tak pernah bermimpi jadi Wakil Presiden, dan tak pernah ikut memperebutkannya. Tapi bagi saya ia adalah The Real Vice President. Setuju atau tidak, suka atau tidak....

NB: Bagi para pembenci LBP, terkait sepak terjang bisnis dan politik. Ingatlah satu hal terpenting, seluruh aktivitas itu. Ujungnya adalah sebuah sekolah yang didirikannya di tanah kelahirannya di pinggir Danau Toba. Sekolah yang baru berdiri tahun 2011, namun tak sampai sepuluh tahun kemudian dinobatkan sebagai sekolah swasta terbaik nasional. Padahal, ia "hanya" sekolah berbiaya murah yang menampung putra-putra daerah berbakat dari keluarga tak mampu.

Sebuah SMA yang dinamai dengan sederhana: SMA Unggul Del. Saya tak tahu apakah Dei itu maknanya "Tuhan". Tapi kalau dilihat dari motonya memang demikian. “MarTuhan, Marroha, Marbisuk” adalah nilai dasar yang dipegang teguh oleh SMA Unggul Del yang diharapkan tak hanya menciptakan generasi pemimpin masa depan yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi namun juga taat serta percaya kepada Tuhan (marTuhan), berhati nurani yang luhur (marroha), dan bijaksana (marbisuk).

Dan tak sebagaimana, sekolah swasta lainnya yang rata-rata berbiaya mahal, ekslusif dan sektarian, ia justru sangat bersubsisdi, inklusif dan egaliter. Siapa pun boleh manjadi siswa. Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Konghucu, bahkan penganut Parmalin sekalipun.

Masih menyanggah keteladanan dan nasionalisme LBP?

***