Pandji Pragiwaksono dan Muhammadiyah

Apalagi dimohon memahami pernyataan Gus Dur, bahwa sekaranglah saatnya merayakan perbedaan. Karena dari sana akan kita temukan titik persamaannya.

Sabtu, 23 Januari 2021 | 16:01 WIB
0
435
Pandji Pragiwaksono dan Muhammadiyah
Pandji Pragiwaksono (Foto: detik.com)

Daripada ngutip pernyataan Panji Pragiwaksono, kutipan temennya Buldanul Khuri, terasa lebih cerdas. Sekali pun Panji berkilah, bahwa pernyataannya itu dikutipnya dari sosiolog Thamrin Amal Tomagola. Di situ sudah ketahuan biasnya Panji.

Temennya Buldan, yang saya juga nggak berani menyebut, bilang bahwa; Kalau belum pernah frustrasi di Muhammadiyah berarti belum Muhammadiyah! Itu dikutip Buldan ketika ia akhirnya mengundurkan diri dari posisinya sebagai anggota Majelis Dokumentasi dan Pustaka Muhamadiyah Pusat.

Kenapa mundur? Apa karena Muhammadiyah lebih dekat pada yang lain daripada kepada Buldan? Karena usulan Buldan, agar Muhammadiyah membangun Museum, Penerbitan Buku dan Film Dokumenter Muhammadiyah, tak segera direalisasi. Itu membuat Buldan frustrasi. Baru tahun ini, mulai dirintis Museum Muhammadiyah.

Apakah Buldan kemudian akan balik sebagai anggota majelis? Bukan itu mangsud dan tujuan tulisan ini. Tapi, bagaimana memakai bahasa retorik, agar ‘kritik’ itu tak mudah dimentahkan, yang ujungnya sang pengritik, atau yang mengutip pendapat orang lain untuk kritik, tidak dibully.

Meski oleh media dan followersnya disebut komedian, Panji dalam beberapa pernyataan kontroversialnya, lebih menunjukkan ketidaklayakannya sebagai komedian. Apalagi jika sudah ke masalah yang sensitif pada soal politik dan terlebih agama.

Hal-hal kayak gituan, yang membuat saya skeptis akan munculnya ‘komedian’ Indonesia, ketika kita melihat kemunculan yang disebut ‘stand up comedy’. Dulunya, saya berharap dari sini akan lahir para ‘pelawak’ dari generasi yang berbeda.

Rasanya tidak. Itu juga jika kita mendengarkan pernyataan-pernyataan Ernest Prakasa, yang acap mengeksploitasi kecinaannya. Ia masuk ke pernyataan-pernyataan verbal di medsos (yang kemudian dikutip di media online dan cetak), sebagaimana para SJW mengkritisi pemerintah.

Meskipun komika (agak aneh sebutan ini, tapi saya lebih sreg daripada menyebut komedian) bernama Abdur (dari NTT) dan Mamat Alkatiri (Papua) lebih terasa genuine dan otentik. Kalau Raditya Dika atau Dodit? Keduanya penghibur yang baik, meski Dodit terasa semakin garing.

Terus apa hubungan dengan Buldan? Tidak ada. Saya hanya ingin menyodorkan contoh, bagaimana teman Buldan itu keren. Sementara yang sering kita dapati seperti model-model pernyataan dari Panji itu, kita memang suka tak adil sejak membanding-bandingkan. Kesukaan membanding-bandingkan hal berbeda, hanya menunjukkan kemalasan berpikir. Apalagi, tanpa ujung pangkal terus nyeletuk; Lha, bijimana membandingkan hal yang sama?

Baca Juga: Menggoda Umat Muhammadiyah dengan Punai

Di situ persoalan kita. Apalagi dimohon memahami pernyataan Gus Dur, bahwa sekaranglah saatnya merayakan perbedaan. Karena dari sana akan kita temukan titik persamaannya. Dan apalagi pula, disuruh mbaca tulisan latin dari kanan ke kiri oleh Mbah Pram.

Meski untuk yang terakhir itu, tukang cetak novel-novel Kho Ping Hoo, sewaktu masih pakai mesin handpress, akan sangat cekatan meski sudah sepuh. Dengan lensa kacamata yang lebih tebal dari yang dipakai Gus Dur. Terus kita kudu membandingkan semua itu? Piye jal?

@sunardianwirodono

***