Akhir Kudeta Demokrat, Lampu Merah Jalur Politik Sang Jenderal Membuka Jalur Panjang Sang Mayor

Tak kalah penting dari akhir kisruh kudeta ini adalah sejauh mana masing-masing pihak bisa memberi maaf pada mereka yang mencoba membelah diri.

Jumat, 2 April 2021 | 11:24 WIB
0
195
Akhir Kudeta Demokrat, Lampu Merah Jalur Politik Sang Jenderal Membuka Jalur Panjang Sang Mayor
sumber merdeka.com

Kurang lebih dua puluh enam hari sejak ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat Versi KLB Deli Serdang pernah disandang oleh Moeldoko.  Terhitung sejak 5 Maret 2021, euphoria hak politik  Sang Jenderal menggelegar bak petir pada siang bolong.

AHY sebagai sosok yang terlebih dahulu menempati posisi Ketua Umum partai yang sama  sontak bereaksi. Tarung derajat antara dua putera terbaik yang pernah sama-sama berada di rumah besar TNI itu mewartakan aneka judul pemberitaan.  Kudeta Jenderal atas pencapaian langkah politik seorang Mayor.

Akhir Maret 2021, belum genap satu bulan Sang jenderal harus menelan pil pahit keputusan hukum atas perebutan tampuk kepemimpinan politik.  Meski masih menduduki posisi strategis sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) era Jokowi- Ma'ruf Amin, nyatanya Moeldoko cukup intens membangun jalur pacu politik yang sebelumnya terlihat stagnan. 

Pak Moel pernah menjadi bagian dari partai Hanura, namun tidak serta merta melambungkan namanya di kancah perang kembang putera terbaik bangsa. Lantas, jika menang benar ingin menggunakan hak politiknya sebagai warga sipil, kenapa harus partai Demokrat yang ia pilih? kenapa bukan Partai Hanura yang sebelumnya telah menyematkan namanya menjadi salah satu wakil ketua Dewan Pembina?. Kenapa ia justru mengundurkan diri dari Hanura pada tahun 2018?

Bak "Tumbu ketemu Tutup", istilah jawa yang menggambarkan bertemunya dua pihak yang memiliki niat dan tujuan yang sama. Satu pihak sebagain internal (sebut saja orang lama Demokrat) yang kurang puas dengan regenerasi tongkat estafet kepemimpinan dari SBY ke AHY.  Sisi lain, "the Godfather" yang konon ingin menggunakan hak perpolitik yang seolah ingin mengubah langgam dan posisi Demokrat ke depan.

Ingin menjadi penjaga Demokrasi, begitu salah satu kalimat yang tertulis dalam postingan caption instagram @dr_moeldoko dengan fotonya mengenakan Atribut dan berdiri di podium mimbar demokrat.

Pak Moel yang sedang dirundung ambisi politik? atau justru tanpa sadar Pak Moel dijadikan bemper dari ketidakpuasan sebagian mantan petinggi Demokrat atas kepemimpinan AHY yang dinilai belum cukup makan asam garam?

Beruntung, kisruh internal partai politik yang berhasil mengantarkan SBY menjadi Presiden pada tahun 2004 lekas terselesaikan secara hukum. Keputusan Kemenkumham menyiratkan netralitas pemerintah terhadap sepak terjak Moeldoko. Mungkin benar, bahwa menyoal "kudeta" itu bukan menjadi skenario terlebih "hidden agenda" bersama antara Moeldoko dengan stakeholder pemerintah yang kini masih mendaulatnya sebagai KSP. Jelas ini murni kompromi pribadi pak Moel dengan sebagian kader demokrat yang mengalami degradasi loyalitas terhadap SBY, terlebih AHY.

Sejak diumumkan oleh Yasona Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM bahwa Pemerintah menolak mengakui pengesahan hasil KLB Deli Serdag yang menempatkan Moeldoko sebagai Ketua, belum ditemukan jejak digital tanggapan/respon Moeldoko. Hanya AHY dan jajaran partai demokrat yang masih loyal saja yang terus berucap syukur atas kabar baik itu.

Tepat pada hari diumumkannya penolakan permohoan pengesahan kepengurusan partai demokrat versi Jenderal Purn. Moeldoko ditolak itu, tampak sang Jenderal mengunggah foto bahwa dirinya tengah melakukan vaksinasi tahap II melalui akun instagram pribadinya. Saya sendiri berharap, Sang Jenderal yang jalur politiknya harus terhenti akibat lampu merah konstitusi lekas memberi respon. Jelas bukan respon negatif, melainkan respon positif dan mengakui sebentuk kekhilafan politik yang telah dilakoninya. 

Bagi seorang Jenderal, Taat azaz dan menjunjung tinggi konstitusi hukum yang sudah dibuat oleh kolega-nya dalam pemerintahan Jokowi adalah hal mutlak. Bukan saja menyangkut kewibawaan semata, melainkan sikap Jantan seorang patriot! Ucap selamat kepada Mayor AHY dari Jenderal Moeldoko bukankah sesuatu yang nista sifatnya. Justru disitulah akan terlihat ke-legowoan Moeldoko. Mengutamakan semangat persatuan dan kesatuan politik jauh diatas kepentingan pribadi atau sekelompok golongan. Menepis isu dan Rumors terbentukna Faksi Purna Militer dan menggantinya menjadi semangat islah-Saling memaafkan!

Pun bagi AHY. Jalan panjang kedepan kian menantang!! Bukan semata target politik jangka pendek 2024, melainkan membenahi mental dan perilaku politik yang nir-kebangsaan, di kalangan partai Demokrat pada khususnya. Sebagai awam satu hal yang selama ini saya cermati dari AHY dan loyalisnya, terlalu sering melakukan konferensi Pers. Bukankah sesuatu yang sering/over itu menimbulkan efek yang kurang baik?. Dengan propormanya yang sekarang, AHY tidak harus mengejar target menjadi media darling semata. Cukup mendekatkan diri dengan masyarakat kecil yang menjadi basis massa Demokrat saja. 

Jangan pula terburu-buru berambisi menjadi RI 1 atau pun 2 pada 2024 mendatang. Toh sekelas Cak Imin, Airlangga Hartanto pun rela menjadi menteri jika memang secara matematika politik itu menjadi sebentuk investasi politik jangka panjang.

Tak kalah penting dari akhir kisruh kudeta ini adalah sejauh mana masing-masing pihak (khususnya dari kelompok AHY) bisa memberi maaf pada mereka yang mencoba membelah diri.

Salam.

***