Pilih kesehatan apa ekonomi. Melarang orang ke kampung halaman atau membolehkan. KRL beroperasi atau distop.Itu kayak soal ulangan kelas 5 SD Siti Manggopoh.
Kalau Rizieq gak ada kerjaan di Saudi. Mau bayar kos bingung. Pendapatan gak ada. Ketimbang keleleran di sana ia memilih kembali ke Jakarta. Itu namanya pulang kampung. Rumahnya memang di Petamburan. Bukan di Mekkah.
Ahmad Dhani emaknya di Surabaya. Saat lebaran ia mau sungkeman sama emaknya. Ngajak Mulan Jameela dan anaknya ke Surabaya. Itu namanya mudik. Sebab rumah Ahmad Dhani di Jakarta. Ke Surabaya hanya bertamu. Semacam 'piknik' ke rumah nenek.
Sebetulnya simpel, sih. Beda mudik dan pulang kampung itu seperti kadrun membedakan operasi plastik dan digebukin. Atau seperti mereka membedakan umroh dan buron. Bagi kita yang normal dua hal itu berbeda jauh, bagi Kadrun ya, sama saja.
Tapi gue sih, gak tertarik debat semantik yang sekarang mengemuka, antara pulang kampung dan mudik. Dimulai dari wawancara Mata Najwa dengan Presiden Jokowi.
Satu hal yang gue amati dari obrolan Jokowi dengan Najwa semalam. Jokowi membolehkan kegiatan demi survival. Ia tidak melarang kegiatan demi memenuhi kebutuhan penting. Kebutuhan dasar. Yang dilarang adalah 'piknik'. Yang dilarang adalah kegiatan untuk kebutuhan sekunder atau tersier.
Sebab dalam kondisi seperti ini, semua langkah pemerintah memang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar dulu.
Lho, kan di Jakarta, orang yang tidak ber-KTP Jakarta juga dapat bantuan sembako? Siapa bilang. Data bantuan di Jakarta sampai saat ini kacau. Masa anggota DPRD dan Sultan namanya masuk list.
Jadi, ketika Najwa Shihab bertanya mana yang lebih penting, ekonomi atau kesehatan. Bagi saya pertanyaan itu retoris aja. Keduanya --ekonomi dan kesehatan-- tidak bisa dipisahkan untuk alasan survival.
Tidak ada orang lapar yang sehat. Dan orang sakit gak bisa cari makan. Pemerintah gak bisa memilih satu-satu. Harus keduanya sekaligus.
Soal pemenuhan kebutuhan dasar juga yang dijawab Jokowi, ketika ia masih mengizinkan KRL beroperasi. Padahal Gubernur Jakarta meminta operasional KRL distop. "Apa sudah siapkan transportasi murah pengganti KRL?," jawab Jokowi.
Iya, Jakarta memang PSBB. Tapi di masa PSBB ini, rakyat butuh sembako, butuh jaringan listrik yang stabil, butuh layanan kesehatan, butuh komunikasi, jalanan kudu bersih, sampah kudu diangkut, butuh polisi dan berbagai layanan publik lain.
Kita tahu, kebanyakan karyawan rendahan itu tinggalnya di pinggiran Jakarta. Kalau KRL distop, terus pegawai Supermarket mau naik apa? Teknisi PLN yang tinggal di Bogor, gimana? Pengawas BTS gimana? Petugas kebersihan gimana?
Jika supermarket tutup, pasar tradisional tutup, jaringan PLN gak ada yang ngurusin, jaringan komunikasi terbengkalai, apa gak bikin PSBB Jakarta malah kacau?
Tentu saja, operasional KRL itu dengan mengawasi secara ketat. Gak desak-desakan lagi kayak biasanya.
Jadi pemimpin itu memang cakrawalanya harus luas. Sebab kebijakan bukan kayak ujian sekolah : berbentuk pilihan ganda.
Pilih kesehatan apa ekonomi. Melarang orang ke kampung halaman atau membolehkan. KRL beroperasi atau distop.Itu kayak soal ulangan kelas 5 SD Siti Manggopoh.
Pengambilan keputusan dalam kebijakan publik gak begitu cara mikirnya. Ide dasarnya harus selaras. Disini, saya melihat, ide dasar seluruh kebijakan Jokowi adalah untuk menyelamatkan persoalan dasar masyarakat.
Jadi intinya bukan debat semantik tentang mudik atau pulang kampung. Itu, mah, kayak anak SD berdebat, lebih jago mana Superman sama Batman. Masa soal kebijakan untuk rakyat dinilai dengan cara mikir kayak gitu.
Benang merahnya adalah soal pemenuhan kebutuhan dasar. Baik ekonomi, kesehatan maupun layanan publik. Sementara untuk hal yang sifatnya tersier, nanti dulu, deh.
Sungkem masih bisa via video call. Gak usah mudik nengok orang tua di kampung pada lebaran ini, gak apa-apa. Minta saja doa sama mereka. Kamu bisa membalasnya dengan transferan. Itu jauh lebih penting.
"Aku juga mau mudik percuma, mas. Hollywood juga lagi kena Corona," celetuk Abu Kumkum.
Jauh amat Kum...
Eko Kuntadhi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews