Manuel Castells: "Network Society" dan "Always Online"

Transformasi yang berskala global dan massif itu juga berdampak pada berbagai masyarakat yang berupaya mempertahankan tradisi dan budaya lokal mereka.

Minggu, 18 Agustus 2019 | 17:23 WIB
0
850
Manuel Castells: "Network Society" dan "Always Online"
Manuel Castells (Foto: Facebook/Manuel Kaisiepo)

Ilmuwan sosial terkemuka, Prof. Manuel Castells jadi pembicara kunci dalam The 4th Asia-Pacific Research in Social Scienced and Humanities Conference ( APRiSH) di Jakarta, 13-15 Agustus 2019.
Konferensi internasional ini membahas topik "NETWORK SOCIETY: CONTINUITY & CHANGE".

Manuel Castells dikenal luas karena karya-karyanya yang berfokus pada tema revolusi digital dengan segala implikasinya, khususnya dengan terbentuknya masyarakat berjejaring (network society).

Karya utamanya berupa trilogi THE INFORMATION AGE: Economy, Society, and Culture. Terdiri dari tiga volume, buku ini hasil risetnya 15 tahun di Eropa, Amerika Latin, dan Asia tentang transformasi sosial, ekonomi, dan politik berkaitan dengan revolusi teknologi informasi.

Buku pertama, THE RISE OF THE NETWORK SOCIETY (1996). Buku kedua, THE POWER OF IDENTITY (1997). Buku ketiga, END OF MILLENIUM (1998).

Dua bukunya yang termasuk baru adalah AFTERMATH: THE CULTURES OF THE ECONOMICS (2012); dan buku NETWORKS OF OUTRAGE AND HOPE: Social Movements in the Internet Age (2012).

Tentu selain Castells, ada banyak kajian serupa dan lebih baru atas tema serupa. Misalnya karya-karya dari Sherry Turkle, 'LIFE ON THE SCREEN' (1995); 'THE SECOND SELF' (2005); dan 'ALONE TOGETHER' (2010). Juga ada karya Geert Lovink, 'NETWORK WITHOUT A CAUS: A Critique of Social Media' (2011).

Tetapi barangkali kajian Castells yang paling komprehensif, dengan memberikan analisa berdasarkan data-data empiris tentang realita dunia dalam abad informasi. 

Transformasi akibat revolusi teknologi informasi yang menghadirkan 'network society' ini dalam bidang ekonomi misalnya, kata Castells, telah memunculkan 'ekonomi informasional' dengan 'network enterprise' dan pola kerja fleksibel ('flex-timers').

Transformasi yang berskala global dan massif itu juga berdampak pada berbagai masyarakat yang berupaya mempertahankan tradisi dan budaya lokal mereka. Tema ini disorot Castells dalam buku keduanya, THE POWER OF IDENTITY.
.
Dalam politik, transformasi ini memunculkan 'politik informasional', sekaligus juga menimbulkan krisis dalam demokrasi modern yang dikenal dan dipraktikkan selama ini.

Khusus berkaitan dengan hubungan media dan politik, Castells telah memberikan perspektif baru yang berbeda. 

Dalam perspektif lama yang dikembangkan Erving Goffman misalnya, peran media masih dipahami sebatas instrumen pemasaran politik. Pemasaran politik lewat media menciptakan panggung bagi dramaturgi politik (Goffman membedakan 'front stage' dan 'back stage', panggung depan dan panggung belakang.

Castells sebaliknya menunjukkan justru media-lah yang "menangkap" (captured) politik dan membingkainya (framing), dan menjadikan dirinya ruang publik yang baru.

Menurut Castells, dalam politik informasional ini media dari instrumen berubah menjadi ruang politik utama. Di sini bukan lagi politik menjadikan media sebagai instrumen, sebaliknya media-lah yang menangkap dan membingkai politik ("....the framing of politics by their capture in the space of the media").

Media kini bukan hanya maju secara teknologi dan kuat secara finansial, tapi juga kuat secara politik. Kekuatan media terjadi di tengah fenomena merosotnya kepercayaan publik atas partai politik, sistem politik dan keseluruhan bangunannya. Fenomena ini terjadi di banyak negara termasuk Amerika Serikat.

Transformasi sosial, ekonomi dan politik sebagai dampak revolusi teknologi informasi memang dahsyat tapi tak terhindari. 'Network Society' semakin eksis dan justru fenomena ini mempertegas salah satu sisi manusia yaitu hasrat untuk selalu berkomunikasi satu dengan yang lain.

"....hasrat untuk selalu terhubung --always online-- dalam komunitasnya...", seperti kata Sherry Turkle.

***