Tahun Politik  Tahun Vivere Pericoloso

Karena itu politik identitas atau apapun namanya, adalah sah! Setiap peserta kontestasi, individu maupun partai, akan berusaha sekuat-kuatnya untuk to get out the vote.

Sabtu, 10 Agustus 2019 | 09:14 WIB
0
423
Tahun Politik  Tahun Vivere Pericoloso
Buku Taviv (Foto: Facebook/Manuel Kaisiepo)

TAVIP!

Itulah yang diucapkan Soekarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964, setahun jelang prahara 30 September 1965. 

Soekarno mengingatkan, Indonesia tengah berada dalam Tahun "Vivere pericoloso"! (disingkat TAVIP).
Konon istilah bahasa Italia itu pertamakali diucapkan Benito Mussolini: "vivere pericolosamente", sebagai slogan politik kaum fasis. 

Istilah itu mengacu pada pengertian "situasi penuh bahaya", atau setidaknya "nyrempet-nyrempet bahaya".

Soekarno menyebut tahun vivere pericoloso karena dia mensinyalir adanya ancaman serius dari apa yang disebutnya "gerakan-gerakan subversif, kontra-revolusioner, antek nekolim, dan kaum hipokrit"! Situasi saat itu memang ditandai oleh friksi dan polarisasi politik yang sangat tajam antar berbagai kelompok politik, baik karena perbedaan ideologis maupun karena kompetisi kekuasaan. 

Manuver dan kontramanuver politik berlangsung sengit dalam skala yang masif.

Polarisasi politik tidak hanya berlangsung sengit pada tingkat elite di Jakarta, tapi juga sampai pada tingkat akar rumput di pedesaan. Maka rakyat pun terbelah, terkotak-kotak dalam pertarungan politik yang tak sepenuhnya dipahami mereka.

Dan semua itu --polarisasi dan konflik- mencapai klimaksnya pada peristiwa 30 September 1965.

TAPOL

Memasuki awal 2018 yang disebut sebagai "Tahun Politik" (boleh disingkat "TAPOL" ?!) ada kekhawatiran situasi polarisasi politik seperti pada era "TAVIP" 1964/5 kembali terulang.

Memang panggungnya beda, setting politiknya juga berbeda. Namun kekhawatiran itu tetap dirasakan sebagian kalangan, sekurang-kurangnya dengan mengacu pada pilkada Jakarta tahun lalu. 

Pilkada Jakarta menunjukkan betapa mudahnya membelah masyarakat ke dalam polarisasi politik berbasis politik identitas, betapa gampang menyulut kebencian dan konflik berdasarkan isu-isu primordial.

Dan pilkada Jakarta adalah barometer !

Tahun 2018 memang TAPOL, Tahun Politik! 

Sebab menurut pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada tahun inilah untuk pertama kali akan berlangsung pilkada serentak.

Pilkada serentak ini akan berlangsung di 171 daerah, mencakup 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Pendaftaran calon kepala daerah dimulai 8 Januari, kampanye awal akan dimulai 15 Februari 2018.
Puncak dari keseluruhan drama politik ini tentu adalah pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019!

Pemilihan umum --pileg, pilkada, pilpres, etc-- adalah pemilihan politik, kontestasi politik ! Maka yang berlaku adalah logika politik lengkap dengan idiom-idiom, simbol-simbol, dan atribut-atribut politik lainnya.

Karena itu politik identitas atau apapun namanya, adalah sah! Setiap peserta kontestasi, individu maupun partai, akan berusaha sekuat-kuatnya untuk to get out the vote.

Di sini tetap berlaku ungkapan lama: "knowing where the country should go is one thing, but getting people to follow is quite another!".

Apakah tahun 2018 sebagai TAPOL --Tahun Politik-- akan mirip dengan situasi tahun 1964/5 yang oleh Soekarno disebut TAVIP --Tahun Vivere Pericoloso?

Sebelum lupa, bagi yang malas baca buku sejarah tapi gemar baca novel dan nonton film, cobalah baca novel Christopher Koch, "The Year of Living Dangerously" (1978). 

Novel ini juga sudah di-film-kan (1982) dengan judul yang sama dengan bintang Mel Gibson dan Linda Hunt.

Novel yang kemudian difilmkan itu berkisah tentang situasi politik di Indonesia pada era yang oleh Soekarno disebut "Tahun Vivere Pericoloso" , istilah lain untuk "the year of living dangerously"!

***