Antara Kasus Romy dan Ancaman Bahar Smith terhadap Jokowi

Minggu, 17 Maret 2019 | 19:05 WIB
0
569
Antara Kasus Romy dan Ancaman Bahar Smith terhadap Jokowi
Bahar Smith (Foto: Suara.com)

Nyaris satu bulan menjelang digelarnya pemungutan suara di pilpres dan pileg 2019, 15 Maret 2019 lalu Indonesia kembali digemparkan dengan tertangkapnya seorang ketua umum partai oleh KPK. Romahurmuziy alias Romy, Ketua Umum Partai PPP yang kini berada dalam koalisi Jokowi dan Ma'ruf Amin terkena Operasi Tangkap Tangan di Kanwil Kemenag Surabaya perihal kasus suap untuk lelang jabatan di Kemenag. 

Sehari setelah ditangkap dan melalui proses pemeriksaan KPK, Romi pun resmi jadi tersangka. Hal ini sedikit mengingatkan terhadap peristiwa yang terjadi persis lima tahun yang lalu ketika ketua umum partai yang sama sekaligus seorang menteri agama, tertangkap oleh KPK karena kasus korupsi. 

Kecolongan, mungkin itu yang didalam benak Jokowi bersama tim kampanyenya. Jokowi kecolongan dalam hal mengingatkan selalu dan mengingatkan jajarannya untuk tetap bersih dari korupsi dan menghindari gratifikasi, suap dan penggelapan uang sebisanya. 

Apa lacur, kini tertangkapnya Romi menjadi catatan pelaku kejahatan yang ada di kubu politik Jokowi. Padahal, jargon 'Orang Baik Pilih Orang Baik' sudah dibentangkan, ternyata ada orang jahat pulak di dalamnya. 

Penangkapan Romi ini di mata saya punya sisi baik juga. Ini membuktikan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negara kita tidak main-main. Jokowi sang capres yang kebetulan sedang menjabat presiden tidak punya kuasa mencampuri segala proses hukum yang sedang berlangsung. 

Saya teringat, sehari sebelum penangkapan Romi, pasca sidangnya yang berisi permintaan Jaksa untuk menolak eksepsi dan menerima dakwaan terhadapnya atas kasus penganiayaan terhadap anak, Bahar Smith menyampaikan ancaman kepada Jokowi. 

Bahar yang saat ini masih ditahan di Rutan Polda Jabar, di ruang sidang itu mengatakan ada ketidakadilan hukum dari Jokowi dan mengancam Jokowi.

"Sampaikan ke Jokowi, tunggu saya keluar dan rasakan pedasnya lidah saya!" Ini jelas ancaman yang salah sasaran. Kasus hukum yang menjeratnya adalah akibat perbuatan kriminal yang dilakukannya sendiri. Menganiaya dua anak remaja atas alasan apapun tidak dibenarkan. 

Bahkan, akibat kesalahannya Bahar dijerat pasal berlapis yaitu yaitu Pasal 333 ayat 1 dan/atau Pasal 170 ayat 2 dan/atau Pasal 351 ayat 1 juncto Pasal 55 KUHP. Jaksa juga mendakwa Habib Bahar dengan Pasal 80 ayat (2) jo Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bagaimana pun, ini bukan fitnah atau jebakan. 

Dan, dari segi hukum pun presiden tidak punya kewenangan untuk campur tangan dalam kasus apapun. Jangankan kasus kriminal, dalam kasus pelanggaran hukum dan korupsi di seputar pejabat di lingkungannya saja Jokowi tak bisa ikut campur apalagi ini.

Pada Agustus 2018 menteri sosial di kabinet Jokowi sekaligus politisi Golkar, Idrus Marham, juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus suap pada proyek PLTU Riau-1. Setelah jadi tersangka, Idrus Marham pun menghadap presiden Jokowi untuk mengundurkan diri. 

Nyaris di tahun sebelumnya, sesama politisi Golkar sekaligus ketua DPR Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang sudah dilakukannya sejak tahun 2011. Penetapan tersangka sempat dicabut kembali melalui proses praperadilan dan kembali ditetapkan lagi pada 10 November 2017. 

Proses yang alot dan penuh drama pun terjadi sepanjang penetapan tersangka kedua kalinya hingga penjemputan paksa Setya Novanto di rumah sakit Puri Permata Hijau karena aksi pura-pura kecelakaan yang dilakukannya yang kemudian menjeratnya lagi dalam kasus hukum lain. 

Setya Novanto sangat licin, bertahun-tahun ia melakukan korupsi tapi masih asik melenggang di dunia politik bahkan memimpin sebuah lembaga yang notabene adalah wakil rakyat. Di tahun 2014 Setya Novanto bersama Golkar bergabung dalam koalisi Prabowo-Hatta. 

Setelah koalisinya kalah dan Jokowi dilantik, Setya Novanto pun perlahan diri merapat ke kubu Jokowi. Ternyata, upaya mendekat ke penguasa tidak menjadikan kejahatan korupsinya terkubur dan dirinya aman dari kejaran hukum. Pada bulan April 2018 Setya Novanto pun dijatuhi vonis 15 tahun penjara atas perbuatannya.

Romi, Idrus Marham dan Setya Novanto, mereka yang pernah berseberangan kubu politik dengan Jokowi di tahun 2014 akhirnya merapat ke Jokowi dan terciduk atas kasusnya masing-masing. Jokowi tak punya kuasa melindungi pelaku korupsi. Bukan hanya tak punya kuasa, orang sebaik Jokowi tentu tak akan menyetujui korupsi atas nama apapun. 

Anaknya saja gagal seleksi CPNS tak dia bantu apapun tak mungkin pula dia melenggangkan orang lain menyalahgunakan jabatannya untuk menerima suap atau menyalahgunakan dana. 

Dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 disebutkan presiden memegang kekuasaaan pemerintahan tetapi kekuasaan pemerintahan itu hanya dibatasi pada ruang lingkup urusan-urusan pemerintahan. Dalam UUD 1945 juga disebutkan bahwa presiden hanya diberikan hak prerogatif dalam memberikan grasi. 

Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif presiden untuk memberikan ampunan. Akan tetapi presiden sama sekali tidak mempunyai kewenangan ikut campur tangan dalam proses penegakan hukum.

Saat ini, seharusnya Bahar Smith atau pihak manapun bisa melihat bagaimana kekuasaan eksekutif dan terpisah dari wilayah yudikatif. Janganlah setiap kasus kriminal atau korupsi dikaitkan dengan politik apalagi menyalahkan seorang Jokowi hanya karena persaingan. 

Yang paling memaksakan diri adalah ketika Andi Arief tertangkap ketika menggunakan narkotika Sabu-sabu dan politisi Gerindra menyalahkan Jokowi juga atas hal ini. Justru, penangkapan pemakai narkoba dan pengedar narkoba adalah bukti upaya penegakan hukum sedang berjalan. Iya toh?

Saatnya politik bermain di area akal sehat dan hati bersih. Ayo dukung para penegak hukum memberantas korupsi, kriminal dan narkoba.

***