Akrobat Politik “Grusa-Grusu” Presiden Jokowi

Rabu, 23 Januari 2019 | 19:41 WIB
0
480
Akrobat Politik “Grusa-Grusu” Presiden Jokowi
Abu Bakar Baasyir (Foto: Kompas.com)

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menegaskan bahwa pemerintah dalam hal ini presiden bersama menteri dan pejabat terkait perlu melakukan kajian mendalam soal rencana pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.

“Jadi Presiden tidak boleh grasa-grusu serta merta memutuskan, tapi perlu pertimbangan aspek-aspek lainnya,” ujar Wiranto di kantornya, seperti dilansir Tempo.co, Senin malam, 21 Januari 2019.

Wiranto menuturkan keluarga Ba’asyir sebetulnya sudah mengajukan pembebasan bersyarat sejak 2017 karena pertimbangan usia yang sudah lanjut dan kesehatan yang semakin memburuk.

“Atas dasar pertimbangan kemanusiaan, Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun tentunya masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya, seperti ideologi, Pancasila, dan aspek hukum lainnya,” ujar Wiranto.

Oleh karena itu, ujar Wiranto, Presiden Joko Widodo saat ini memerintahkan kepada pejabat terkait untuk melakukan kajian lebih mendalam dan komprehensif guna merespon permintaan tersebut.

Hal itu diungkapkan Wiranto usai Presiden Jokowi memanggil para menteri bidang hukum ke Istana Bogor, Senin ini. Sebelumnya, penasihat hukum paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan Presiden Jokowi ingin Ba’asyir segera bebas.

Hal ini diucapkan Yusril saat berkunjung sekaligus menjadi khatib dan imam sholat Jum’at di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur tempat Ba’asyir ditahan, Jum’at (18/1/2019). Dan, kabar rencana bebas bersyarat Ustadz Ba’asyir menjadi sorotan.

Pasalnya, ia enggan membuat pernyataan kesetiaan pada NKRI seperti yang diatur Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Setelah konferensi pers yang dilaksanakan selepas azan maghrib itu, Wiranto tidak ingin ada spekulasi-spekulasi lain yang berkembang tentang Ustadz Ba’asyir. Wiranto tidak menjawab pertanyaan wartawan tentang jadi atau tidaknya Ustadz Ba’asyir dibebaskan dengan jelas.

“Inilah penjelasan resmi setelah saya melakukan kajian, melakukan rapat koordinasi, bersama seluruh pejabat terkait,” jelasnya, seperti dikutip Republika.co.id, Senin (21 Jan 2019 19:49 WIB).

Sebelumnya, Presiden menyatakan, pembebasan Ustadz Ba’asyir dilakukan demi dan atas dasar pertimbangan alasan kemanusiaan. “Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan. Artinya beliau kan sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan,” katanya.

Hal tersebut diungkapkan Presiden setelah meninjau Rusun Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah di Desa Nglampangsari, Cilawu, Garut, Jabar, Jumat (18/1/2019). Ia juga menugaskan Yusril untuk mengupayakan pembebasan Ba’asyir.

Presiden Jokowi membenarkan bahwa kondisi kesehatan Ba’asyir yang menurun menjadi pertimbangan utama. Meski begitu, ia menegaskan ada banyak pertimbangan lain yang diperhatikan. “Iya, termasuk kondisi kesehatan masuk dalam pertimbangan itu,” ujarnya.

Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta, yang sekaligus kuasa hukum Ustadz Ba’asyir menegaskan, kliennya tersebut menolak menandatangani dokumen pembebasan bersyarat yang diatur dalam PermenkumHAM.

Namun kemudian, Presiden Jokowi bisa mengesampingkan peraturan menteri itu, sehingga Ba’asyir bisa bebas tanpa syarat. Mahendradatta menyatakan, dirinya dan TPM pun sedang menyusun mekanisme pembebasan tanpa syarat untuk Ba’asyir.

Di tengah itu, kehebohan pun muncul saat Yusril ke Lapas Gunung Sindur, Bogor pada Jumat (18/1/2019), dan mengadakan konferensi pers. Mahendradatta mengaku, sebelumnya tidak mengetahui tentang langkah Yusril itu.

Yang terjadi, “Yusril tiba-tiba datang dan bahasa kasarnya, ABB bebas tanpa syarat. Kami hanya mementingkan ustadz, tidak siapa-siapa,” ujarnya. Karena saat ini merupakan tahun politik, langkah Yusril itu kemudian menjadi polemik.

Sebagai kuasa hukum Ba’asyir, ia menilai, pembebasan kliennya murni proses hukum jangan dicampur dengan politik. “Intinya kami tidak menyuruh Yusril ke lapas dan sebagainya, kami hanya mendukung pembebasan ustadz,” ujarnya.

Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menuding pembebasan tanpa syarat Ustadz Ba’asyir dipolitisasi oleh TKN paslon 01 Jokowi – Ma’ruf. Ia mengatakan itu karena waktu pembebasan Ba’asyir sengaja diputuskan menjelang pemilu.

Padahal narapidana kasus terorisme tersebut sesungguhnya sudah berhak bebas bersyarat pada Desember 2018. Ditambah lagi media massa pendukung Jokowi mengekspos habis-habisan pembebasan itu demi meningkatkan elektabilitas Jokowi.

“Tim Jokowi dan media pendukugnya mem-blow up (pembebasan Ustadz Ba’asyir) untuk mengumpulkan elektabilitas Jokowi. Padahal ini proses hukum yang normal saja (memang menjadi hak Ba’asyir),” katanya dalam perbincangan dengan tvOne, Senin (21/1/2019).

Dia menceritakan, pada 2016 Komnas HAM sebenarnya berinisiatif memohon pembebasan Ba’asyir kepada Presiden. Sebab, berdasarkan hasil penyelidikan internal Komisi, ditemukan fakta bahwa Ba’asyir seolah diisolasi dari lingkungan di Lapas Nusakambangan, Cilacap.

Semisal, ia dilarang sholat Jum’at berjemaah di masjid kompleks Lapas, melainkan di dalam sel tahanannya. Selain itu, Komisi juga memprihatinkan kondisi fisiknya yang sudah renta dan sakit-sakitan.

Karena itulah Ustadz Ba’asyir kemudian dipindahkan dari Nusakambangan ke Lapas Gunung Sindur, Bogor, agar sang pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia itu dapat dirawat lebih baik di sana.
 
Pada 2017, kata Natalius, Komisi akhirnya resmi berkirim surat kepada Presiden agar Kepala Negara segera mengakhiri masa hukumannya demi kemanusiaan. Lalu pada Desember 2018, Ustadz Ba’asyir otomatis mendapatkan hak pembebasan bersyarat.

Tapi, kala itu Ustadz Ba’asyir menolak syarat-syarat yang diajukan pemerintah, diantaranya mengakui kesetiaan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Jadi, pembebasan ini sebetulnya normal saja, tetapi kemudian dipolitisasi tim (pemenangan) Jokowi, dan akhirnya Jokowi tersandera,” kata Natalius. Anggota Tim Pemenangan Jokowi menolak tudingan Natalius tersebut.

Menurut Razman Arif, juru bicara TKN Jokowi – Ma’ruf, pembebasan itu tidak berhubungan dengan politik praktis, terutama pilpres. Kalau banyak media massa yang memberitakannya, itu sebenarnya wajar saja karena Ustadz Ba’asyir adalah tokoh nasional dan figur publik.

“Sama sekali tidak benar kalau disebut dikait-kaitkan dengan pilpres. Ba’asyir sebetulnya sudah mendapatkan hak bebas bersyarat, tetapi waktu itu terkendala,” kata Razman dalam forum yang sama dengan Natalius, seperti dilansir VIVA.co.id,  Senin (21/1/2019).

Akrobat Politik

Semua langkah Yusril Izha Mahendra sebagai penasehat hukum Jokowi maupun TKN paslon 01 Jokowi – Ma’ruf terkait “pembebasan” Ustadz Ba’asyir itu tak lepas dari kebijakan politik Jokowi sebagai Presiden. 

Pembebasan pengasuh Ponpes Ngruki di Solo yang divonis 15 tahun sebagai Terpidana Kasus Terorisme berusia 81 tahun itu telah menjalani masa hukuman 9 tahun 1 bulan. Seharusnya ia bisa menjalani masa bebas bersyarat sejak 23 Desember 2018.

Tapi, tampaknya keluarga Ustadz Ba’asyir belum pernah mengajukan hal itu. Lalu, datanglah Yusril menyampaikan pada Jokowi untuk memberikan haknya itu. Diduga, Ustadz Ba’asyir harus menandatangani surat agar mengakui Pancasila dan UUD 1945.

Penolakan pengakuan Pancasila dan UUD 1945 itulah yang selalu ditolak Ustadz Ba’asyir sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang membuatnya beberapa kali ditahan dan dipenjara.

Tampaknya Yusril bertindak atas nama pribadi, bukan Presiden atau TKN paslon Jokowi – Ma’ruf. Belakangan dinyatakan jubir TKN bahwa pembebasan Ustadz Ba’asyir tak terkait politik. Disebutkan bahwa Yusril tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan mereka.

Jadi pertanyaannya, adakah motif kepentingan politik atas pembebasan Ustadz Ba’asyir itu? Selama tindakan Yusril bersifat pribadi yang langsung menemui Jokowi sebagai Kepala Negara, tentu Yusril tak perlu berkoordinasi dengan TKN 01 terlebih dahulu.

Jika kemudian TKN paslon Jokowi – Ma’ruf membantah upaya pembebasan Ustadz Ba’asyir sebagai kepentingan politik, maka mengapa ia memprotes langkah Yusril itu? Padahal TKN 01 tak punya hak untuk memprotes langkah Yusril tersebut.

Dari sini jelas, dengan pernyataan TKN seperti itu, ada motif kepentingan politik dalam upaya pembebasan Ustadz Ba’asyir. Kemudian, dijadikan euforia oleh para pendukung paslon 01 sebagai alasan kemanusiaan untuk menjunjung Jokowi.

Yang paling tampak di sini adalah tidak adanya koordinasi dengan menteri terkait dalam Kabinet Kerja Jokowi. Rencana “pembebasan” Ustadz Ba’asyir “diprotes” Wiranto karena akan dilakukan “tanpa syarat” apapun dengan alasan “kemanusiaan”.

Akrobat politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan TKN Jokowi – Ma’ruf ini bakal berdampak buruk pada kinerja pemerintahannya selama ini. Rakyat tentunya akan melihat bagaimana seorang profesor sekelas Yusril diperlakukan seperti itu.

Capres petahana dan TKN pimpinan Erick Thohir ini rupanya lupa atas perlakuan terhadap Prof. Mahfud MD yang “dibohongi” beberapa saat sebelum pengumuman penetapan calon wakil presiden untuk dipasangkan dengan capres Jokowi, ta’ iye?

***