Polemik “Tampang Boyolali” dan Buruknya Komunikasi Politik Prabowo

Rabu, 7 November 2018 | 18:52 WIB
0
648
Polemik “Tampang Boyolali” dan Buruknya Komunikasi Politik Prabowo
Dahnil dan Prabowo (Foto: Youtube)

Penyataan Prabowo mengenai “Tampang Boyolali” tak hanya menuai protes banyak warga Boyolali karena dianggap melecehkan orang Boyolali, namun juga menjadi polemik yang serius terhadap eksistensi politik Prabowo dan posisi nya pada Pilpres mendatang.

Satu hal lagi, ketika peristiwa ‘Tampang Boyolali’ mulai menulai protes orang Boyolali di luar secara meluas, pihak Prabowo tidak segera minta maaf secar resmi dan terbuka. Mereka beranggapan tidak bermaksud melecehkan orang Boyolali.

Soal penyebutan “Tampang Boyolali’ hanyalah sebuah canda. Sedangkan konteks utama pidato Prabowo adalah hal serius tentang kondisi negara, kebangsaan, dan ajakan pembangunan bersama Prabowo-Sandi bila kelak jadi Presiden.

Padahal kalau saja pihak Prabowo segera minta maaf secara resmi dan terbuka, mungkin polemik “Tampang Boyolali” tidak membesar. Kini yang terjadi adalah saling-silang pihak Prabowo dan elemen warga Boyolali berujung pada saling tuntut. 

Dalam polemik “Tampang Boyolali” memperlihatkan sebuah gaya komunikasi politik Prabowo yang buruk sebagai calon pemimpin bangsa. ada dua hal utama yang bisa dilihat, yakni :

Pertama, Prabowo menggunakan gaya canda ‘urakan’ biasa dalam kelompok kecil ala sesama teman lama yang sudah lama kenal—umumnya candaan kelompok terbiasa saling “ledek atau ngenyek”. Padahal yang dihadapinya adalah orang banyak dengan beragam latar belakang. Ini kekeliruan dalam menempatkan diri dan memahami situasi-kondisi.

Prabowo tidak bisa memilah cara bercanda antar teman dekat dengan publik luas yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang beragam, serta tingkatan selera humor yang tidak sama dengan “kelompok kecil pertemanan”. Dengan selipan canda tertentu yang bersifat “melecehkan” tentu saja berakibat pada protes publik. Mereka merasa dihina, direndahkan oleh “orang kaya dan berkuasa”.

Prabowo mungkin lupa, publik melihat dia sebagai orang yang diharapkan memiliki keseriusan pada nasib mereka, bukan “kawan senasib yang bisa gojek-gojekan saling nyenyek di warung kopi”.

Prabowo sendiri tentu tidak terima bila dalam pertemuan itu dia di “enyek” oleh publik dalam forum. Bandingkan dengan cara dia marah (menegur) orang yang berebutan buku pada pertemuan dengan warga di Ponorogo, Kamis (1/11/2018).

Kedua, Prabowo tampil di depan publik tidak dengan data-data, baik itu ekonomi negara dikaitkan dengan potensi Boyolali yang sebenarnya hebat dan dapat dijadikan bagian isi pidatonya untuk menggugah semangat warga Boyolali. Ini menandakan sebagai calon presiden, Prabowo tidak siap berhadapan dengan warganya sendiri. Baik itu kesiapan pemahaman terhadap kondisi sosial budaya warga Boyolali, maupun kesiapan materi pesan politik yang kongkrit. 

Pada pidato itu, fokus Prabowo lebih kepada diri sendirinya sebagai “prajurit pejuang yang prihatin dengan kondisi negara saat ini”. Ini sebuah trik komunikasi politik yang klise, hanya berisi klaim-klaim diri yang subyektif. Meminta orang lain melihat dirinya sebagai pejuang. Tidak ada kebaruan (novelty), selain ingin menampilkan dirinya sendiri. Tidak ada sajian pemikiran cemerlang berdasarkan data potensi wilayah Boyolali, serta  langkah kongkrit yang akan ditempuh ke depannya.

Pada kemunculan riak awal polemik “Tampang Boyolali”, Prabowo tidak memiliki kepekaan pada sensifitas rakyak--hati warga boyolali yang terluka, apalagi hal itu merupakan kesalahan yang dilakukan tidak disengaja oleh Prabowo sendiri. Kalau dia peka, maka dia akan segera melakukan permintaan maaf terbuka dan resmi yang terucap dari mulutnya sendiri, bukan lewat orang lain, baik itu tim suksesnya atau siapa pun.

Tidak peka bisa juga dilihat dari “kengototan” para tim Prabowo bahwa mereka tidak salah, tidak bermaksud melecehkan, sehingga muncul saling tuntut antar elemen warga Boyolali dengan pihak tim Prabowo.  Dia dan timnya tidak berusaha menyelami konteks suasana batin warga Boyolali dengan pernyataan “Tampang Boyolali” itu yang diterima warga Boyolali bukan sebagai candaan, melainkan pelecehan. Dengan begitu, Prabowo dan tim “ngotot” agar warga Boyolali lah yang (harus) memahami Prabowo.

Menjadi pemimpin memang tidak gampang, terlebih memimpin negeri ini dengan beraneka latarbekang budaya, adat, kebiasaan, tingkatan ekonomi dan lain sebagainya. Setiap tempat punya selera humior yang berbeda. Punya potensi wilayah yang berbeda. Dari penguasaan semua hal tersebut, seorang pemimpin yang baik bisa melakukan pendekatan dan komunikasi politik yang positif. Bahan dasarnya tersedia di tempat itu lewat terlebih dahulu pengumpulan data akurat. Bukan semata klaim atas klaim, apalagi candaan “melecehkan”.

Polemik “Tampang Boyolali” bisa jadi pembelajaran berharga untuk Prabowo dan timnya. Itu kalau mereka mau. Kalau tidak, ya..aku sih rapopo...

***

Sumber referensi berita : satu, dua, tiga, empat