Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (2)”

Kamis, 25 Maret 2021 | 02:18 WIB
0
69
Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (2)”
Epidemiolog Dicky Budiman. (Foto: Detik.com)

Di Hongkong terjadi kasus Bell’s palsy (paralisa wajah) yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Komentar Anda?

Kembali melihat semacam KIPI ini seperti yang saya sampaikan. Jadi, lihat background rate dari kasus Bell's palsy ini. Kalau bicara Bell's palsy ini belum ada penyebab pastinya.

Nah, kaitan antara Bell's palsy ini dengan vaksin insidensi atau tingkat insidensi dari Bell's palsy ini antara penerima vaksin Covid-19 kurang lebih sama dengan insidensi pada populasi ini.

Artinya, tidak bisa selalu dikaitkan. Karena tidak cukup kuat. Ini sama saja antara penerima vaksin dengan tidak. Jadi, bahwa vaksin ini dikaitkan dengan Bell's palsy tidak kuat. Tidak kuat alibi maupun argumentasi ilmiahnya.

Dan, kalau bicara dormant atau virus yang dianggap mati kemudian hidup kembali, ini kalau dalam kaitan vaksin, itu tidak terjadi. Tidak pernah terjadi. Yang terjadi sebaliknya.

Pada tahun 1960-an itu yang disebut dengan culture tragedy, itu vaksin folio yang memang dilemahkan, tapi ketika itu teknologi vaksin itu masih kuno.

Masih belum memiliki standar keamanan seperti sekarang ini, sehingga vaksin-vaksin yang diberikan pada saat itu di Amerika Serikat, ternyata masih ada virus folio yang masih hidup sehingga malah menyebabkan penyakit kelumpuhan, dan bahkan, kematian.

Apa yang kemudian dilakukan saat itu?

Nah, sejak saat itu riset vaksin ini luar biasa. Bukan hanya sifatnya standar aman, tapi juga ekstraordinari keamanannya.

Kebetulan saya pernah ada di Sekretariat Organisasi Kerjasama Islam di Jeddah dan juga yang berbasis di Ankara di Komite Kesehatannya selama beberapa tahun, sehingga terkait vaksinasi folio dan lain sebagainya, saya juga terlibat. Dan, saya salah satu yang membuat perencanaannya di negara Islam.

Saat itu pun sudah kita sampaikan bahwa isu vaksin yang dilemahkan itu tidak tepat. Yang terjadi, yang disebut dengan dormant itu adalah ketika seseorang sudah terinfeksi, katakan misalnya Ebola, sekalipun setelah 4-5 tahun pun ternyata si virus ini bisa hidup lagi. Si virus ini ternyata ada yang sembunyi, dormant. Itu yang terjadi.

Bagaimana dengan vaksin Covid-19?

Saya gak tahu untuk yang Covid-19 ini, apakah ada yang sama ketika seseorang ada yang terinfeksi sebagaimana cacar. Nah, ini yang perlu penelitian lagi. Tapi kalau dari vaksin ini terus ada yang dormant, dari standar yang ada saat ini, sangat amat kecil.

Bahwa ada orang yang terpapar setelah divaksin itu bukan dari vaksinnya. Jadi, pemahaman virus dormant atau yang dianggap mati kemudian hidup lagi itu bukan dalam vaksinnya.

Tapi itu lebih misalnya orang yang disebut terinfeksi itu ada yang terinfeksi ulang atau seperti kasus Ebola itu aktif lagi, sekali lagi, kasus dalam vaksin apapun pada dekade tahun 2000-an ke sini tidak memiliki peluang seperti itu lagi karena teknologi vaksin yang sudah jauh sangat baik dibanding di era tahun 1960-an, sehingga apa yang menyebabkan orang itu terinfeksi setelah divaksin itu karena sudah tidak melakukan upaya 5T sebelum, selama, dan bahkan sesudah divaksin.

Karena vaksinasi, apapun jenis vaksinnya, itu akan membutuhkan waktu setidaknya saat pertama itu 12 hari, setelah suntikan dia mulai ada respons imunitas, antibodinya mulai dibangun, itu belum optimal. 

Apalagi kalau Sinovac itu kan perlu 2 kali suntikan. Masih harus menunggu, sampai suntikan ke-2 baru dua mingguan. Ini yang menyebabkan kenapa terjadinya orang yang terinfeksi.

Saran Anda?

Jadi, ini yang saya kira harus diluruskan. Bahwa, virus dormant itu tidak tepat diterapkan teorinya pada vaksinasi dengan menggunakan virus yang dilemahkan atau dimatikan untuk saat ini.

Teori itu bisa berlaku dulu saat teknologinya belum semaju seperti sekarang ini. Itu kan teknologi era 1960-an hingga 1970-an itu masih bisa,

Tapi saat ini teknologi itu tak tepat, sebagaimana kalau kita bicara dalam bidang kedokteran. Saya sebagai dokter, kalau jaman dulu orang dioperasi itu banyak yang meninggal, karena penanganan atau manajemen infeksinya saat itu masih buruk.

Antibiotiknya dan lain sebagainya itu belum ada. Sekarang orang dioperasi ya bisa, demam pun tidak. Karena teknologinya sudah sangat maju. Nah ini yang terjadi juga dalam perbaikan kualitas riset vaksin.

Terakhir komentar saya, sangat penting bagi Indonesia dalam hal ini pemerintah (Kemenkes), memang betul, penelitian vaksin ini belum selesai. Kan nanti akan dilihat nanti pada relawan, Apakah betul respon imunitas atau antibodi yang terbentuk itu bertahan satu tahun atau tidak, jadi diperpanjang ini.

Juga ini dilihat efektivitas nyatanya di dunia nyata seperti apa, termasuk juga masalah KIPI ini yang harus terus dipantau dan dilaporkan, ini penting sekali untuk menjelaskan secara ilmiah, sekali lagi, apa yang terjadi pada kasus-kasus, termasuk yang seperti tadi.

Ini terinfeksi, padahal sudah divaksin. Jadi, harus dikronologiskan dengan detail seperti apa. Karena hal ini penting sekali. Bukan hanya menjelaskan oh ini bukan, tapi juga memberikan penjelasan ilmiah, termasuk ini pelajaran penting untuk program vaksinasi ke depan.  

***