Supersemar 55 Tahun, Masih Menyimpan Sejumlah Permasalahan

Di dalam rangka memperingati Hari Lahirnya Supersemar ke-55 tahun, tanggal 11 Maret 2021, bagaimanapun, kita harus akui, bahwa arsip sejarah kita tidak tersimpan dengan rapi.

Kamis, 25 Februari 2021 | 08:47 WIB
0
293
Supersemar 55 Tahun, Masih Menyimpan Sejumlah Permasalahan
Presiden RI Ke-2 Soeharto

Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, adalah Presiden kedua Indon,esia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. 

Tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, semua perhatian tertuju ke credentials room di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam pidato yang singkat, Soeharto antara lain mengatakan, Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.

Itu adalah rangkaian perjalanan sebuah periode dalam sejarah Indonesa di periode yang disebut Orde Baru (Orba) yang mampu bertahan selama 32 tahun.

Sebelum Presiden Soeharto lengser, ia sempat memberikan penghargaan yang disebut Bintang Republik Indonesia Adipradana kepada ketiga jenderal pelaku Supersemar. Itu terjadi ketika Presiden Soeharto yang langsung memberikannya  pada tanggal 7 Agustus 1995.

Waktu itu, diperoleh informasi, bahwa Jenderal M. Jusuf masih dalam masa pemuilihan kesehatan dan ia langsung terbang ke Jakarta untuk  menerima anugerah tersebut. Penyerahan ini diakui putra Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat, dan untuk sang ayah, adalah istri almarhum Hajah Sriwoelan Basoeki Rachmat.

Presiden Soeharto yang langsung memberikannya  pada tanggal 7 Agustus 1995, kecuali untuk Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat. Penerimaan tersebut diwakili oleh istri almarhum, Hajah Sriwoelan Basoeki Rachmat, karena Jenderal TNI Basoeki Rachmat telah meninggal dunia pada tanggal 10 Januari 1969.

Ketika saya menulis buku : Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar terbit pertama kali bulan Agustus 1998 dan dicetak ulang pada bulan Juni 2008 (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia/Grasindo), tepat sebulan setelah buku pertama terbit, yaitu pada tanggal 30 September 1998, datanglah sebuah surat yang dikirim ke alamat kediaman saya tanpa tahu siapa pengirimnya.

Surat itu beramplop coklat seperti amplop dinas, tetapi tanpa cop dan sudah tentu tidak ada pengirimnya. Setelah saya membuka amplop surat tersebut, saya baca isinya memiliki arti penting berkaitan dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Saya sebelumnya memang pernah menulis surat _Dari Pembaca_ , tentang Supersemar. Waktu itu di majalah Gatra No.20, 4 April 1998, saya menulis tentang terlambatnya penerbitan buku saya berjudul: Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar tersebut.

Apa yang ada dalam pikiran saya setelah melihat surat yang dikirim ke alamat saya tersebut? Saya namakan surat itu, surat kaleng, karena amplopnya yang berupa amplop dinas itu tanpa disertai nama dan alamat pengirim jelas dan di bawah tanda tangan isi surat itu, tanpa ada nama sipengirim.

Ketika saya menjadi pembicara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok, pada hari Jumat, 9 Oktober 1998, dalam rangka bedah buku yang saya tulis: Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar, tentang Surat Kaleng ini saya informasikan.

Hadir dalam diskusi ini, selain saya sebagai pembicara dan penulis buku, juga hadir sebagai pembicara, yaitu mantan Sekretaris Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966, Abdul Kadir Besar. Juga hadir Prof. Dr. Jimly Associate, S.H  (Guru Besar FHUI) dan Maria Farida Indrati Suprapto (Akademisi).

Tahun 1966 hingga sekarang, Supersemar ini terus digugat. Misalnya harian Kompas,15 Juni 2015 halaman 5, bahkan kembali mempertanyakan sejumlah kontroversi sejarah Indonesia, tentang Supersemar.

Baca Juga: Gebrak Meja di Depan Ulama, “Supersemar” A la Prabowo?

Saya tertarik mengulas masalah Supersemar ini karena memang generasi muda tidak mengetahui betul perjalanan sejarah yang sangat penting tersebut. Sebaliknya bagi generasi tua, yang hidup di zaman berlangsungnya peralihan dari pemerintahan Soekarno ke era Soeharto, juga berperan sangat penting saat itu,  lebih banyak bungkam. Loyalitas mereka berdasarkan pangkat kemiliteran lebih mendominasi kesetiaan mereka terhadap sejarah yang tengah berlangsung pada waktu itu.

Kita bisa menyaksikan bersama-sama sebuah Seminar Angkatan Darat II 1966, seperti Jenderal Soeharto yang kala itu Menteri Panglima Angkatan Darat, yang juga Ketua Presidium Kabinet Ampera. Terlihat juga Letjen TNI Maraden Panggabean (Ketua Seminar), Mayjen TNI Soemitro, dan beberapa jenderal lainnya.

Saya setuju dengan kepemimpinan Soeharto,  yang bisa menstabilkan pemerintahan, namun demikian, ada juga pemutarbalikan sejarah, sehingga Supersemar asli hingga hari ini tidak kita peroleh.

Adalah hal sangat menarik, jika seandainya Supersemar asli tidak ada, hilang atau dibakar tetapi tidak dibumbui dengan Supersemar lainnya, yang kesemuanya palsu. Sejarah bangsa ini akan mengalami benih-benih kepalsuan, tidak pernah terungkap apa adanya.

Di dalam rangka memperingati Hari Lahirnya Supersemar ke-55 tahun, tanggal 11 Maret 2021, bagaimanapun, kita harus akui, bahwa arsip sejarah kita tidak tersimpan dengan rapi. Banyak dokumen sejarah kita yang hilang, termasuk tentang Supersemar yang asli.

***