Yang Pro Terorisme di Indonesia

Tidak sangat berbahaya. Karena yang terjadi sesungguhnya hanya masturbasi (komunikasi) politik. Di mana follower senang, konten kreator mendapatkan nafkahnya.

Sabtu, 3 April 2021 | 09:34 WIB
0
118
Yang Pro Terorisme di Indonesia
Ilustrasi teroris (Foto: Liputan6.com)

Apakah ada yang pro terorisme di Indonesia? Ada. Apakah orang awam, tak perlu sekolah intel, bisa mengetahuinya? Gampang. Apalagi di jaman medsos sekarang, di mana jejak digital kita juga masih sangat muda, setidaknya dalam 10 tahunan ini saja.

Saya berani tuliskan, bahwa mereka yang anti Jokowi, yang tak menyukai pemerintahan saat ini, yang memusuhi dan mengaku oposan Jokowi, punya kecenderungan dan irisan yang lebih pro pada aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Apakah itu artinya mereka menjadi bagiannya?

Belum tentu. Karena dalam hal ini, lebih berlaku apa yang disebut irisan kepentingan; Ketika musuh kita sama, maka kita adalah teman. Yang penting, aliran salawi (semua salah Jokowi). Belum tentu mereka satu ideologi, atau bahkan satu tujuan. Ketika musuh mereka hilang, bisa jadi mereka sendiri kemudian akan bermusuhan, karena justeru agenda mereka sama; Menggantikan kekuasaan.

Yang kalah dalam konflik kepentingan tahap ke-2, akan menapaki jalan berikut. Mencari rekanan baru, untuk bersama-sama membangun konspirasi melawan si pemenang. Demikian seterusnya, sampai kemenangan didapatkan, untuk kelak ia menguasainya.

Jika tidak? Ada yang rela menjadi bagiannya. Entah sebagai menteri pertahanan, menteri sosial, atau pariwisata dan ekonomi kreatif. Umumnya seperti itu, baik secara terbuka atau tertutup.

Kalau kita melihat aneka platform medsos milik Reffly Harun, Rocky Gerung, Rizal Ramli, Said Didu, Arie Untung, HNW, Tengkuzul, akan bisa kita lihat siapa saja yang aktif berkomentar di situ. Apa saja komentarnya. Siapa yang menjadi objek sindiran, bullying, dan senyampang itu siapa nama-nama yang mereka dukung; Biasanya ada nama Rizieq Shihab, Anies Baswedan, Soeharto (padal sudah mati), sesekali Gatot Nurmantyo. Herannya, nama Amien Rais dan Din Syamduddin tidak pula populer di sini.

Persoalan kepolitikan kita hari ini, masih saja sama dalam dekade terakhir ini; Pro dan anti Jokowi. Jokowi memang menjadi persoalan, terutama bagi kelas menengah atas kita, yang belum nyadar untuk move-on, bahwa tatanan baru dunia sudah dimulai. Di mana tatanan itu bisa sangat situasional, sebagaimana AS bisa memenangkan Barrack Obama, namun senyampang itu tak lama kemudian memunculkan Donald Trump.

Kata beberapa netizen kita, yang belum tentu benar, persis ketika warga DKI Jakarta lebih memilih Anies Baswedan daripada Ahok.

Tentu ada pihak ketiga, meski pun mereka yang cenderung golput ini, pun masih bisa diurai lagi dengan irisan-irisan kepentingan berbeda-beda lagi. Belum pula orang Indonesia yang tinggal di luar Indonesia, tetapi ingin menunjukkan kepeduliannya pada tanah air. 

Yang pro tidak perlu disebut, sementara yang anti sebagaimana nama-nama yang saya sebut dalam paragraf sebelumnya; Pada akun dan kanal platform medsos mereka, akan tampak narasi utamanya.

Cara termudah, ambil 10 postingannya, cermati kontennya, dan klasifikasikan persentasenya. Lakukan 2 kali lagi untuk 20 konten berikut, maka dengan gamblang kita akan tahu fokus perhatiannya apa, orientasi dan proyeksinya apa.  

Dalam pada itu (demikian mengutip gaya SH Mintardja dalam Api di Bukit Menoreh), yang paling dahsyat adalah di youtube. Platform medsos ini bukan saja memberi keuntungan politis, melainkan bisa juga keuntungan duit. Karena dengan jumlah penduduk 270 juta, mendapatkan 1 juta subscriber yang anti Jokowi, bisa mendapatkan income bulanan yang menggiurkan. 

Karena itu, konon doktor ahli tata negara seperti Reffly Harun lebih suka jadi youtuber. Karena nulis di jurnal ilmiah, bukan hanya sulit, tetapi honornya kecil. Beda jauh dengan youtube.

Lihat komentar Reffly Harun soal penembakan ZA di Mabes Polri, dia bisa secara retorik menanyakan; Apakah ZA melakukan penyerangan yang berbahaya, hingga tidak diperlukan tembakan yang melumpuhkan? Maksudnya, kenapa harus tembak mati? 

Itu pendapat ahli hukum tata-negara. Bukan sebuah analisis atau argumentasi, tetapi yang penting membangun opini publik, lewat framing atau sudut pandang, untuk mendapatkan impresi atau feed-back yang diharapkan. Dan followernya, seperti mitraliyur mengeluarkan berondorngan kata-kata pedas pada pemerintahan Jokowi. Meski sulit kita menyatakan itu sebagai kritik, kecuali ujaran kebencian. 

Tidak sangat berbahaya. Karena yang terjadi sesungguhnya hanya masturbasi (komunikasi) politik. Di mana follower senang, konten kreator mendapatkan nafkahnya.

Dan dalilnya tetap, dunia ini diubah oleh mereka yang bekerja, bukan oleh mereka yang bermain-main wacana, apalagi wacana yang dimonetisasi. 

@sunardianwirodono