Di sekitaran Wonogiri dan Pacitan di daerah yang terkenal tandus ini. Bangunan sejenis justru banyak dibangun oleh juragan bakso atau mie ayam yang sukses di perantauan.
Kesalahan dasar ide ini sangat elementer sebenarnya. SBY tidak memiliki selera yang baik untuk apa yang ia sebut sebagai "seni". Seni sebagai ukuran puncak peradaban manusia. Maka, cerita lanjutnya hanya ikutan. Ya namanya, ya lokasinya, ya sumber dananya, ya alasan peruntukannya.
Jangan buru-buru tanya, apa kelak isinya. Museum pribadi yang baik itu harus berawal dari selera pribadi yang baik! Apa pun isinya, jadinya gak penting.
Mari kita dedah satu persatu.
Tentang namanya saja sudah salah. Konteks Museum dan Galeri itu, suatu kasta yang berbeda. Museum sebagai simbol dan wadah puncak peradaban manusia, sedangkan galeri adalah situs ampiran hedonismenya manusia.
Museum berasal dari kata Museu, sebuah gank dewi-dewi yang melambangkan seni. Mulanya hanya tiga orang, tapi pada akhirnya jadi sembilan. Konon hasil perselingkuhan Dewa Zeus dengan kekasih gelapnya Mnemosyne selama sembilan malam berturut-turut.
Sedang galeri adalah tempat orang pamer, yang konotasi atau ujungnya adalah tempat berjualan barang yang dianggap termahal. Jadi saat museum bersifat menyimpan, maka galeri menjual. Bahwa di setiap museum terdapat toko kecil, tapi tak pernah disebutkan secara spesifik. Jadi ketika disebut Museum & Galeri Seni menunjukkan keambiguan, kebingungan, dan ketidakfokusan sejak dari ide.
Nah, makin tidak menarik ketika "predikat"-nya adalah SBY dan Ani. Kalau jadi mungkin ini pertama kalinya, sebuah museum pakai nama akronim dan nama panggilan. Sekali lagi, sebuah "labelling" atau penyematan brand yang buruk dan sembrono.
Pilihan lokasi museum ini sendiri, secara tersurat tampak emosional: karena didirikan di kota kelahiran si mantan presiden. Namun belakangan terkuak, ini akal-akalan untuk "merampok" dana negara. Negara dipaksa untuk membayar, atau minimal oknum-nya diminta membayar balas budi pada Pak Mantan. Terbukti bahwa ide ini, sudah ada sejak lama yaitu saat Soekarwo menjabat jadi Gubernur Jatim. Dan, jelas akan didukung oleh Bupati Pacitan yang kader Partai Demokrat?
Jangan lupa ini adalah museum pribadi. Apa yang secara sangat keliru justru disebut Museum Kepresidenan. Salah sih boleh, tapi jika berkali-kali. Jadi ketahuan bohongnya ...
Nah, ketika rencana ini mulai terkuak. Muncul kasus adanya anggaran 9 M yang berasal dari Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari Pemprov Jawa Timur kepada SBY Foundation. Jumlah tersebut bisa dianggap besar, tetapi bila konteksnya berkaitan dengan museum sangat kecil. Jumlah yang kurang lebih sama, konon hanya untuk membayar apartemen buat selingkuhan anaknya yang sekarang menjabat Ketua Umum. Juga bila pembandingnya adalah Rumah Cantik yang di Menteng itu, juga tak lebih setengahnya.
Lalu sebagaimana biasa, SBY cuci tangan bersih sekali. Ia merasa tak pernah mengajukan anggaran. Tak pernah minta bantuan. Ya, iyalah kapan figur ini bisa bersikap jujur?
Dan bila mana semua baik-baik saja? Bagian yang tak pernah mudah dipahami adalah apa yang akan dipamerkan di museum ini. Jika dilihat dari "konteks seni" yang ingin ditonjolkan. Seni apa? Sependek yang saya tahu selera seni rupa SBY ini jelek sekali. Beberapa kali, Istana di era-nya membeli lukisan yang menurut saya hanya sekelas lukisan naturalis "Sokaraja"-an. Kalau konteksnya album-album lagu yang pernah dibuatnya. Apa ada yang orisinal dan berharga?
Atau jika itu memorabilia dirinya: pakaian, tanda jasa, mobil, mebel, atau apa pun itu. Apa nilai sejarahnya? Bukankah, itu semuanya jadi penting bila terkait dengan situs aslinya. Bukan dipindahkan ke gedung yang dibangun secara sama sekali baru? Atau OK-lah kita berbicara yang netral dan positif saja: koleksi batik istrinya? Itu barang baru yang sama sekali "belum" bernilai sejarah. Belum masuk kategori heritage yang minimal berusia 50 tahun itu...
SBY ini tak mau belajar dari "ayah"-nya, yang tahu diri dan berani bersikap rendah hati. Ketika keluarga besar Soeharto bahu membahu menyulap rumah masa kecilnya di Kemusuk menjadi museum. Tak pernah merepoti siapa-siapa. Dan menurut saya, walau masih tetap gagal menggambarkan kebesaran Suharto yang berkuasa 32 tahun. Bahkan telah memiliki jejak sejarah jauh waktu sebelum ia berkuasa sebagai Presiden.
Tapi justru dari sisi kesederhanaan dan kerendahan hatinyalah yang membuatnya menarik untuk ditengok oleh publik.
Baca Juga: SBY Lebih Terhormat Jadi Pencipta Lagu
Dalam konteks ini, sangat terlihat sifat megalomania SBY, namun sebenarnya malah disruptif dan miskin informasi. Ia bermimpi membangun sebuah museum bergaya gothic, yang sebenarnya justru sudah banyak ada di daerah sekitar itu. Sebagaimana kita tahu, di sekitaran Wonogiri dan Pacitan di daerah yang terkenal tandus ini. Bangunan sejenis justru banyak dibangun oleh juragan bakso atau mie ayam yang sukses di perantauan.
Dalam konteks museum ini, saya tak pernah melihat ada "mantan" presiden di Indonesia sesakit ini! Sukarno dan Suharto di ujung usianya memang sakit parah, tapi tidak jiwanya. Mereka semeleh dan sabar menghadapi penderitaan di akhir usianya. Pun Gus Dur dan Habibie, hanya Megawati yang tetap kuat tegar bertahan. Tapi tidak lebay dan hobi bermain "playing victims".
Mereka tak pernah terlihat punya inisiatif "memuseumkan" dirinya sendiri.
Oh ya kalau jadi bikin, saya usul sebaiknya dinamai sebagai "Museum Kebohongan". Di luar sesuai dengan karakter aslinya, mungkin akan menarik orang datang dan menengok....
NB: Karena wajah arsitektur calon Museum & Galeri SBY-Ani tidak menarik dan plagiatif Istana Bogor. Saya posting saja sebuah rumah juragan bakso di sekitar area itu yang membuat rumahnya persis plek ketiplek Istana Negara. Setidaknya ia jauh lebih terhormat, tidak ngrusuhi uang negara.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews