Hari Pers Nasional, Perayaan di Tengah Evolusi dalam Disrupsi

Tantangan demi tantangan akan tetap hadir. Hanya, wartawan sejatilah yang berpihak pada kebenaran dan juga menjadi warga sebagai atasan tertingginya sebagaimana pesan Kovach dan Resenstiel.

Rabu, 10 Februari 2021 | 09:14 WIB
0
180
Hari Pers Nasional, Perayaan di Tengah Evolusi dalam Disrupsi
Karni Ilyas (Foto: detik.com)

Koran Tempo mengumumkan bahwa mulai Januari 2021, tidak lagi terbit cetak. Hanya terbit daring saja.

Dengan kewujudan laman web, koran mengalami transformasi dengan sandingan pada koran daring. Ini secara perlahan menurunkan jumlah tiras.

Media tidak lagi hanya dihitung pada soal jumlah tiras, tetapi jumlah pembaca daring (viewer).

Ketika pers berada di masa pandemi, ada berita buruk sekaligus juga berita baik. Penggunaan komputer atau gawai untuk pelbagai keperluan digunakan sepanjang hari.

Akhirnya, keperluan untuk cetakan koran atau majalah juga bertambah. Awalnya pelanggan koran atau majalah cetak yang telah berhenti, kembali mendaftarkan diri untuk berlangganan.

Pada saat yang sama, pers kemudian bersanding dengan media sosial. Ada fungsi-fungsi pers yang bisa dilaksanakan media sosial.

Hanya saja, dalam soal kedalaman dan verifikasi data tidak dikandung media sosial. Sebaliknya, pers mensyaratkan adanya verifikasi data.

Bahkan dalam soal nama, bisa jadi urusan panjang. Salah satu materi Latihan jurnalistik dasar, ketepatan dan kecermatan menuliskan nama narasumber. Sehingga, nama narasumber akan sangat bagus kalau ditulis sendiri oleh pemiliknya.

Bolehjadi, pakem itu tidak lagi tidak pakai para pekerja pers. Sebagai contoh, dimana nama sesungguhnya Andi Alifian Mallarangeng.

Namun kadang wartawan, ada yang menuliskannya dengan Andi Alfian Mallarangeng. Kehilangan huruf i, dalam dalam Alifian terlihat sepele. Tetapi ini tidak mencerminkan ketepatan.

Bonus dari pers digital, kemudahan penyebarluasan dan juga ketika terjadi kekeliruan dengan mudah berita yang ada, langsung diturunkan.

Berbeda dengan metode cetak. Maka, ini perlu menarik koran atau majalah tersebut dari peredaran. Dimana ketika kiriman masih berada di agent, itu dapat dilakukan. Setelah melewati ruang agent, tidak banyak yang dapat dilakukan.

Begitu pula, kalau ada berita yang tidak diinginkan oleh pihak tertentu. Dengan mudah, koran atau majalah tersebut diborong dan kemudian ditenggelamkan. Kecuali, untuk yang sudah langganan.

Pada masa kinilah, eceran cetak tidak lagi menarik untuk dijadikan usaha. Di Makassar, Ketika sebuah majalah sangat menarik, dan saya memilih membacanya melalui versi cetak. Tidak mudah menemukannya.

4 titik utama ketika saya masih mahasiswa, sudah bubar. Begitu pula 3 toko buku saya datangi yang tidak lagi menjual majalah. Termasuk Gramedia yang hanya punya stok terbatas. Tak lebih dua biji.

Bahkan agent besar yang mendistribusikan majalah Tempo seentaro Makassar, sejak dua tahun lalu tidak lagi membeli dalam jumlah partai. Memilih berhenti untuk berjualan majalah dengan penjelasan, permintaan semakin menyusut hari demi hari.

Salah satu program yang menjadi rutinitas selama menjadi pengurus osis di sekolah, pers abu-abu. Dengan nama lain, pelatihan jurnalistik.

Saat ini, pelatihan menulis cukup dengan metode daring. Termasuk dengan wujudnya pandemi ini sebagai ajang melatih diri untuk belajar cukup dengan duduk di depan sebuah layar.

Tatap maya menjadi pilihan utama dan pertama. Dimana interaksi tatap muka tidak dimungkinkan. Apalagi dalam jumlah yang banyak.

Begitu pula dengan majalah dinding. Bahkan Harian Fajar, koran terbitan Makassar, menggelar secara rutin lomba majalah dinding untuk sekolah menengah.

Namun, keterampilan dan kemahiran soal media ini berubah menjadi kemampuan digital. Maka, pelatihan menata majalah dinding berubah menjadi keperluan untuk menguasai aplikasi.

Hari Pers dirayakan kembali. Kali ini, pandemi sudah berjalan bulan kedua belas jika mengacu pada kasus pertama yang diumumkan Presiden RI, Joko Widodo.

Tetap saja, masyarakat senantiasa memerlukan informasi yang akurat. Pada titik ini, relevansi akan kewujudan pers senantiasa menjadi hajat hidup orang banyak.

Dalam satu kesempatan AGH Muhammad Ahmad mengemukakan ketika penamatan santri di Pesantren IMMIM, Makassar. Jikalau saja masih ada nabi, maka itu bisajadi adalah wartawan.

Gurutta mengemukakan itu, dimana sering terjadi kesimpangsiuran maklumat di masyarakat akibat kesilapan kerja dari insan media.

Tantangan demi tantangan akan tetap hadir. Hanya saja, wartawan sejatilah yang berpihak pada kebenaran dan juga menjadi warga sebagai atasan tertingginya sebagaimana pesan Kovach dan Resenstiel (2001).

Ketika ini tetap dipegang teguh dalam menjalankan profesinya. Maka sebagai pembaca, hidup kita tetap saja dilakoni dengan ketenangan. Ada orang yang bersedia menasbihkan hidupnya untuk kepentingan kita.

***