Kita Memilih atau Dipilih Perusahaan?

Selasa, 30 Maret 2021 | 10:27 WIB
0
157
Kita Memilih atau Dipilih Perusahaan?
sumber gambar liputan 6.com

Saat mengikuti sebuah training di sebuah perusahaan saya cukup kaget karena diberlakukannya sistem gugur. Jadi setiap minggu ada dua sampai tiga orang yang harus dieliminasi. Sudah kayak Indonesian Idol saja pokoknya. Karena dipikiran saya, kalau sudah training artinya sudah diterima bekerja, training hanyalah aktivitas pelatihan sebelum diterjunkan kerja ke lapangan.

Ternyata kekagetan saya terjawab saat beberapa waktu kemudian salah seorang petinggi perusahaan berkata bahwa ini adalah pola baru yang coba diterapkan perusahaan dalam merekrut pegawainya. Alasannya agar para peserta sungguh-sungguh mengikuti training dan punya rasa bangga saat akhirnya berhasil lolos sampai tahap akhir.

Perusahaan itu seperti ingin mencitrakan diri bahwa untuk kerja kesana itu tidak gampang, karena buktinya ada yang harus tersisih. Maka kami yang lolos haruslah bangga akan pencapaian tersebut.

Namun beberapa bulan kemudian gejolak mulai muncul pada batch kami yang kurang lebih berjumlah delapan puluh orang itu. Hal ini dimulai dari gaji yang kami terima tak sesuai dengan penjelasan saat offering.

Namanya juga urusan duit, mustahil tak menimbulkan gejolak. Semua orang ribut di grup whatsapp, hingga akhirnya gelombang protes difasilitasi juga untuk dialog dengan pimpinan perusahaan. Ternyata hasilnya, ada kekeliruan yang dilakukan tim rekrutmen ketika menjelaskan soal gaji saat offering.

Apa boleh buat, kami yang hanya anak baru di perusahaan tersebut hanya bisa menerima dengan lapang dada. Sebenarnya saya tahu bahwa semuanya juga ingin protes keras, tapi melakukan protes terlalu keras tak akan membuat kekurangan gaji versi kami dibayarkan. Yang ada kami akan dipecat hari itu juga. Minimal ditandai untuk tidak diperpanjang masa kerjanya bulan depan.

Dari segi posisi memang karyawan itu lemah. Namun jika kita baru melamar pekerjaan, posisi pencari kerja biasanya tak melulu lemah. Misalnya saat tahap interview pihak perusahaan menawari gaji sekian, kita sebagai pelamar punya hak untuk menolak atau menerima, karena kita punya nilai tawar.

Tapi tentu kebanyakan pencari kerjalah yang benar-benar butuh pekerjaan, sehingga bisa diterima kerja juga sudah sangat bersyukur. Itu kenapa atasan saya dulu pernah bilang, jangan resign sebelum mendapatkan kerja yang baru.

Alasannya bukan soal nanti takut tidak dapat kerja lagi atau tidak, tapi kalau kita masih punya pekerjaan kita bisa minta gaji yang lebih besar dari gaji tempat kita bekerja saat ini. Kalau diterima ya syukur enggak juga nggak apa-apa. Kan tujuan pindah kerja itu mencari yang lebih baik.

Kembali ke cerita saya di atas. Jika di awal bulan yang muncul adalah gejolak soal gaji, beberapa bulan kemudian petinggi perusahaan mulai murka karena rendahnya pencapaian dan target tak tercapai.

Mulai muncul umpatan-umpatan yang kurang lebih bermakna, "Kalau tidak kontribusi mending resign saja, buat apa digaji..." dan seterusnya. Ungkapan ini pun banyak menyakiti hati orang-orang di bawah, kalau saya sendiri sih saya anggap radio rusak. Selama orang itu tidak berbicara secara pribadi dengan saya, saya tak akan sakit hati.Sekalipun ditujukan untuk umum, tapi faktanya tidak semua orang bisa menerima.

Akhirnya satu dua orang mengundurkan diri, beberapa orang lagi segera mengundurkan diri, dan sebagian lainnya ingin mengundurkan diri tapi memutuskan untuk tetap bertahan.

Alasannya karena butuh duit, dan di saat pandemi covid19 seperti sekarang ini, mencari kerja bukanlah hal yang mudah. Banyak di antara teman-teman mengomel, menggerutu hingga menyesalkan keputusannya untuk menerima pekerjaan di tempat kami bekerja sekarang.

Mereka menyesal karena pada saat itu mereka juga mendapat panggilan tes kerja di perusahaan lain. Tak henti-hentinya mereka mengeluh karena merasa telah salah menjatuhkan pilihan. Hmm..termasuk saya.. hiks.

Tapi nasi sudah jadi bubur, diratapipun tak akan jadi nasi lagi apalagi jadi beras. Pada kenyataannya kitalah yang memilih perusahaan di mana kita akan bekerja.

Sekalipun di awal-awal melamar kerja perusahaanlah yang memilih kita. Tapi ingatlah kalau kita tak ada atau menolak, maka perusahaan akan memilih orang lain, orang lain yang menjatuhkan pilihannya pada perusahaan tersebut.

Inilah yang harus disadari. Bahwa perusahaan tak pernah memaksa kita untuk memilih bekerja ditempat mereka.Mereka hanya menawarkan posisi yang kosong. Sisanya itu terserah pada kita. Mau kita coba atau tidak, bola panasnya ada di tangan kita.

Maka sebenarnya tidak ada alasan untuk terus menggerutu. Karena saat kita sudah menjatuhkan pilihan bekerja pada suatu tempat, maka bagus jeleknya harus kita terima. 

Pola pikir ini saja yang membuat saya pada akhirnya pasrah, saya tak mau menghabiskan energi untuk terus berkeluh kesah.Lebih baik menyiapkan strategi untuk menjatuhkan pilihan pada perusahaan berikutnya. Walaupun pada akhirnya tak semua perusahaan yang kita pilih akan memilih kita.

Akan lebih bertanggung jawab rasanya kalau kita lebih banyak menyalahkan diri sendiri dibandingkan menyalahkan pihak lain. Karena faktanya kebanyakan kitalah yang membutuhkan pekerjaan dibandingkan perusahaan membutuhkan pekerja seperti kita. 

Sebenarnya mereka butuh pekerja, tapi karena yang mengantri untuk kerja banyak, jadi perusahaan tak keberatan kalau harus kehilangan satu pekerja seperti kita. 

Saat kita sudah di dalam kita sudah tak punya nilai tawar, kecuali kamu punya otak seperti Bill Gates, Elon Musk, atau kamu adalah seorang profesional, yang bekerja berdasarkan keahlian tingkat tinggi.

Selama yang dibayar perusahaan dari diri kita hanyalah tenaga dengan skill tak seberapa, maka terima nasib saja. Satu-satunya pemberontakan yang dibenarkan adalah segera keluar dan berkarir di tempat yang kita pikir sesuai. Dalam konteks ini, perusahaan tak pernah memilih kita untuk kemudian beroleh hak istimewa.Semua atas dasar kebutuhan, kesepakatan dan kerja sama.

Saya jadi ingat bagaimana di jaman dulu, para budak yang sudah dibeli oleh seorang tuan akan kehilangan segala haknya. Memang kita tidak lagi hidup di jaman seperti itu. Tapi jika kita mengambil sedikit esensi antara majikan dan pekerja dari contoh itu, sebenarnya jam kerja adalah waktu yang telah kita jual pada perusahaan.

Sehingga yang kita lakukan adalah keinginan perusahaan bukan keinginan kita. Yang kita patuhi adalah instruksi perusahaan, bukan kemauan sendiri.

Namun jika kita berpikir lebih jernih, sebenarnya ini hanya tentang hak dan kewajiban. Kewajiban kita ya untuk bekerja dengan segala suka dukanya di mana kita memperoleh hak dalam bentuk gaji tiap bulannya.

Kondisi kadang memaksa kita untuk bekerja, tapi dalam kondisi yang penuh tekanan dan pertimbangan itu, kehendak bebas kitalah yang memilih kita akan bekerja di mana. Maka ada baiknya kita terus belajar untuk tidak menyalahkan siapa-siapa.

Penikmat yang bukan pakar