Pak Rizieq, Siapakah yang Menistakan Agama Itu?

Orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan agama yang mendalam, terlihat dari uaranya yang membuat sejuk, membuat respek dan hormat.

Sabtu, 21 November 2020 | 09:08 WIB
0
278
Pak Rizieq, Siapakah yang Menistakan Agama Itu?
Poster Rizieq Shihab (Foto: matamatapolitik.com)

Siapakah sebenarnya yang dilawan Rizieq Shihab pemerintah, Jokowi, Agama  Islam sendiri,Selain Islam entah Kristen, entah Katolik, Hindu atau Budha? Dalam statemen dan pidatonya seakan - akan ada musuh yang diberantas. Dan menganggap bahwa pemimpin agama itu tidak tersentuh, tidak boleh dihina dan dibanding-bandingkan.

Padahal, setiap pemimpin agama akan mendapat tantangan berat dari umatnya sendiri. Dan pemimpin agama tampil menjadi pembeda, tidak melawan namun malah mengasihi sehingga musuh yang seharusnya benci menjadi hormat.Jika pemimpin agama bisa menaklukkan diri sendiri dan egonya akan sangat hebat luar biasa.

Sedikit menyinggung Perancis yang tampak seperti menyudutkan Muslim sebenarnya tidak seratus persen benar. Di Eropa dan khususnya Perancis kebebasan untuk memeluk agama atau tidak memeluk agama mendapat porsi yang sama. Makanya saking terbukanya apapun agama beserta alirannya bisa masuk. Yang menjadi persoalan adalah saking terbukanya maka paham - paham radikal masuk dan menjadi masalah di negara - negara yang menganut paham terbuka.

Indonesia adalah negara besar, negara yang beragam suku bangsa, beragam bahasa, beragam agama yang berdampingan secara damai. Masalah perbedaan memaknai keyakinan bisa diselesaikan dengan kepala dingin, tidak dengan kekerasan, tidak dengan otot dan mata melotot.

Sampai saat ini di Indonesia apa kontribusi minoritas melawan kekuatan besar mayoritas. Perlawanan minoritas mungkin hanya dengan bekerja keras, membangun sumber daya manusia, membangun semangat usaha sehingga secara finansial banyak suku dan keyakinan minoritas sukses secara materi.

Ketakutan yang sebetulnya tidak beralasan karena sebetulnya hegemoni ekonomi oleh ras atau keyakinan minoritas seharusnya bukan dilawan dengan perang atau seruan pemenggalan kepala, itu seperti kembali ke zaman bar- bar ketika lebih banyak fisik yang digunakan bukan dengan logika dan pikiran.

Jika berpikiran maju dan luas wawasannya tidak akan mungkin mengobarkan peperangan fisik karena saat ini sudah tidak zamannya lagi, jika kekerasan yang ditonjolkan hanya akan memunculkan tragedi peperangan saudara yang berakhir dengan hancurnya negara. Lihat negara yang mendasarkan pada agama banyak yang luluh lantak karena perbedaan paham padahal agamanya sama, hanya menafsirkan sebuah ajaran yang berbeda – beda.

Setiap agama, setiap keyakinan tidak akan mengajarkan orang untuk memenggal kepala. Yang berhak menghilangkan nyawa bukanlah manusia tetapi Tuhan, yang bisa sewaktu waktu tanpa pilih pilih. Mengapa manusia menjadi arogan dengan gampangnya menghllangkan nyawa manusia atas nama keyakinan dan agama?

Lalu ketika dengan yakinnya ia tidak akan terkena wabah karena merasa menjadi manusia pilihan, manusia yang boleh menjungkirbalikkan aturan hanya karena percaya banyak pendukungnya bagaimana jadinya sebuah negara jika setiap warganya berpaham masa bodo dan nggugu karepe dewe.

Negara akan hancur jika setiap komunitas maupun ormas merasa kebal hukum dan kebal terhadap peraturan yang seharusnya ditaati. Dan ketika dikenakan sangsi hukuman atas pelanggaran lalu teriak negara tidak adil, tebang pilih. Dan sebagainya.

Saya merasakan kedamaian zaman dahulu jauh sebelum ada paham – paham radikal yang menjungkirbalikkan tatanan. Siapa yang melawan siapa. Orang diam dituduh menistakan agama, melecehkan pemimpin agama. Siapa yang membalas pelecehan dengan mengatasnamakan agama di bumi Indonesia ini.

Selama ini tidak ada bentuk bentuk kekerasan verbal secara organisatoris, semua kata- kata yang muncul berupa pelecehan dan penistaan itu adalah oknum, pribadi bukan atas nama ajaran dan keyakinan. Tidak mungkin pemimpin agama minoritas berani membuat pernyataan yang melecehkan dan menistakan agama mayoritas. Yang ada adalah tahu diri sebagai minoritas diam dan membiarkan suara – suara keras terus bergema.

Silahkan ikut ibadah terutama di gereja Katolik, apa yang akan di homilikan atau dikotbahkan dalam misa. Tidak akan pernah ada cerita pengecaman, atau lontaran penistaan terhadap agama lain, yang ada hanyalah renungan kritikan diri sendiri, kritikan pada penganutnya sendiri yang tidak berani secara terbuka mengaku sebagai minoritas.

Siapakah yang menistakan agama, karena nyatanya reaksi keras untuk radikalisme datang dari penganut agama baik Islam maupun agama lain yang menginginkan adanya toleransi, saling menghargai keyakinan untuk mendapatkan rasa damai jika saling menghormati dan membiarkan orang berdoa menurut keyakinan masing masing.

Apakah kekerasan bisa menyelesaikan masalah, apakah genderang perang bisa membuat negara menjadi maju, apakah keseragaman akan menjamin kedamaian. Musik yang indah, konser yang luar biasa menariknya adalah kolaborasi dari beragam alat musik dan bebunyian. Perbedaan menjadi indah ketika disatupadukan sehingga muncul harmoni.

Musik konser akan sukses berkolaborasi jika ada kondaktor yang mampu mengatur irama, ritme dan harmoni konser musik tersebut. Dalam jutaan manusia tidak akan ada pola pikir yang sama. Lalu mengapa harus ada pemaksaan untuk memeluk sebuah keyakinan yang sama, membuat sebuah negara atas nama satu keyakinan.

Indonesia terkenal dan masih bersatu sampai sekarang karena masih lebih banyak orang yang ingin hidup berdampingan meskipun mempunyai keyakinan yang berbeda. Semboyan Binneka Tunggal Ika itu sangat pas menjadi simbol persatuan, maka menjadi bingung jika ada yang memaksa diri mengusung sebuah kultur untuk dipaksakan pada sebuah negara di mana penduduknya terdiri dari beragam suku, beragam keyakinan, beragam komunitas, beragam kepercayaan. Memaksakan untuk seragam hanya akan membuat suara yang semula harmoni menjadi kacau balau.

Jadi jika yang merasa minoritas diam dan tidak bereaksi bukan berarti tidak peduli dengan nasib bangsa. Sayang perjuangan berat para pahlawan dan pejuang untuk merebut kemerdekaan akan hancur lebur jika ada banyak komunitas, ormas seperti tidak mau ikut aturan main sebuah negara. 

Tanah air  Indonesia dengan beragam pulau, beragam budaya mempunyai kekayaan luar biasa yang membuat iri negara lain. Lalu muncul orang - orang yang memaksakan diri untuk membawa pengaruh budaya luar untuk dicoba diterapkan pada sebuah negara yang hidup dan berkembang dari penghargaan dan toleransi budaya dan keyakinan.

Siapakah yang berani menistakan agama karena bagi umat beragama menistakan agama berarti menistakan diri sendiri juga. Rasa asih, kasih sayang, cinta kasih adalah esensi beragama, maka miris jika dengan membela agama harus menampilkan kegarangan dan arogansi. 

Orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan agama yang mendalam, terlihat dari uaranya yang membuat sejuk, membuat respek dan hormat, sebaliknya jika memandang pemimpin agama dengan bahasa kasar, bahasa yang menyinggung perasaan bagaimana bisa respek dan mengacungkan jempol ?

Maka sebagai warga negara lebih senang jika muncul pemimpin agama dengan wajah menyejukkan, halus bahasanya dan memberikan rasa damai untuk meyakinkan bahwa agama adalah sumber kedamaian dan kerukunan bukan pemicu perpecahan.Salam damai selalu.