Pelajar Berdemonstrasi, Di Mana Salahnya?

Dalam menggembleng diri menjadi generasi pengubah itu, larangan dan tuntutan sejatinya adalah bumerang bagi diri sendiri, bahwa 14 juta pelajar yang diharapkan menjadi kunci hari depan.

Sabtu, 17 Oktober 2020 | 08:36 WIB
0
588
Pelajar Berdemonstrasi, Di Mana Salahnya?
Demonstrasi pelajar (Foto: Kompas.com)

Saya tidak tahu apa yang menjadi kegelisahan direktur sekolah saya ketika menuliskan pesan broadcast yang pagi itu diteruskan ke grup WhatsApp kelas oleh wali kelas. Broadcast sepanjang tujuh paragraf itu, intinya cekak aos melarang kami turut serta dalam gelombang demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang tengah ramai diberitakan karena melibatkan para pelajar Sekolah Menengah Kejuruan. 

Menurut rilis data mutakhir, ratusan pelajar terjaring operasi penangkapan yang dilakukan gencar oleh Kepolisian Republik Indonesia. Sebagian besar mendapatkan pembinaan, penahanan sementara, serta mendapatkan catatan khusus.

Konon, ada pula oknum polisi yang mengancam akan memberikan sanksi berupa catatan buruk pada dokumen Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kepada pelajar yang terjaring operasi. Benar-tidaknya, kita hanya dapat bertanya kepada yang terlibat dan tidak dapat serta-merta menghakimi. 

Tentu ada maksud-maksud baik yang dikehendaki oleh direktur sekolah, kepolisian, serta wali kelas dalam memberikan anjuran, imbauan, dan larangan tegas untuk tidak mengikuti demonstrasi yang berakhir kericuhan dan vandalisme di beberapa tempat itu.

Dalam hemat mereka, implikasi pelajar dalam demonstrasi adalah kesia-siaan, menghancurkan masa depan, merusak moral dan perilaku, serta bukan gambaran "generasi penerus bangsa" yang diharapkan ke depan. Benarkah? 

Generasi Penerus atau Generasi Pengubah? 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa betapapun stabil dan mengobsesikan kemapanan sebagai jalan hidup setiap warga negara, Orde Baru adalah kerangka pemerintahan yang mematok harga mahal untuk kebebasan warga negaranya, terutama kebebasan berpendapat.

Buku sejarah tidak pernah tertutup bagi kita yang mau mencari tahu ihwal tabiat Orde Baru dalam mengendalikan jalan pikir masyarakat, melalui pemberangusan berbagai media massa dan larangan berdemonstrasi yang kerap kali terjadi. 

Kebebasan apa yang dimiliki warga negara? Jawab Orde Baru, "Kebebasan yang bertanggung jawab." Artinya? Anda bebas untuk tidak bebas. Bebas untuk dikekang, bebas untuk didisiplinkan. dan bebas untuk tidak berkreasi menurut logika dan jalan pikir masing-masing.

Semua yang melanggar "kebebasan yang bertanggung jawab" itu, niscaya akan menjadi sasaran empuk aparat pemerintah, mulai dari pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) oleh Departemen Penerangan hingga penghilangan paksa atas nama stabilitas nasional. 

Bertakhta tiga dasawarsa lamanya, Orde Baru berhasil melahirkan satu generasi yang murni buatannya, tanpa campur tangan pengaruh Demokrasi Terpimpin Sukarno yang mereka stigmakan "kekiri-kirian" itu. Sedianya, ketika mereka tumbang dan diperosokkan beramai-ramai pada 1998, mereka sudah memiliki "generasi penerus" yang akan melanjutkan tabiat dan perilaku mereka.

Ya, "generasi penerus" made in Orde Baru inilah, yang kini tengah memerintah, hadir di tengah-tengah masyarakat, menjadi orang berpengaruh dan memiliki reputasi. Mereka kini berusia antara 40-50 tahun; usia yang produktif, segar, bugar, dan mencapai puncak kehidupan. 

Meski tidak dapat memukul rata, namun pengaruh mindset yang mengidolakan stabilitas, obsesi kemapanan, ketidaksukaan pada bentuk-bentuk perlawanan terhadap negara, hingga kerinduan akan Jenderal Soeharto sebagai kepala negara idaman telah menjadi alam bawah sadar nyaris 100 juta orang Indonesia.

Bagi generasi saya, "orang-orang tua" inilah yang dalam 20 tahun terakhir ini mendidik kami di rumah, sekolah, dan tata pergaulan masyarakat. Mereka telah sempurna mencapai tingkatan "generasi penerus" sebagai yang diharapkan Orde Baru dulu. 

Selain kebaikan-kebaikannya, "generasi penerus" ternyata tidak dapat menghindari kelakuan minus pejabat Orde Baru dulu, yang mendidik mereka. Perilaku korupsi, manipulasi, karakter feodal, birokratisme, konservatisme, dan ambisi berkuasa ternyata juga "diteruskan" laiknya mental pejabat Orde Baru dulu.

Mau apa? Mereka benar-benar dibentuk untuk "meneruskan" dan bukan "mengubah"; "merombak"; atau "merevolusikan" tatanan pikir yang mengalam-bawah-sadar hingga kini. Kepada "generasi penerus", Indonesia tidak memiliki harapan untuk 10 atau 15 tahun mendatang. 

Sebaliknya, siapa yang diharapkan akan menjadi pemegang hari depan? 

Tidak lain dari mereka yang hari ini bergelar "pelajar" dan hitungan itu termasuk saya dan sekurang-kurangnya 14 juta teman-teman saya di seluruh Indonesia. 

Sebagai pelajar, "generasi penerus" made in Orde Baru yang menjadi guru-guru kami kini mengulang-ulang pita kaset konstruksi alam bawah sadar yang pernah mereka dengar juga semasa sekolah dulu. Pelajar yang baik adalah anak-anak sekolah yang berotak buku dan bertangan pulpen. Belajar yang rajin adalah membela negara (sic!). 

Generasi penerus yang diharapkan, ya, generasi yang "meneruskan" praktik yang sudah ada dan bertumbuh menahun. Semangat "perubahan" akan dibawakan oleh zaman, sedangkan kami tidak pernah dipersiapkan untuk berubah atau berevolusi seturut kehendak generasi kami sendiri. 

Pendeknya, guru-guru "generasi penerus" mengajarkan kepada kami, bagaimana negara adalah tak ubahnya sekumpulan kintel di seluasan perairan. Bangsa kintel adalah tamsil Bung Karno untuk mengkritik keras mereka yang tidak memiliki semangat perubahan dari dalam, meneruskan yang sudah ada, floating masses yang apatis terhadap persoalan kolektif, generasi sonder visi dan greget untuk menalu genderang revolusi dan perubahan.

Inilah ajaran sesat yang mendera sekurang-kurangnya 14 juta pelajar yang dalam 10-15 tahun lagi akan diserahi sebuah bangsa yang bobrok, bermental korup-manipulatif, sarat birokrasi, kompromis terhadap intervensi asing atas nama "investasi", serta yang tidak kalah berbahaya ialah berkarakter anti-revolusi. 

Sampai di sini, tentulah kita bertanya, "Akankah 14 juta pelajar itu mampu membawa bangsa ini bertahan di usianya yang ke-100 tahun 2045 nanti?" Kalau menghendaki jujur, saya sendiri pesimis bahwa kami mampu mempertahankan bangsa bermental korup-manipulatif setengah feodal ini untuk menghadapi zaman yang serba keras dan menuntut revolusi setiap waktu setiap saat ini.

Kami tidak diajarkan berubah! Kami hanya diajarkan menjadi penerus! Hanya meneruskan! Command prompt yang terprogram di alam bawah sadar kami adalah bagaimana sekolah, lalu kerja, lalu pensiun, lalu mati. Tidak perlu mengurusi kepentingan orang lain, atau setidaknya berjuang menyediakan tempat di salah satu halaman buku sejarah kelak. 

Bukan Generasi Emas

Dengan logis mindset yang mengobsesikan keamanan dan stabilitas, tentu saja keikutsertaan pelajar dalam aksi-aksi demonstrasi kemarin membuat sebagian pemangku kepentingan gerah.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahkan mengecam aksi demonstrasi dan menyatakan bahwa pelajar "disusupi" oleh oknum-oknum lain yang mempunyai kepentingan dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Juga direktur sekolah saya berpikir demikian, pun dengan wali kelas dan orang tua kami. Larangan berdemonstrasi untuk pelajar adalah mutlak. Tugas kami hanya belajar dan belajar dari buku, dan bukan dari kehidupan. 

Apakah ini hanya logika orang tua kami yang reformis atau memang kenyataan menuntut demikian? Empat puluh tiga tahun lalu, penyair Rendra sudah menjawabnya dalam "Sajak Seonggok Jagung" dengan petikan berikut, 

Seonggok jagung di kamar, tak akan menolong seorang pemuda

Yang pandangan hidupnya berasal dari buku dan tidak dari kehidupan

Yang tidak terlatih dalam metode dan hanya penuh hafalan kesimpulan

Yang hanya terlatih sebagai pemakai, tetapi kurang latihan bebas berkarya

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan

Aku bertanya: Apakah gunanya pendidikan, bila hanya akan membuat seseorang

Menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? 

Tuntutan dan larangan berdemonstrasi adalah sebenar-benarnya bagian dari "pendidikan yang memisahkan kami dari kehidupan" itu. Tanpa adanya kesempatan untuk menyelami hakikat "kebebasan berpendapat" yang sejati, kami hanya mengenalnya sebagai kurungan normatif dalam buku PPKn, bahwa negara ini menjamin kebebasan berpendapat dengan segambreng syarat-syarat yang menganastesi kebebasan itu sendiri. Salahkah pelajar berdemonstrasi?

Menurut orang tua kami, salah. Menurut polisi, salah. Menurut direktur sekolah, salah. Menurut Menteri Nadiem, salah. Tetapi kalau menurut kami benar, negara dan tuan-tuan pemangku kepentingan mau apa? Memberi sanksi dengan represi jelas hanya menambah citra buruk Polri serta menunjukkan bahwa Polri bukanlah pengayom masyarakat, melainkan pengayom kekuasaan. 

Pelajar yang berdemonstrasi, pada hakikatnya adalah perwujudan pendidikan politik yang paling konkret, jaminan demokratisasi pendidikan paling fundamental, dan pengampuh terbaik bagi pelajar mengenal kebebasan berpendapat yang ternyata masih sarat pengekangan dan penuh larangan

Saya dan 14 juta pelajar lain tidak pernah menghendaki diri menjadi "generasi penerus" seperti guru-guru kami. Kehendak zaman menuntut kami menjadi generasi pengubah, pendobrak, angkatan muda yang mengimbau revolusi Indonesia. Angkatan yang menurut Pramoedya Ananta Toer "harus melahirkan pemimpin" dan bukan penguasa.

Dalam menggembleng diri menjadi generasi pengubah itu, larangan dan tuntutan sejatinya adalah bumerang bagi diri sendiri, bahwa 14 juta pelajar yang diharapkan menjadi kunci hari depan, justru termangu-mangu melihat perubahan yang tidak pernah diajarkan, perubahan yang hanya mematuhi kehendak zaman, dan perubahan yang tidak berlandaskan visi hari depan. 

Inikah generasi "Indonesia Emas"? Saya rasa, bukan. Kami dipersiapkan hanya menjadi generasi "kuningan sepuh". Buktinya? Tunggulah barang satu atau satu setengah dasawarsa dari sekarang.....

***