Bukan Menteri Nganu

Pendidikan dan agama nggak ngefek pada akhlak. Karena menurut Mbah Kyai Voltaire, jika ngomongin duit semua orang agamanya sama.

Minggu, 3 November 2019 | 18:47 WIB
0
338
Bukan Menteri Nganu
Fachrul Razi (Foto: arah.com)

Sepuluh hari setelah pelantikannya sebagai Menteri Agama (2014), Lukman Hakim Saifuddin dalam konperensi pers mengatakan, bahwa dirinya adalah menteri semua agama (di Indonesia).

Tak ada yang protes. Apalagi dari NU atau PPP. Kenapa? Bisa jadi, karena menteri agama ini dari NU. Anak Menteri Agama Saifuddin Zuhri, yang tentunya darah ke-NU-annya tak diragukan. Juga dari PPP.

Lha Fahrul Razi? Oh, dia Jenderal Purnawirawan. Dia beda, masiya dia beragama Islam, kelahiran Aceh dari keluarga perantauan Maninjau, Sumbar. Masiya dia anggota ormas Islam, tapi kan kecil. Nggak segede yang dua itu. Lagian, Fahrul Razi tentara. Tentara kan ngertinya perang. Gitu lho!

Lhah, kok diskriminatif gitu, hanya karena bukan nganu? Apalagi dengan klaim yang aduhai, bahwa kementerian agama adalah bla-bla-bla. Kita tahulah sejarah, sejarah kompromi Bung Karno dari Kaum Nasionalis dengan kelompok agamais hingga muncullah departemen agama. Dan gagah banget ada generasi sekarang ngeklaim kementrian itu memang didirikan untuk ngurusi umat Islam di Indonesia.

Kita nggak mau tahu, gimana Lukman Hakm ini, sebagai pembantu Jokowi, perlahan melakukan perubahan, sesuai amanat UU mengenai posisi kementrian agama.

Meski pun bibit kawit perubahan itu, diam-diam menyebabkan Lukman Hakim juga sosok yang tak disukai di sebagian kalangan Islam sendiri. RUU tentang kebebasan beragama, yang digodognya, menguap entah ke mana.

Bayangkan, jika ada yang ngeklaim, bahwa kementrian ini adalah hak waris kelompok itu. Begitu juga kementrian itu, hanya boleh dipegang kelompok atau ormasnya. Haduhiyung! Sejak kapan negeri dikapling-kapling?

Sejak kekuasaan mengundang kerakusan, diskriminatif, semena-mena, dan dipenuhi pikiran yang tidak adil. Makanya men nggak diundang, tapi wamen diundang, soalnya satu klub.

Karena jalur kompetitif dan kompetensi diingkari. Demikian juga omongan soal hak prerogatif Presiden, yang memenangi Pilpres langsung, dikebiri. Padahal ngerti juga kagak, kenapa Presiden milih dia, dan bukannya kamu. Gitulah. Di Indonesia ini, semua pihak ngomong pating creblung. Dumeh bisa beli smartphone. Belum lagi yang sok pintar dan merasa paling bener. Meski yang menyedihkan, begitu dapet jatah, langsung mingkem. Demokrasi ndremis.

Pendidikan dan agama nggak ngefek pada akhlak. Karena menurut Mbah Kyai Voltaire, jika ngomongin duit semua orang agamanya sama. 

***