Tapi kalau memang seperti itu pasti mudah segera terungkap. Asal orang itu bukan pekerja ilegal. Yang hotelnya akan kena sanksi berat.
Terima kasih atas saran rubrik viral ke saya: agar saya hati-hati selama di London. Agar tidak kehilangan barang/uang --seperti yang dialami selebritas Iis Dahlia.
Tapi saran Anda itu telat.
Barang saya sudah terlanjur hilang.
Yakni tas sepatu hitam. Yang isinya sudah bukan sepatu. Istri saya yang membelikan tas itu. Untuk diisi segala macam obat --yang setiap hari harus saya minum. Agar saya tidak pakai tas kresek lagi.
Di samping banyak obat --yang terkait dengan ganti hati dan aorta dissection-- tas itu saya isi barang lain: kacamata hitam (untuk mengemudikan mobil di saat terik metahari). Juga kabel-kabel charger. Alat pemotong pil (untuk mengurangi dosis obat). Dan iPhone X yang masih agak baru --yang jarang saya pegang.
Tapi kehilangan itu karena salah saya sendiri. Bukan dicuri orang --seperti kasus Iis Dahlia.
Hari itu saya istirahat nyetir. Untuk menghemat biaya sewa mobil. Dan mengurangi kelelahan. Di bus saya bisa menulis naskah DI's Way - -yang tidak mungkin saya lakukan sambil nyetir.
Untuk jurusan Manchester-Bristol itu saya naik bus National Express.
Bus itu berangkat pukul 9 pagi. Setelah sehari sebelumnya melihat stadion Manchester United dan stadion tetangga berisiknya --City.
Jarak tempuh Manchester-Bristol enam jam. Melewati Stoke City, pinggiran Aston Villa dan Birmingham.
Di Bristol-lah saya akan ganti bus jurusan Cardiff. Sedang bus dari Manchester itu akan terus ke Bournemouth.
Saat sudah di dalam bus menuju Cardiff itulah saya ingat: tas kecil saya ketinggalan. Saya sendiri yang menaruhnya di kabin atas. Bersama koper kecil saya.
Kopernya tidak lupa.
Tas kecilnya lupa.
Mungkin karena saya terbiasa hanya membawa satu tentengan. Begitu sudah menenteng satu koper lupa dengan yang lain.
Berarti barang saya akan terbawa ke Kota Bournemouth --di pantai selatan Inggris.
Gak masalah. Tiga hari berikutnya saya juga akan ke Bournemouth. Bisa saya ambil di sana.
Soal hilangnya iPhone tidak masalah. Jarang sekali saya pakai. Belum tentu seminggu sekali saya buka.
Tapi soal obat?
Itu nyawa saya.
Di dalam bus menuju Cardiff itu pula saya coba menghubungi National Express. Jam sudah pukul 17.00 lebih. Sudah di luar jam kerja.
Saya email saja.
Saya adukan persoalan itu.
Langsung dijawab. "Email Anda sudah kami terima. Segera kami beritahukan paling lambat 48 jam kemudian," kata email balasan itu.
Kelihatan sekali: yang membalas itu mesin.
Itu Jumat petang. Sabtunya hari libur. Minggu juga.
Saya pun pesimistis.
Begitu turun di terminal bus Cardiff saya cari kabel charger Huawei. HP saya sudah low batt. Bagaimana bisa berurusan kalau HP tidak berfungsi.
"Semua toko sudah tutup," ujar pengemudi taxi. Asal Bangladesh. Islam. Bisa sedikit bahasa Melayu. Pernah kerja di Brunei.
Tapi ia pintar. Saya dibawa ke stasiun pompa bensin. Ada toko di situ --yang biasa untuk tempat pembayaran bbm.
Penjaga tokonya seperti tertegun.
"Huawei? Upsss...," katanya. Saya pun memperlihatkan mimik kecewa.
"Oh... Ada," tambahnya.
Pinter sekali ia membuat jantung saya berdebar.
Ia tertawa-tawa. Humor khas Inggris.
Tapi itu justru bisa membuat saya akrab padanya. Saya bisa melakukan quid pro quo. Seperti yang dilakukan Presiden Donald Trump kepada presiden Ukraina.
"Apakah Anda tahu di mana ada dokter yang bisa dimintai resep pada jam seperti ini?" tanya saya.
"Dokter gigi?“ tanyanya.
Saya pikir ia mau bercanda khas Inggris lagi.
"Apakah saya kelihatan kehilangan gigi?“
“Soalnya Anda kelihatan sehat sekali. Berarti hanya sakit gigi," katanya.
Saya menjadi serius. Saya ceritakan soal kehilangan obat itu.
Di Barat kita tidak bisa beli obat tanpa resep dokter. Anda mengiba sampai seperti Via Vallen pun --metu getih putihe-- toko obat tidak akan bilang "Ya sudah aku lilo".
"Tidak ada dokter seperti yang Anda maksud di sini. Semua dokter bekerja dalam sistem kesehatan," tambahnya.
Kali ini dengan nada serius.
"Saya sarankan Anda ke rumah sakit saja. Masuk ke UGD," katanya.
Ia pun menuliskan nama rumah sakit itu.
"Di sana pasti ada dokter yang bisa membantu Anda," katanya --seraya menyerahkan catatan alamat rumah sakit itu.
Ya sudah. Saya ke rumah sakit saja. Sekalian ingin tahu ruang gawat daruratnya. Di malam hari.
Di loket, saya mendaftar. Hanya perlu nama dan tanggal lahir. Tidak ada pertanyaan lain apa pun.
"Nanti akan dipanggil. Bisa duduk di sana," ujar petugas loket.
Tempat duduknya hampir penuh. Yang menunggu banyak sekali. Sekitar 40 orang.
Ada yang hamil. Ada yang berjalan pincang - -masih dalam pakaian balap sepeda. Ada yang sambil memegang rahang --sakit gigi beneran.
Giliran saya pun tiba. Setelah antre sekitar 20 menit. Seorang dokter wanita melayani saya. Dia bertanya: saya punya keluhan apa.
Saya ceritakan soal kehilangan obat itu. Nama-nama obatnya. Kegunaannya. Dosisnya.
"Kami tidak menyediakan obat seperti itu," ujar dokter.
"Satuuuuu saja. Yang ini," pinta saya --sambil menunjuk nama obat urutan pertama. Dengan gaya hampir seperti Via Vallen. "Saya harus minum itu malam ini," kata saya sambil mengusap mata.
"Kalau ada akan saya berikan. Tapi tidak tersedia," katanyi.
Sang dokter lantas menarik laci mejanya. Mengambil selembar kertas kecil. Isinya: daftar nomor telepon yang harus saya hubungi.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews