Mitos Pajak

Dalam peringatan ke-74 kemerdekaan Indonesia ini agar kita bersama berkomitmen melenyapkan mitos lama itu melalui kemandirian bangsa dengan membangun budaya cinta pajak.

Rabu, 28 Agustus 2019 | 10:22 WIB
0
841
Mitos Pajak
Perbatasan Meksiko-AS (Foto: Pixabay.com)

Apakah kejayaan suatu bangsa di masa lalu akan menjadikannya bangsa yang besar di masa depan?

Ada sebuah kota bernama Nogales yang terbelah oleh bentangan pagar tapal batas. Jika Anda berkesempatan mengunjungi kota tersebut suatu saat nanti, cobalah berdiri menghadap ke utara di balik pagar itu maka di depan mata akan terhampar kota Nogales, Arizona, yang termasuk ke dalam wilayah Santa Cruz County.

Pendapatan per kapita rata-rata penduduknya kurang lebih $30.000 per tahun. Kebanyakan remaja Nogales, Arizona bersekolah dan mayoritas warga dewasanya mengeyam pendidikan di sekolah menengah. Populasi kota Nogales, Arizona, relatif sehat dengan angka harapan hidup cukup tinggi menurut ukuran standar global.

Namun yang tak kalah penting adalah warga Nogales, Arizona, bebas beraktivitas setiap hari tanpa mencemaskan keselamatan jiwanya, tanpa takut dirampok atau haknya dirampas, atau mencemaskan hal-hal lain yang bisa mengacaukan investasi usaha mereka maupun kepemilikan tempat tinggalnya.

Mereka bebas memberikan suara untuk mengganti walikota, anggota kongres dan senator, serta mengikuti pemilu kepresidenan untuk memilih pemimpin mereka. Demokrasi sudah mendarah daging dalam keseharian mereka.

Sementara kehidupan saudara mereka di sebelah selatan pagar tapal batas, walau jaraknya hanya beberapa meter saja jauh berbeda. Meski untuk ukuran negara Meksiko warga kota Nogales terbilang makmur, namun pendapatan rata-rata penduduk Nogales, Sonora, hanya sepertiga dari pendapatan saudara mereka di Nogales, Arizona.

Sebagian besar warga dewasa kota Nogales, Sonora, tidak sempat mengenyam pendidikan tingkat menengah dan banyak remajanya yang putus sekolah.

Sederet permasalahan membelenggu warganya: tingginya angka kematian bayi karena fasilitas kesehatan yang buruk, fasilitas publik yang payah dengan kondisi jalan-jalan yang memprihatinkan, penegakan hukum yang mengenaskan, dan angka kejahatan yang tinggi sehingga membuka usaha di sana adalah aktivitas yang penuh resiko. Sehari-hari warga Nogales, Sonora hidup di bawah bayang-bayang politisi yang korup dan pemerintahan yang payah.

Demi melihat disparitas  ekonomi yang begitu mencolok antara kedua warga kota Nogales yang jelas-jelas bertetangga tersebut, para ahli mulai melontarkan beragam hipotesis untuk mencari akar permasalahannya.

Hipotese pertama adalah  Hipotesis Geografi.

Teori ini menyatakan jurang pemisah negara terkaya dan termiskin di dunia tercipta karena perbedaan kondisi dan lokasi geografis. Negara-negara miskin terletak di kawasan Afrika, Amerika Tengah, dan Asia Tengah yang secara geografis terletak di sekitar garis balik utara dan garis balik selatan. Sementara negara-negara kaya terletak di kawasan beriklim sedang.

Bahkan seorang filsuf besar Prancis, Montesque pada akhir abad ke-18 mengatakan masyarakat yang hidup di iklim tropis cenderung pemalas dan enggan menggunakan otaknya untuk belajar.

Montesque berspekulasi bahwa rakyat yang malas cenderung diperintah oleh penguasa zalim, sehingga negara-negara tropis tidak hanya menjadi biang budaya malas namun juga menyebabkan keterpurukan ekonomi dan kediktatoran. Apakah teori ini terbukti?

Teori tersebut terbantahkan dengan kemajuan negara-negara beriklim tropis seperti: Singapura, Malaysia, dan Botswana. Dan ketika kita kembali membayangkan kota Nogales yang mempertontonkan disparitas di atas, maka bukan kondisi geografis yang menyebabkan warga kota Nogales, Sonora, dibelit kemiskinan melainkan tapal batas Amerika Serikat dan Meksiko yang membentang di sana lah penyebabnya.   

Bahkan saat Columbus menemukan benua Amerika pada abad ke-15 lalu, kawasan Meksiko yang kini menjadi hunian masyarakat Nogales, Sonora, adalah salah satu kawasan yang menjadi saksi kejayaan bangsa Aztec dan Inca.

Kekaisaran Aztec dan Inca seperti kita ketahui dari sejarah telah memiliki pemerintahan yang terpusat dan maju. Mereka sudah mengenal mata uang dan aksara. Sementara kawasan di mana masyarakat kota Nogales, Arizona yang menjadi bagian dari Amerika Serikat kini, saat itu masih terbelenggu zaman batu yang belum mengenal teknologi.

Hipotesis kedua menyatakan penyebab perbedaan tingkat kemakmuran berbagai negara adalah Hipotesis Kebudayaan.

Banyak orang yang beranggapan bahwa bangsa-bangsa Afrika miskin karena mereka tidak memiliki etos kerja yang baik, masih percaya pada tenung dan sihir, dan menolak teknologi baru dari Barat. Atau mengapa Amerika Latin tidak akan bisa bangkit dari kemiskinan sebab rakyatnya boros dan sulit diajak hidup makmur.

Dulu banyak yang mengira bahwa kebudayaan China dan nilai-nilai konfusianisme tidak kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi , meski sekarang terbukti sebaliknya. Betapa etos kerja orang Tionghoa telah menjadi motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi di China, Hongkong, dan Singapura. Atau ketika kita membandingkan kehidupan warga Korea Selatan dan Korea Utara yang memiliki tingkat kemakmuran yang jauh berbeda, padahal dulunya mereka memiliki akar budaya yang sama.

Jadi tepatkah hipotesis kebudayaan dipakai untuk menganalisa penyebab disparitas ekonomi? Jawabannya adalah tidak selalu. Karena kedua warga kota Nogales yang hidup di tapal batas itu memiliki banyak kesamaan aspek budaya.Ternyata yang menjadikan nasib kedua warga kota Nogales tersebut berbeda adalah tapal batas atau demarkasi politik yang ada.

Penelitian mendalam yang dilakukan Acemoglu dan Robinson berhasil mengurai mengapa disparitas ekonomi masih banyak kita saksikan di belahan negara-negara di dunia kini.  Dalam Why Nations Fail, Acemoglu dan Robinson menyimpulkan bahwa kemakmuran itu lebih ditentukan oleh institusi politik dan ekonomi hasil pilihan masyarakat yang bersifat inklusif. Ternyata Hipotesis Geografi dan Kebudayaan itu hanyalah mitos.

Dalam institusi-institusi ekonomi inklusif yang tumbuh subur seperti di Amerika Serikat dan Korea Selatan telah membebaskan warganya untuk menentukan pilihan. Institusi-institusi ekonomi inklusif itu selain menjamin kepemilikan aset oleh perorangan atau swasta, juga menyediakan layanan publik  kesempatan semua pihak untuk berniaga dan bermitra. Kemakmuran masyakat pun meningkat.

Bukan rahasia lagi jika negara-negara berekonomi makmur itu biasanya memiliki rasio pajak yang tinggi, karena tingkat kesadaran masyarakatnya terhadap pajak juga telah tinggi. Sebuah studi yang diilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2015, membuktikan bahwa Amerika Serikat sendiri mempunyai ratio pajak sebesar 26,2%.

Sementara yang tertinggi rasio pajak-nya di Asia adalah Jepang sebesar 30,7%. Korea Selatan sendiri  rasio pajak-nya mencapai 25,2%.

Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata  ratio pajak Indonesia adalah terendah di ASEAN yaitu 11,8%.

Tujuh puluh empat tahun merdeka dan memiliki catatan sejarah sebagai bangsa besar dengan kerajaan-kerajaan besar yang dulu pernah berjaya (Singasari, Sriwijaya, Mataram, Tarumanegara, dll) ternyata belum mampu membawa Indonesia berdiri sejajar dengan negara-negara maju. Sementara institusi ekonomi dan politik inklusif jelas telah mewarnai kehidupan bernegara kita, di mana partisipasi aktif semua warganegara dijamin dalam Undang-Undang. Pekerjaan rumah kita masih panjang.

Ketika ada seorang tokoh masyarakat berteriak ,”Boikot pajak,” beberapa waktu lalu, tak urung akan mengingatkan kita pada kata-kata Soekarno Sang Proklamator pada suatu masa. “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tetapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri.”

Tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah persepsi positif masyarakat kita tentang pajak. Dalam peringatan ke-74 kemerdekaan Indonesia ini agar kita bersama berkomitmen melenyapkan mitos lama itu melalui kemandirian bangsa dengan membangun budaya cinta pajak.

***

Keterangan: Tulisan ini telah dimuat dalam tajuk majalah Kanwil DJP Jakarta Barat "Jawara"